Taman Prasejarah Sumpang Bita: Cagar Budaya Indonesia yang Setia Menanti Lapisan Generasi
“Ayo
segera kumpul, anak-anak sudah menunggu. Kali ini kita akan tembus tangga
seribu.”
_
Ucapan di atas,
persisnya tidak seperti itu, tetapi maksudnya sama. Keluar dari mulut Dedi
Darman yang meminta untuk segera mengumpulkan kertas jawaban ulangan harian dan
memulai kembali petualangan menapaki tangga seribu di Sumpang Bita.
Kala itu, kami masih
usia sekolah menengah pertama (SMP) dan selalu bosan berada di kelas.
Pilihannya tentu saja mengunjungi lokasi wisata yang bisa dijangkau. Untungnya,
lokasi sekolah kami, SMP Negeri 1 Balocci lumayan dekat dengan Sumpang Bita,
begitulah nama lokasi wisata yang diakrabi masyarakat di Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan.
Google Maps, pengunjung dari luar Sulawesi
Selatan melalui bandara Sultan Hasanuddin bisa memesan angkutan umum berupa
taksi atau kendaraan menggunakan aplikasi. Jika ingin menantang adrenalin
menggunakan angkutan umum yang lain, pengunjung keluar dulu dari bandara menuju
simpang lima. Di sana bisa menunggu angkutan pete-pete, moda angkutan darat yang lebih murah. Hanya Rp.20.000,-
sudah sampai di Soreang, Pangkep. Selanjutnya bisa menyambung kendaraan lagi
atau naik bentor menuju Balocci, lokasi Sumpang Bita.
Ciri khas Sumpang Bita
ialah deretan anak tangga beton yang dinamai ‘Tangga Seribu’. Jika ingin
menjumpai kolam renang tentu harus menapakinya. Lebih ke atas lagi, perlu
menuntaskan pendakian meniti seribu anak tangga untuk sampai di mulut gua dan
melihat lukisan dinding manusia purba. Seingat saya waktu itu, mulut gua
dipagari dan tidak diperkenankan memasuki. Jadi, pengunjung hanya sampai di
mulut gua dan pendakian anak tangga berhenti sampai di situ.
Deretan anak 'Tangga Seribu' menuju gua di Sumpang Bita (Foto: Youcengki) |
Namun, kami, saat itu senang sekali bisa menuntaskan agenda menembus ‘Tangga Seribu’. Di antara kami ada yang iseng menghitung anak tangga, apakah memang jumlahnya seribu atau tidak. Tetapi, usahanya itu gagal karena lelah keburu menghampiri yang membuyarkan konsentrasinya menghitung.
Salah satu lukisan manusia purba di dalam gua (Foto: Youcengki) |
_
Begitulah kepingan
ingatan di masa lalu. Usia remaja memang selalu mencari tantangan meski bermodal
nekat. Saking nekatnya, perjalanan ke sana kadang ditempuh dengan bersepeda
atau menunggangi mobil pick up yang
melintas dan supirnya berbaik hati menampung kami. Dan, yang paling nekat,
ialah tanpa membawa bekal makananan layaknya orang piknik. Tetapi, kami
membungkus alasan sebagai bekal kalau itu merupakan petualangan. Persoalan
kemudian lapar dan haus menderah, itu persoalan lain. Hehehe, alasan yang klise sekali.
Baik, sidang pembaca
yang budiman. Mengenai cagar budaya di kampung saya, maksudnya, di Kabupaten
saya, Pangkep. Taman Prasejarah Sumpang Bita boleh disebut cagar budaya yang
tidak pernah sepi pengunjung dibanding cagar budaya yang lainnya di Pangkep.
Berdasarkan data di
situs kebudayaan.kemendikbud.go.id. Tercatat
26 cagar budaya di Pangkep. bisa dilihat melalui tabel berikut:
1
|
Taman Prasejarah Sumpang Bita
|
2
|
Leang Kassi
|
3
|
Leang Lompoa
|
4
|
Leang Sassang
|
5
|
Leang Sapiria
|
6
|
Leang Batanglamara
|
7
|
Leang Pattennung
|
8
|
Leang Sakapao 1
|
9
|
Leang Kajuara
|
10
|
Leang Buluribba
|
11
|
Leang Cumilantang
|
12
|
Leang Garunggung
|
13
|
Leang Saluka
|
14
|
Leang Macinna
|
15
|
Leang Tuka 2
|
16
|
Makam Somba Labakkang
|
17
|
Leang Alla Masigi
|
18
|
Kompleks Makam Ambarala
|
19
|
Makam Soreang
|
20
|
Makam Lamaruddani Karaeng
Bonto-Bonto
|
21
|
Leang Lasitae
|
22
|
Makam Matinroe Ri Papan Batunna
|
23
|
Kompleks Makam Karaenta Paika
|
24
|
Masjid Tua Bonto-Bonto
|
25
|
Leang Ulu Tedong
|
26
|
Rumah Adat Arajang Segeri
|
Dari data di atas, tidak
dimungkiri kalau dari semua cagar budaya yang ada tidaklah familiar di masyarakat
Pangkep sendiri. Misalnya, saja, pada seorang kawan, saya coba sampaikan
megenai Makam Soreang. Ia bingung dan hanya mengenal ‘Soreang’ sebagai nama
dusun yang masuk di wilayah Desa Kabba, Kecamatan Minasatene.
