Liku Laku Sukman
Mendiang Sukman Matta (kiri) bersama Julyadi (Sumber Foto: Facebook Julyadi) |
Letak asrama UKM Tahfiz Quran sebenarnya terpisah dari area gedung Kampus I UMI Makassar di jalan Kakatua. Tepatnya berada dalam lorong di area permukiman warga di jalan Kakatua II. Mengingat yang tinggal di asrama itu merupakan siswa dan mahasiwa UMI, maka tembok pagar gedung perkantoran UMI bagian timur yang berbatasan langsung dengan asrama dibuka sebagai akses jalan menuju kampus.
Sebelum saya tinggal di asrama itu selama bersekolah di SMK UMI di tahun 2001-2003, akses jalan berada di antara dinding kamar asrama dengan dinding rumah warga yang terhubung dari lorong ke koridor gedung. Akses itu kemudian ditutup karena yang melintas bukan cuma mahasiswa, informasi mengenai jalan tikus itu segera diketahui warga di jalan Kakatua II dan III yang memanfaatkannya juga sebagai jalan pintas. Lalu lalang warga inilah yang merepotkan satpam sehingga ditutup.
Pilihannya kembali ke semula, akses hanya diperuntukkan bagi mahasiswa, khususnya penghuni asrama supaya mudah ke kampus. Sedangkan bagi mahasiswa Fakultas Sastra yang saat itu masih kuliah di Kampus I menjadi penghubung ke warung makan Mbak Yu’.
Karena akses jalan di antara dinding asrama dan dinding rumah warga sudah dipalangi tembok di salah satu ujungnya, kini jalan tikus itu melintasi lorong kamar asrama. Saya yang tinggal di salah satu kamar jelas risi ketika ada gerombolan orang melintas. Mustahil jalan rahasia itu ditutup permanen. Kelak, dari orang-orang yang melintas itu, mahasiswa, dan juga warga, karena memang sulit membatasinya, lahirlah kekerabatan.
Warga di jalan Kakatua II dan III mengenal wajah saya ketika berjalan-jalan di kedua jalan itu. Mahasiswa Sastra, pengurus BEM, UKM SENI, dan UKM Retorika menaruh simpati jika di sore hari bersama teman meluangkan waktu berjalan di area kampus dan melihat-lihat aktivitas mereka. Ada rasa sungkan jika melihat kami, para penghuni asrama yang mereka tahu adalah penghafal Alquran dan penguasa masjid.
Seiring waktu, saya mengalami hidup rukun di Kampus I UMI meski sesekali tersiar informasi yang dibawah mahasiswa yang kuliah di Kampus II UMI di jalan Urip Sumoharjo jika di Kampus II kerap terjadi bentrok antar mahasiswa.
Di antara lalu lalang mahasiwa di jalan rahasia itu, santer tersiar kabar tentang sekelompok mahasiwa yang disebut ateis. Teman sekamar saya yang kuliah di Fakultas Agama di Kampus II mengamininya, ada kelompok mahasiswa jurusan Sastra Arab dan Inggris yang kerjanya cuma baca buku dan kajian ketimbang mengikuti perkuliahan.
Saya tidak mengerti dengan desas-desus itu, tetapi anak-anak asrama sering menggunjingnya dengan ragam pendapat. Di asrama Tahfiz juga ada mahasiswa Sastra Arab dan Inggris dan semuanya mengenal orang-orang yang dilabeli ateis itu. Saya yang masih duduk di bangku SMK kala itu cukup menyimak saja.
Memasuki tahun kedua, mengalami kehidupan di Kampus I semakin membumi. Saya senang sekali berada di lingkungan kampus. Di sore hari kami bermain sepak bola di lapangan upacara bersama dengan anak-anak muda dari Jalan Kakatua III, terkadang pula beberapa mahasiwa ikut bermain. Di malam hari, dari jendela masjid di lantai dua, kami anak-anak asrama sering menyaksikan latihan teater, tari, atau musik dari UKM Seni. Pikir saya waktu itu, ini keren sekali, mengapa anak-anak asrama tidak melibatkan diri. Rupanya, terlibat langsung tentu saja ada prosedur. Ya, minimal mengikuti dulu proses pengkaderan. Kata teman sekamar, semua lembaga mahasiswa punya kegiatan masing-masing.
