Taman Prasejarah Sumpang Bita: Cagar Budaya Indonesia yang Setia Menanti Lapisan Generasi

Pintu gerbang Sumpang Bita (Dok. Pribadi, 2018)


“Ayo segera kumpul, anak-anak sudah menunggu. Kali ini kita akan tembus tangga seribu.”

_

Ucapan di atas, persisnya tidak seperti itu, tetapi maksudnya sama. Keluar dari mulut Dedi Darman yang meminta untuk segera mengumpulkan kertas jawaban ulangan harian dan memulai kembali petualangan menapaki tangga seribu di Sumpang Bita.


Kala itu, kami masih usia sekolah menengah pertama (SMP) dan selalu bosan berada di kelas. Pilihannya tentu saja mengunjungi lokasi wisata yang bisa dijangkau. Untungnya, lokasi sekolah kami, SMP Negeri 1 Balocci lumayan dekat dengan Sumpang Bita, begitulah nama lokasi wisata yang diakrabi masyarakat di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan. 





Google Maps, pengunjung dari luar Sulawesi Selatan melalui bandara Sultan Hasanuddin bisa memesan angkutan umum berupa taksi atau kendaraan menggunakan aplikasi. Jika ingin menantang adrenalin menggunakan angkutan umum yang lain, pengunjung keluar dulu dari bandara menuju simpang lima. Di sana bisa menunggu angkutan pete-pete, moda angkutan darat yang lebih murah. Hanya Rp.20.000,- sudah sampai di Soreang, Pangkep. Selanjutnya bisa menyambung kendaraan lagi atau naik bentor menuju Balocci, lokasi Sumpang Bita.



Ciri khas Sumpang Bita ialah deretan anak tangga beton yang dinamai ‘Tangga Seribu’. Jika ingin menjumpai kolam renang tentu harus menapakinya. Lebih ke atas lagi, perlu menuntaskan pendakian meniti seribu anak tangga untuk sampai di mulut gua dan melihat lukisan dinding manusia purba. Seingat saya waktu itu, mulut gua dipagari dan tidak diperkenankan memasuki. Jadi, pengunjung hanya sampai di mulut gua dan pendakian anak tangga berhenti sampai di situ.



Deretan anak 'Tangga Seribu' menuju gua di Sumpang Bita (Foto: Youcengki) 


Namun, kami, saat itu senang sekali bisa menuntaskan agenda menembus ‘Tangga Seribu’. Di antara kami ada yang iseng menghitung anak tangga, apakah memang jumlahnya seribu atau tidak. Tetapi, usahanya itu gagal karena lelah keburu menghampiri yang membuyarkan konsentrasinya menghitung.



Salah satu lukisan manusia purba di dalam gua (Foto: Youcengki)

_

Begitulah kepingan ingatan di masa lalu. Usia remaja memang selalu mencari tantangan meski bermodal nekat. Saking nekatnya, perjalanan ke sana kadang ditempuh dengan bersepeda atau menunggangi mobil pick up yang melintas dan supirnya berbaik hati menampung kami. Dan, yang paling nekat, ialah tanpa membawa bekal makananan layaknya orang piknik. Tetapi, kami membungkus alasan sebagai bekal kalau itu merupakan petualangan. Persoalan kemudian lapar dan haus menderah, itu persoalan lain. Hehehe, alasan yang klise sekali.

Baik, sidang pembaca yang budiman. Mengenai cagar budaya di kampung saya, maksudnya, di Kabupaten saya, Pangkep. Taman Prasejarah Sumpang Bita boleh disebut cagar budaya yang tidak pernah sepi pengunjung dibanding cagar budaya yang lainnya di Pangkep.

Berdasarkan data di situs kebudayaan.kemendikbud.go.id. Tercatat 26 cagar budaya di Pangkep. bisa dilihat melalui tabel berikut:

1
Taman Prasejarah Sumpang Bita
2
Leang Kassi
3
Leang Lompoa
4
Leang Sassang
5
Leang Sapiria
6
Leang Batanglamara
7
Leang Pattennung
8
Leang Sakapao 1
9
Leang Kajuara
10
Leang Buluribba
11
Leang Cumilantang
12
Leang Garunggung
13
Leang Saluka
14
Leang Macinna
15
Leang Tuka 2
16
Makam Somba Labakkang
17
Leang Alla Masigi
18
Kompleks Makam Ambarala
19
Makam Soreang
20
Makam Lamaruddani Karaeng Bonto-Bonto
21
Leang Lasitae
22
Makam Matinroe Ri Papan Batunna
23
Kompleks Makam Karaenta Paika
24
Masjid Tua Bonto-Bonto
25
Leang Ulu Tedong
26
Rumah Adat Arajang Segeri


Dari data di atas, tidak dimungkiri kalau dari semua cagar budaya yang ada tidaklah familiar di masyarakat Pangkep sendiri. Misalnya, saja, pada seorang kawan, saya coba sampaikan megenai Makam Soreang. Ia bingung dan hanya mengenal ‘Soreang’ sebagai nama dusun yang masuk di wilayah Desa Kabba, Kecamatan Minasatene.