Praktis, yang akrab
hanya Sumpang Bita karena saban tahun menjelang puasa dan setelah lebaran,
lokasi ini ramai dikunjungi. Selain itu, Sumpang Bita juga menjadi lokasi
strategis menggelar kegiatan outdoor.
Fasilitas penginapan yang bisa digunakan dengan sekali urus di BalaiPelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (BPCB Sulsel yang berkantor di Benteng Fort Rotterdam di Makassar
memudahkan proses jika kegiatan berlangsung sampai di malam hari.
Menjadi pertanyaan, mengapa puluhan cagar budaya ini
seolah menghilang di benak generasi kini. Apakah tidak pernah didengar melalui
pelajaran muatan lokal di sekolah, ataukah pemerintah setempat atau dinas
terkait miskin inovasi mengenalkan ke generasi pelanjut. Asumsi ini bisa jadi
menemukan kebenarannya jika menengok kembali lokasi cagar budaya.
Padahal, ini sudah era teknologi informasi,
pemerintah melalui dinas terkait bisa membangun koneksi dengan komunitas dalam
membangun dan mengenalkan cagar budaya ini ke dalam bentuk program wisata
sejarah. Memang dibutuhkan inovasi dalam mengelola. Tetapi, inovasi hanya akan
berakhir sebagai inovasi jika tidak didukung dengan penunjang fasilitas yang
bisa memanjakan pengunjung.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten
Pangkep (Pemkab) melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) mendukung
gelaran Mappalili, ritual sebelum turun ke sawah. Pusat kegiatan berada di
Rumah Adat Arajang Segeri yang ditempati komunitas Bissu. Dukungan Pemkab ini
memberi angin segar dalam menggalakkan ritual kultural dan menjadi pemantik
bagi warga untuk datang ke Rumah Adat Arajang yang masuk cagar budaya di
Pangkep guna menyaksikan dan terlibat dalam prosesnya.
Rekaman ini diambil di tahun 2010. Saat itu Puang Matoa Bissu Saidi (Alm)
masih memimpin komunitas Bissu dan ritual Mappalili. Para Bissu akan
menampilkan tarian maggiri, yakni
menggunakan keris menusuk tubuh mereka. (Dok.Pribadi)
Rekaman ini diambil di tahun 2010. Saat itu Puang Matoa Bissu Saidi (Alm)
masih memimpin komunitas Bissu dan ritual Mappalili. Para Bissu akan
menampilkan tarian maggiri, yakni
menggunakan keris menusuk tubuh mereka. (Dok.Pribadi)
Novelis berkebangsaan Ceko, Milan Kundera, pernah
berujar: “Jika ingin menghancurkan sebuah
bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan
musnah.” Ungkapan ini linear dengan proses pelupaan merawat cagar budaya
yang ada. Sejauh ini memang, tidak ada penghancuran langsung secara fisik
seperti yang pernah dilakukan pasukan Taliban di Afganistan yang sengaja
menghacurkan situs budaya di sana. Namun, proses pelupaan melakukan peremajaan
dan tidak adanya upaya menghidupkan–merawat cagar budaya ke benak ke generasi
pelanjut, maka itu sama saja dengan membiarkan waktu memusnahkan cagar budaya.
Belum lama berselang, kawasan Makam Ambarala di
Pangkep mencuat ke permukaan dan mendapat banyak komentar warganet mengenai
keberadaan cagar budaya makam para raja yang rusak dan tidak terawat. Subhan Riyadi,
menulis di sosial blog Kompasiana mengenai hal itu: “…Kondisinya rusak dan tak terurus oleh pemerintah setempat, padahal di
tempat tersebut terdapat tiga buah makam raja yang turut berjasa dalam melawan penjajah di Pangkep
kala itu…”. Sebagaimana dikutip dari akun Kompasiana Shuban. (29/04/2019).
Kondisi Cagar Budaya Makam Ambarala. Sumber foto dari akun Kompasiana Shuban Riyadi |
Dalam buku Lembah Walennae: Lingkungan Purba dan Jejak
Arkeologi Peradaban Soppeng (Ombak: 2016) menyebutkan bahwa makam atau
kubur sebagai salah satu produk ideo-teknik, keberagaman dan perubahan yang
terjadi pada pranata makam atau kubur, mencerminkan pula keberagaman serta
perubahan sub-sistem religi.