Bermula dari Gedung Tua
Jika mengisahkan semuanya tentu sangat panjang, saya ringkas saja beberapa babak supaya bisa lebih cepat sampai pada sosok Sukman yang namanya saya pajang dalam judul di atas. Jadi, suatu ketika ada kelompok mahasiswa di Kampus I hendak pindah sekretariat, belakangan saya tahu kelompok mahasiswa itu bernama Unit Kegiatan Mahasiswa Ikatan Pecinta Retorika atau lebih diakrabi UKM Retorika.
Sekretariat lamanya hendak dirobohkan karena masuk dalam denah pembangunan gedung baru. Pengurus Retorika lalu dibolehkan menggunakan sepetak ruangan di salah satu gedung berlantai dua. Zulfadli, kerap disapa Adi Long karena tubuhnya jangkung, dia Ketua UKM Retorika, menyampaikan jika gedung itu sebenarnya tidak layak pakai karena lantai duanya sudah bergoyang dan sewaktu-waktu dapat ambruk. Tetapi, tidak ada pilihan, sepetak ruangan berukuran sekisar 3x7 meter itu, oleh anak-anak Retorika sudah sangat mewah.
Setelah barang-barang dari gedung sekretariat lama berhasil dipindahkan dan, hingga UKM Retorika menemui ajalnya begitu semua anggotanya telah menyelesaikan studi, sependek yang saya ingat, Dulhamiddin Furu, disapa Noy, mahasiswa Sastra Inggris Angkatan 1995 dari Fakfak (sekarang masuk wilayah Papua Barat) merupakan anggota terakhir yang meninggalkan ruangan Retorika setelah dipaksa (konon, pihak fakultas berupaya keras agar Noy segera menyelesaikan studinya dan meninggalkan kampus).
Sebagai UKM, seingat saya lagi, Retorika hanya punya satu kegiatan formal sebagai sebuah lembaga mahasiswa. Waktu itu di tahun 2002 digelar Quantum Learning dan saya terlibat sebagai peserta selama tiga hari dua malam (dari puluhan peserta dari beragam kampus di Makassar, ada juga dari STAI As’Adiyah Sengkang, hanya saya satu-satunya peserta berstatus pelajar). Kelak, kegiatan itulah satu-satunya yang diingat khalayak Kampus I jika Retorika juga punya kegiatan selain aktivitas anggotanya yang mengurung diri di sekretariat.
Pada dasarnya kegiatan Retorika berfokus pada penguatan internal, ada banyak sekali rutinitas program kajian yang terlaksana secara gradual dan tidak terencana. Hanya saja, kegiatan semacam itu tidak direken di lingkungan kampus. Galibnya sebuah lembaga mahasiswa, tentu diperlukan adanya proses Musyawarah Besar (Mubes) untuk pemilihan pengurus. Selanjutnya ada pencanangan Rapat Kerja (Raker). Namun, semua itu garib bagi UKM Retorika.
Bekas sekretariat UKM Retorika (tampak kursi di depan pintu) Dok. 2010 |
Jika mengingat-ingat kembali, jauh sebelum lahirnya komunitas yang fokus pada segmen tertentu. Baca buku, misalnya, Retorika telah melakukan itu. Malah, itulah kegiatan yang berlangsung terus menerus hingga Retorika mati dengan sendirinya.
Duh, ini semakin panjang dan kembali bertele-tele. Padahal, catatan ini sebentuk ingatan pada Sukman Matta, salah satu anggota Retorika yang telah berpulang pada Kamis, 9 Januari lalu. Kabar duka ini merayap di pesan Facebook dari Jaya, seorang kawan di Soppeng. Persisnya ia tidak menyampaikan kabar duka, ia mengajukan tanya: “Tabe, butuh info, meninggal betul, Sukman?” tulisnya.
Kami dulu pernah merintis Café Baca di Soppeng di tahun 2007. Sukman menyediakan bahan bacaan dan Jaya bersama adiknya, Ani yang didukung orangtuanya membolehkan menggunakan sebuah rumah panggung untuk dijadikan tempat mengelola usaha yang sesungguhnya, lebih tepat disebut upaya menciptakan “Retorika” baru di Soppeng.
