Membaca Makna Tugu dan Patung di Ruas Pangkep
Setiap kota adalah kesaksian dan kamar komunal bagi penghuninya, ada banyak keinginan untuk meriasnya agar terlihat indah dan menarik untuk menatapnya.
Mari memulai kesaksian mata kita. Semua pasti sudah melihat patung Andi Mappe dan patung jam Semen Tonasa yang berlokasi sama di titik nol kota Pangkajene. Kedua patung itu sudah berdiri tegak dengan sebuah maksud yang beragam di benak para pembacanya.
Patung Andi Mappe |
Sejarah sebuah patung adalah sejarah sebuah kekuasaan
yang tidak selalu bebas untuk dimiliki oleh siapa pun, membutuhkan penaklukan untuk mendapatkan
hak paten agar diakui.
Karena menempuhnya bukanlah
sesuatu yang mudah.
Hal itu pernah terjadi beberapa tahun yang lalu di
Pangkep, dahulu
pernah ada tugu bambu runcing yang mengantikan gedung bioskop kemudian dirombak
lagi sebelum berdiri tugu bambu runcing yang sekarang. Tidak jauh dari lokasi
itu juga pernah ada tugu tangan, dan di lokasi yang sama juga terdapat pajangan
tembok setinggi kurang lebih dua meter dengan panjang sekitar lima meter yang dinamakan
panggung corat-coret. Di sana pernah terjadi pengalaman komunal anak muda
Pangkep yang terhenti setelah bergantinya kebijakan tata ruang kota.
Tugu Bambu Runcing |
Di ujung barat dan selatan Pangkep juga dibangun tugu
perbatasan. Di perbatasan
Maros, daerah Kalibone dijaga burung Rajawali dengan kedua sayapnya membentang.
Sedangkan tugu perbatasan
Barru di kecamatan
Mandalle, sayap
burung tidak membentang, sedikit tertekuk yang mungkin menandakan burung baru saja
singgah bertengger.
Tugu perbatasan Pangkep-Maros di Kalibone |
Sejauh ini pernahkah kita bertanya dan tidak hanya setuju saja. Sederhananya bisa dimulai: “Apakah burung jenis Rajawali hidup bebas di alam Pangkep? dan sejauh mana ia membekas dalam alam pikiran masyarakat Pangkep? Layaknya Cenderawasih yang begitu melegenda dalam sejarah benak masyarakat Papua.”
Tugu perbatasan Pangkep-Barru di Mandalle |
Memang
ada tugu ikan bolu dan Udang (doang sitto),
yang begitu melekat dalam benak orang Pangkep, tetapi itu berdiri di daerah Male’leng, tidak jauh dari
jembatan. Tugu itu tidak
begitu gagah bila dibandingkan dengan rancangan arsitektur patung jam yang
diapit kantungan Semen Tonasa
di titik nol kota Pangkep, seolah terlupakan kalau bolu dan udang
merupakan salah satu perangsang ekonomi masyarakat Pangkep. Sehingga tidak
dijadikan ikon
perbatasan di Kalibone dan di Mandalle sebagai pintu gerbang memasuki wilayah
Pangkep.
Tugu Ikan Bandeng (Bolu) dan Udang (Doang Sitto) di Male'leng |
Masyarakat Bone mencoba jujur dengan melawan data sejarah dari
pusat (pemerintah) yang mencap Arung Palakka sebagai pengkhianat. Tetapi, dalam benak
masyarakat Bone dengan pendekatan filosofi Bugis atau dalam hal ini konsep siri na pesse
menempatkan sosok Arung Palakka sebagai pahlawan yang harus selalu diingat
sehingga patungnya wajib ditegakkan sebagai penjelas akan sejarah kemerdekaan
suku Bugis dari perbudakan kerajaan Gowa.
Sejauh ini patung Andi Mappe yang duduk dengan sorot mata
tajam, seolah
mengajak kita untuk terus bertanya terkait pembangunan karakter kota Pangkep.
Tentuya kita tidak ingin membuat suatu sintesa keraguan akan sosok
kepahlawanan. Melainkan lebih pada rangkaian suatu konsep yang menjelaskan
tentang ingatan sejarah yang melekat pada suatu daerah. Jika kita pernah
berkunjung ke Papua, maka dengan mudah kita akan menjumpai tugu tifa (alat musik
tradisonal Papua berupa gendang) yang dijadikan sebagai induk pagar disetiap
kantor suatu instansi di sana.
Namun di Pangkep,
kita bisa melihat pintu gerbang kantor pemerintah daerah menggunakan
arsitektur ghotic. Padahal, kita tahu
arsitektur gaya ghotic
tentulah bukan ciri khas bangunan Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Pangkep khususnya.
Mengapa misalnya, tidak
menggunakan konsep arsitektur lokal dengan memasang bola suji yang
umumnya digunakan di Sulawesi Selatan untuk dijadikan ikon.
Pintu Gerbang Kantor Pemda Pangkep |
Pada salah satu kalimat dalam novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta
Toer mencoba
mengingatkan kalau ukuran suatu kemajuan suatu bangsa bukanlah dengan kemegahan
akan bangunannya, karena jika demikian bumi Nusantara (sekarang disebut
Indonesia) sudah barang tentu daerah yang paling maju. Karena sudah bisa
membangun candi
Borobudur sedangkan di wilayah Eropa pada saat itu belum ada sama sekali
bangunan semegah candi
Borobudur.
Jika hari ini dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki Eropa.
Lalu mengapa tidak juga membangun candi yang lebih besar dari candi Borobudur? Jawabannya, karena Eropa sama
sekali tidak membutuhkan sebuah candi untuk masyarakatnya. Artinya, kelekatan suatu
bangunan harusnya
jangan dipisahkan dengan kultur masyarakatnya. Karena yang terjadi hanyalah
suatu keterasingan dan sekadar
merupakan hantu-hantu modernitas.
Patung Jambu Mete di Ma'rang |
Patung Jeruk di Segeri |
Sepanjang ingatan kita semua, di daerah Tala kecamatan Ma’rang, tugu jambu mete yang memang
di lokasi itu hidup dengan suburnya dan merupakan napas ekonomi masyarakat
setempat. Di jalan masuk
Padanglampe terdapat tugu jeruk yang
rancangannya menggunakan bahan baku besi dalam pembuatannya sebagai penanda
kalau di daerah tersebut merupkan daerah penghasil jeruk. Karena
patung merupakan sistem tanda yang terekam dalam benak suatu masyarakat yang
tanpa perdebatan akan keberadaanya.
_
Dipublis
pertama kali di Bulletin UKM SENI Ilalang STAI DDI Pangkep edisi II
November 2009
Foto, dokumteasi Kamar-Bawah, 2009
Komentar
Prediksi Chelsea vs Eintracht Frankfurt 10 Mei 2019
Prediksi Valencia vs Arsenal 10 Mei 2019
Dan dapat Hubungi Kontak Kami +62-8122-222-995