Praktis, yang akrab hanya Sumpang Bita karena saban tahun menjelang puasa dan setelah lebaran, lokasi ini ramai dikunjungi. Selain itu, Sumpang Bita juga menjadi lokasi strategis menggelar kegiatan outdoor. Fasilitas penginapan yang bisa digunakan dengan sekali urus di BalaiPelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan (BPCB Sulsel yang berkantor di Benteng Fort Rotterdam di Makassar memudahkan proses jika kegiatan berlangsung sampai di malam hari.



Salah satu rumah di dalam Sumpang Bita yang sering digunakan sejumlah lembaga, baik lembaga kampus atau komunitas yang menggelar kegiatan hingga malam hari. Dilengkapi toilet dan air melimpah karena di daerah ini memang sumber air pegunungan. (Dok. Pribadi, 2018)


Menjadi pertanyaan, mengapa puluhan cagar budaya ini seolah menghilang di benak generasi kini. Apakah tidak pernah didengar melalui pelajaran muatan lokal di sekolah, ataukah pemerintah setempat atau dinas terkait miskin inovasi mengenalkan ke generasi pelanjut. Asumsi ini bisa jadi menemukan kebenarannya jika menengok kembali lokasi cagar budaya.

Padahal, ini sudah era teknologi informasi, pemerintah melalui dinas terkait bisa membangun koneksi dengan komunitas dalam membangun dan mengenalkan cagar budaya ini ke dalam bentuk program wisata sejarah. Memang dibutuhkan inovasi dalam mengelola. Tetapi, inovasi hanya akan berakhir sebagai inovasi jika tidak didukung dengan penunjang fasilitas yang bisa memanjakan pengunjung.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Pangkep (Pemkab) melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) mendukung gelaran Mappalili, ritual sebelum turun ke sawah. Pusat kegiatan berada di Rumah Adat Arajang Segeri yang ditempati komunitas Bissu. Dukungan Pemkab ini memberi angin segar dalam menggalakkan ritual kultural dan menjadi pemantik bagi warga untuk datang ke Rumah Adat Arajang yang masuk cagar budaya di Pangkep guna menyaksikan dan terlibat dalam prosesnya.


Rekaman ini diambil di tahun 2010. Saat itu Puang Matoa Bissu Saidi (Alm) masih memimpin komunitas Bissu dan ritual Mappalili. Para Bissu akan menampilkan tarian maggiri, yakni menggunakan keris menusuk tubuh mereka. (Dok.Pribadi)

Novelis berkebangsaan Ceko, Milan Kundera, pernah berujar: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Ungkapan ini linear dengan proses pelupaan merawat cagar budaya yang ada. Sejauh ini memang, tidak ada penghancuran langsung secara fisik seperti yang pernah dilakukan pasukan Taliban di Afganistan yang sengaja menghacurkan situs budaya di sana. Namun, proses pelupaan melakukan peremajaan dan tidak adanya upaya menghidupkan–merawat cagar budaya ke benak ke generasi pelanjut, maka itu sama saja dengan membiarkan waktu memusnahkan cagar budaya.

Belum lama berselang, kawasan Makam Ambarala di Pangkep mencuat ke permukaan dan mendapat banyak komentar warganet mengenai keberadaan cagar budaya makam para raja yang rusak dan tidak terawat. Subhan Riyadi, menulis di sosial blog Kompasiana mengenai hal itu: “…Kondisinya rusak dan tak terurus oleh pemerintah setempat, padahal di tempat tersebut terdapat tiga buah makam raja yang turut  berjasa dalam melawan penjajah di Pangkep kala itu…”. Sebagaimana dikutip dari akun Kompasiana Shuban. (29/04/2019).


Kondisi Cagar Budaya Makam Ambarala. Sumber foto dari akun Kompasiana Shuban Riyadi


Dalam buku Lembah Walennae: Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng (Ombak: 2016) menyebutkan bahwa makam atau kubur sebagai salah satu produk ideo-teknik, keberagaman dan perubahan yang terjadi pada pranata makam atau kubur, mencerminkan pula keberagaman serta perubahan sub-sistem religi.

Posisi makam tua mencerminkan dua produk peradaban sekaligus, di sisi lain bukan semata lagi sebagai cagar budaya, tetapi menunjukkan relasi perubahan struktur sosial yang terjadi di masa lalu dan berkelindan hingga kini. Pemerintah tak bisa menutup mata dan membiarkan itu terjadi. Kesaksian warga yang kemudian mengabarkannya ke media sosial perlu dibaca sebagai kritik dan pengawasan bersama agar situs sejarah dapat terus ada dan menjadi fondasi kebudayaan. BPCB Sulsel yang menyerahkan pengurusan cagar budaya itu ke Pemkab Pangkep melaluli Disbudpar Pangkep tahun ini semoga saja menjadi jawaban agar pemeliharaannya mendapat jaminan lebih cepat. Sangatlah disayangkan jika situs sejarah yang menjadi memori kolektif di sebuah wilayah musnah di tengah pesatnya pembangunan.