Tempat itu segera ramai dengan kehadiran kawan-kawan muda dari beberapa desa di Soppeng. Sejumlah kawan lain juga mendukung seperti Pak Nas, Maskur, Unding, Umar, dan beberapa nama yang sudah saya lupa. Jaringan perkawanan di Sengkang juga senang dengan adanya titik pertemuan itu sebagai upaya mewujudkan basis ekonomi komunitas yang dulu, hanya selalu dibicarakan di UKM Retorika. Rencana besarnya, Café Baca itu juga nantinya menjadi toko buku karena Sukman punya relasi ke Toko Buku Perennial[1], Papirus[2], dan Paradigma di Makassar.
Rupanya, sebelum Sukman mengajak saya ke Soppeng, lebih dulu ia telah merintis usaha toko komputer, ia menyewa ruko di kawasan kota Soppeng. Sayang, usahanya itu layu setelah beberapa bulan berjalan. Sebuah plan nama usahanya itu baru diturunkan setelah mengajak saya ke Soppeng mengelola Café Baca, bekas plan nama tokonya itulah yang disulap kembali menjadi plan nama Café Baca. Seperti yang telah dibayangkan, usaha itu juga hanya berjalan beberapa bulan. Saya sendiri hanya tinggal dua bulan di Soppeng dan kembali ke Pangkep.
Jualan Buku Keliling
Beberapa tahun sebelum semua itu terjadi, ketika masih sekolah di UMI dan Sukman masih mahasiswa semester akhir, kami aktif memantau informasi di majalah dinding kampus mengenai informasi seminar atau sejenisnya. Di kampus mana pun ada kegiatan, maka di situlah kami memanggul tas berisi buku untuk dijual. Melakoni jualan buku keliling ini terjadi setelah pulang dari Jawa, itu juga kegiatan UKM Retorika yang dinamai Tour Intelektual 2003. Kami menyambangi Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Total perjalanan sebulan penuh.
Di Yogyakarta, kami berkunjung di kantor Insist di Belimbing Sari dan menginap di sana beberapa hari, kemudian coba membangun peluang kerjasama distribusi buku dengan Insist Press. Beberapa terbitannya langsung dibeli oleh Sukman dengan potongan harga hingga 30 persen, termasuk buku yang belum dipasarkan saat itu, sebuah buku yang ditulis Subcomandte Marcos, Bayang Tak Berwajah yang nyaris seribu halaman itu. Sukman ragu mengenai siapa yang bakal membeli buku itu nantinya di Makassar, namun saya yakinkan jika saya sudah punya pembeli begitu tiba.
Ketika berkunjung di Shoping Centre, kami terkesima melihat pusat toko buku, di sinilah Sukman membeli banyak sekali buku. Begitu juga ketika ke Bandung dan bertandang di Palasari, juga kawasan toko buku. Selama di Bandung kami berkunjung ke SMA Muthahhari karena salah satu guru yang mengajar di sana berasal dari Sulawesi Selatan,[3] Di Jakarta, kami berkunjung di Al Huda dan juga membangun peluang menjadi distributor buku di Makassar. Juga menyambangi kediaman kerabat dan tentu saja sekretariat PB HMI MPO, meski mayoritas anak Retorika aktif di HMI Dipo, alasan ke MPO karena yang menjabat ketua PB adalah Safinuddin Al Mandari.
Sepulang dari Tour Intelektual itulah semangat dagang buku tak terbendung yang dilakoni sekisar dua tahunan. Tiap Jumat, sudah pasti saya dan Sukman melapak di Masjid Al Markaz. Jika dihitung-hitung, keuntungan berjualan buku hanya menutupi uang makan, rokok, dan ongkos pete-pete. Selain jualan buku, gelombang bisnis berjejaring Multi Level Marketing (MLM) yang turut mengubah arah aktivis mahasiswa di Makassar juga dimasuki. Intinya, di tahun-tahun itu, apa saja peluang dimasuki agar tidak bergantung donasi dari yayasan orang tua di kampung.