Posisi makam tua
mencerminkan dua produk peradaban sekaligus, di sisi lain bukan semata lagi
sebagai cagar budaya, tetapi menunjukkan relasi perubahan struktur sosial yang
terjadi di masa lalu dan berkelindan hingga kini. Pemerintah tak bisa menutup mata dan membiarkan itu terjadi. Kesaksian
warga yang kemudian mengabarkannya ke media sosial perlu dibaca sebagai kritik
dan pengawasan bersama agar situs sejarah dapat terus ada dan menjadi fondasi
kebudayaan. BPCB Sulsel yang menyerahkan pengurusan cagar budaya itu ke Pemkab
Pangkep melaluli Disbudpar Pangkep tahun ini semoga saja menjadi jawaban agar
pemeliharaannya mendapat jaminan lebih cepat. Sangatlah disayangkan jika situs
sejarah yang menjadi memori kolektif di sebuah wilayah musnah di tengah
pesatnya pembangunan.
Itu baru satu titik, belum lokasi keberadaan cagar
budaya yang lainnya. Jika dimaknai pendek, cagar budaya ini seolah menghabiskan
anggaran tanpa pemasukan yang berarti. Namun, jika dilihat secara holistik,
keberadaan cagar budaya tak bisa dianggap remeh. Padanya melekat jejak
pencapaian pradaban dan menjadi cermin masa lalu untuk menggerakkan masa depan.
Dan, bukankah, orang-orang di masa lalu juga telah menghibahkan warisan yang
tak ternilai untuk orang-orang di masa depan. Maka, sudah selayaknyalah warisan
itu dijaga dan menjadi memori kolektif untuk kelangsungan pencapaian peradaban.
_
Kembali ke Sumpang Bita, seperti yang telah
diutarakan di awal. Sumpang Bita memang setia melewati zaman menanti lapisan
generasi yang mengunjunginya. Tetapi, sayang, hal demikian tidak terjadi pada
cagar budaya yang lain.
Di tahun 2016 lalu,
puluhan komunitas di Pangkep sepakat menggelar Sumpang Bita Youth Camp. (Laporankegiatan ini sila simak di tautan dalam blog ini) Kegiatan ini merupakan respons kaum muda dalam
memaknai warisan masa lalu. Kita tak bisa berpaling dari masa lalu, sebab masa
depan berutang pada jejak lampau. Puluhan komunitas mendeklarasikan kalau
Sumpang Bita harus dirawat dan tidak boleh ada penambangan di sekitar cagar
budaya. Perlu diketahui kalau di Pangkep beroperasi puluhan perusahaan tambang
marmer. Tak jauh dari Sumpang Bita pernah berlangsung eskplorasi tambang batu
marmer yang berakibat eksploitasi alam. Aktivis lingkungan menilai, jika proses
tambang terus berlanjut maka bisa merusak struktur cagar budaya atau runtuhnya
gua di Sumpang Bita.
Spanduk deklarasi komunitas di Pangkep. Dok. Pribadi, 2016) |
Kongkow bareng
komunitas merupakan salah satu metode advokasi yang coba diterapkan dengan menggelar
kegiatan. Bentuk ini tentu saja bukan satu-satunya metode. Sejauh ini komunitas
kreatif atau LSM yang menyimpan perhatian atas keberadaan cagar budaya masih
sebatas melakukan kampanye edukatif dan belum menempuh jalur litigasi. Hal ini
dilakukan sebagai tekanan kepada pemerintah setempat agar menghentikan izin
pengelolaan tambang di kawasan karst yang dilindungi.
Kehadiran kelompok
masyarakat sipil penting guna mengingatkan pemerintah. Selain itu, kelompok
masyarakat juga punya peran dalam menjaga cagar budaya kaitannya dengan promosi
edukasi kepada khalayak atau keluarga. Agenda sederhana yang bisa dilakukan,
ialah mengajak keluarga mengunjungi cagar budaya sebagai wisata sejarah dan
pengenalan literasi cagar budaya itu sendiri.
Keluarga
perlu dipandang sebagai unit terkecil dalam negara dan diaktifkan selaku wahana
pendidikan. Setiap keluarga, jika memungkinkan, menerapkan agenda kunjungan ke
sejumlah situs budaya. Konsep ini bisa dikembangkan lebih jauh sebagai
parenting sejarah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas menetapkan keluarga menjadi bagian pendidikan anak.
salah satu makna visinya ialah: Mewujudkan lingkungan satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat yang kondusif untuk mendukung penumbuhan karakter dan budaya
prestasi adalah penciptaan suasana pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan
pola perilaku positif kepada anak secara aman, nyaman, dan menyenangkan.
Jadi, pelibatan keluarga dan anak sejak mula menjadi fondasi
yang kuat sehingga kedepan, cagar budaya dipandang bukan semata benda mati
tidak berfaedah bagi kehidupan. Visi ini akan menunjang terjaminnya kunjungan lapisan generasi ke cagar budaya. Hal ini bisa dimulai dengan menyiapkan agenda
ke cagar budaya di daerah masing-masing dan, bila berkesempatan, tentu lebih luas
lagi cakrawala bila dapat melakukan kunjungan ke cagar budaya Indonesia di daerah lain.
Selain itu, kawan-kawan narablog bisa ikut menyuarakan,
menjaga, dan merawat cagar budaya di daerah masing-masing dengan berpartisipasi
melalui kompetisi ‘Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!’
Komentar