Itu baru satu titik, belum lokasi keberadaan cagar budaya yang lainnya. Jika dimaknai pendek, cagar budaya ini seolah menghabiskan anggaran tanpa pemasukan yang berarti. Namun, jika dilihat secara holistik, keberadaan cagar budaya tak bisa dianggap remeh. Padanya melekat jejak pencapaian pradaban dan menjadi cermin masa lalu untuk menggerakkan masa depan. Dan, bukankah, orang-orang di masa lalu juga telah menghibahkan warisan yang tak ternilai untuk orang-orang di masa depan. Maka, sudah selayaknyalah warisan itu dijaga dan menjadi memori kolektif untuk kelangsungan pencapaian peradaban.

_

Kembali ke Sumpang Bita, seperti yang telah diutarakan di awal. Sumpang Bita memang setia melewati zaman menanti lapisan generasi yang mengunjunginya. Tetapi, sayang, hal demikian tidak terjadi pada cagar budaya yang lain.

Di tahun 2016 lalu, puluhan komunitas di Pangkep sepakat menggelar Sumpang Bita Youth Camp. (Laporankegiatan ini sila simak di tautan dalam blog ini)  Kegiatan ini merupakan respons kaum muda dalam memaknai warisan masa lalu. Kita tak bisa berpaling dari masa lalu, sebab masa depan berutang pada jejak lampau. Puluhan komunitas mendeklarasikan kalau Sumpang Bita harus dirawat dan tidak boleh ada penambangan di sekitar cagar budaya. Perlu diketahui kalau di Pangkep beroperasi puluhan perusahaan tambang marmer. Tak jauh dari Sumpang Bita pernah berlangsung eskplorasi tambang batu marmer yang berakibat eksploitasi alam. Aktivis lingkungan menilai, jika proses tambang terus berlanjut maka bisa merusak struktur cagar budaya atau runtuhnya gua di Sumpang Bita.


Spanduk deklarasi komunitas di Pangkep. Dok. Pribadi, 2016)


Kongkow bareng komunitas merupakan salah satu metode advokasi yang coba diterapkan dengan menggelar kegiatan. Bentuk ini tentu saja bukan satu-satunya metode. Sejauh ini komunitas kreatif atau LSM yang menyimpan perhatian atas keberadaan cagar budaya masih sebatas melakukan kampanye edukatif dan belum menempuh jalur litigasi. Hal ini dilakukan sebagai tekanan kepada pemerintah setempat agar menghentikan izin pengelolaan tambang di kawasan karst yang dilindungi.

Kehadiran kelompok masyarakat sipil penting guna mengingatkan pemerintah. Selain itu, kelompok masyarakat juga punya peran dalam menjaga cagar budaya kaitannya dengan promosi edukasi kepada khalayak atau keluarga. Agenda sederhana yang bisa dilakukan, ialah mengajak keluarga mengunjungi cagar budaya sebagai wisata sejarah dan pengenalan literasi cagar budaya itu sendiri.

Keluarga perlu dipandang sebagai unit terkecil dalam negara dan diaktifkan selaku wahana pendidikan. Setiap keluarga, jika memungkinkan, menerapkan agenda kunjungan ke sejumlah situs budaya. Konsep ini bisa dikembangkan lebih jauh sebagai parenting sejarah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas menetapkan keluarga menjadi bagian pendidikan anak. salah satu makna visinya ialah: Mewujudkan lingkungan satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang kondusif untuk mendukung penumbuhan karakter dan budaya prestasi adalah penciptaan suasana pembelajaran, pembiasaan, dan pembudayaan pola perilaku positif kepada anak secara aman, nyaman, dan menyenangkan.

Jadi, pelibatan keluarga dan anak sejak mula menjadi fondasi yang kuat sehingga kedepan, cagar budaya dipandang bukan semata benda mati tidak berfaedah bagi kehidupan. Visi ini akan menunjang terjaminnya kunjungan lapisan generasi ke cagar budaya. Hal ini bisa dimulai dengan menyiapkan agenda ke cagar budaya di daerah masing-masing dan, bila berkesempatan, tentu lebih luas lagi cakrawala bila dapat melakukan kunjungan ke cagar budaya Indonesia di daerah lain.

Selain itu, kawan-kawan narablog bisa ikut menyuarakan, menjaga, dan merawat cagar budaya di daerah masing-masing dengan berpartisipasi melalui kompetisi ‘Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!’

Komentar

M. Galang Pratama mengatakan…
Saya setuju, kita harus memulai cagar budaya di daerah kita terlebih dahulu. Tulisan ini begitu menginspirasi.

Postingan Populer