Aktivitas jualan buku dan ber-MLM ria berhenti dengan sendirinya. Satu periode Sukman kembali fokus pada karier akademik, ia memendam hasrat ingin menjadi dosen. Sebelum melanjutkan studi S2, ia berangkat ke Kampung Pare, Kediri, Jawa Timur guna memperdalam bahasa Inggris. Di fase itulah dan fase selanjutnya, saya tidak lagi terhubung aktif dengan Sukman. Sepulang dari Pare, kami hanya sesekali berjumpa bila ia hendak ke Soppeng atau menuju ke Makassar. Ia akan mengabari akan singgah di rumah. Setelah ia menikah, jalinan berkabar makin jarang, saya hanya sesekali mengunjunginya di BTP karena ia kembali mencoba peruntungan membuka usaha warkop di sana. Hingga kemudian, beberapa tahun setelahnya, ia mengabari akan merantau ke Jayapura memenuhi ajakan karibnya, Burhan Abdullah, kawan sepondoknya di As’Adiyah Sengkang.
Saya telat mengetahui jika Sukman seorang hafiz dengan hafalan tembus 30 juz. Saya mengenalnya ketika di Retorika sebagai salah satu mahasiwa yang dicap ateis karena kerap mempercakapkan tuhan. Duh, dikemudian hari ketika saya mengetahui latar belakangnya, hendak rasanya menghapus kemegakan yang sering saya peragakan dengan mengulang hafalan Alquran saya yang tidak seberapa.
Ketika ia bilang hendak ke Jayapura dan mengisi mimbar masjid di sana, saya tidak begitu heran, jalan semula yang ditapakinya kembali berputar. Sekali waktu, beberapa tahun lalu, salah satu kepulangannya dari Jayapura, kami berjumpa kembali di warkop teman di Pangkep. Saya perlu mendekatkan telinga ketika ia berbicara, suaranya begitu pelan, sangat berbeda dengan Sukman versi Retorika ketika awal mula mengenalnya. Entah, saya tidak ingin menduga apa-apa dari perubahan cara bicaranya itu. Yang pasti, ia tidak lagi meledak-ledak mengupas pemikiran Ali Syariati, Muthahhari, atau pemikir lainnya. Jika mengingat, perjumpaan itulah yang terakhir dengannya sebelum beberapa tahun kemudian mendengar kabar ia telah berpulang.
Pesan Jaya yang masuk, perlu saya validasi kembali ke salah satu kawan karibnya, Julyadi. Saya tahu, keduanya, atau sejumlah kawan-kawan sepantaran dengannya (sesama aktivis sewaktu mahasiswa) akan terus terhubung meski sudah berjauhan jarak. Rupanya Kak Jul sudah memostingnya di Facebook, beberapa teman yang memiliki talian dengan Sukman kemudian saya tandai untuk meneruskan kabar. Dari catatan di beranda Facebook Kak Jul, saya juga baru tahu kalau Adi Long telah wafat setahun lalu.
Sukman dikebumikan di Soppeng, tanah kelahirannya. Lin (Mursalin), juga kawan dari Soppeng mengonfirmasikan kalau dirinya menunggu jenazah Sukman di kediaman orang tuanya, di Kampung Lagosi, Desa Timusu. Sehari sebelumnya ia intens berkomunikasi dengan Besse Wulandari, istri Sukman. Lin tidak berkisah banyak, mungkin nanti kalau berjumpa dengannya, saya akan mengorek sepenggal cerita mengenai Sukman. Sebab begitulah lapisan perkawanan, kisah-kisah itu mengendap di masing-masing kepala.
[1] Perennial merupakan toko buku yang dikelola oleh Safwan Yusuf di Kampus I UMI kemudian pindah di Kampus II, lalu menyewa tempat di dekat Terminal Panaikang yang kini telah menjadi Nipa Mal.
[2] Toko buku Papirus dulu berada di kawasan gedung Muhammadiyah pintu satu Unhas yang dikelola oleh Sulhan Yusuf, kakak dari Safwan. Selain Papirus, Sulhan juga punya toko buku Paradigma yang kini masih eksis.
[3] Kami menyapanya Uztas Ikhlas, jika pernah menonton atau membaca novel Negeri 5 Menara karya Anwar Fuady, sosok Baso dalam film dan novel itu, merujuk pada Uztas Ikhlas karena mereka dulunya memang satu pondok di Gontor dan membangun impian bersekolah di luar negeri.
Komentar