Di Balik Selimut Malam di Sumpangbita

Desain oleh Ahmad Ardian

Pagi yang yang cerah pada Sabtu, 26 November menjadi penanda kalau kegiatan kamping bersama sejumlah komunitas di Pangkep yang dinamai Sumpangbita Youth Camp bakal berjalan sesuai yang diharapkan.

Sungguh, di hari yang telah ditetapkan selama dua hari itu, jika bisa, hujan jangan turun dulu. Kekhawatiran tumbuh karena pada Jumat, 25 November, hujan menderas mulai dari sore hingga malam.

Secara berangsur, sejumlah komunitas mulai berdatangan ke lokasi memasang tenda dan menunggu sesi dialog sebagai program pertama yang dilakukan sekitar jam empat sore. Sebuah tembang yang dilantunkan Eno dari KPJ berkolaborasi dengan Pio dan salah satu narasumber, Badauni AP menjadi pembuka.

Selanjutnya, Rahmat HM dari Pangkep Initiative memandu jalannya dialog. Rintik hujan sempat turun namun tak berlanjut menjadi guyuran. Dialog tetap berjalan alot dan santai. Peserta kamping setia mendengarkan hingga semuanya selesai.

Dialog

Dialog dihadirkan sebagai ruang saling bertukar informasi mengenai media sosial yang pada umumnya telah menjadi kebutuhan. Tema ini diangkat mengingat semua peserta kamping merupakan anak muda dimana media sosial sudah merupakan bagian gaya hidup.

Hanya saja, media sosial merupakan ruang maya yang tidak bebas nilai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan secara konstruktif juga destruktif sekaligus. “Kita memang mengalami alter ego, sebuah sikap yang menunjukkan diri yang tercerabut dari realitas jika sudah berbicara di media sosial,” ungkap Rahmat.

Asran Idrus menekankan perlunya media sosial digunakan sebagai jaringan perubahan yang menghubungkan ide manusia yang membayangkan tatanan sosial yang memanusiakan. “Kita harus menjadi pemadam kebakaran atas provokasi di media sosial yang dapat memantik kebencian,” terangnya.

Subhan Muhammad, melihat kalau media sosial sebagai ruang maya yang mampu menggerakkan manusia meruntuhkan tirani di dunia modern. Penyebaran gagasan ke publik tidak didominasi lagi oleh media massa tertentu. Semuanya telah menjadi mudah. Sisa dimanfaatkan dengan baik. Hal ini sejalan dengan sikap Misbah Maggading yang pernah dilaporkan oleh oknum yang mengganggap dirugikan atas status di akun Facebooknya mengenai bobroknya pelayanan keseahatan di kampungnya.

Badauni AP, memaparkan pentingnya penggunaan logika bahasa dalam penyebaran ide baik itu untuk di media sosial maupun di media massa. Indonesia patut bersyukur karena memiliki bahasa persatuan yang sebagian besar kosa katanya diadopsi dari sejumlah bahasa lokal yang ada. Hal ini berbeda dengan Argentina, misalnya, yang masih menggunakan bahasa Spanyol, negara yang pernah mengoloninya.

Saiful Mujib, menggaris bawahi kalau pluralisme adalah anugerah yang perlu dirawat. Keberagaman dapat menyatukan sebagaimana kegiatan kamping ini yang ditopang dari beragam komunitas berbeda.

Bincang Komunitas

Pada akhirnya, hujan tak jadi membasahi. Malam datang dengan kehangatan menemani peserta kamping menyantap makananan sebelum sesi talk show digelar selepas isya. Archut, berperan sebagai pemandu jalannya acara tampil dengan joke yang selalu memantik tawa.

Bincang Komunitas

Setiap perwakilan komunitas tampil menjelaskan latar dan kegiatan komunitas. Hal demikian menjadi sesuatu yang baru dalam kegiatan bersama antar komunitas. Inilah yang penting untuk diketahui supaya sesama komunitas dapat saling mengenal.

Sesi bincang komunitas ini memungkinkan terjadi proses kerjasama dalam menggelar kegiatan nantinya. Mencermati penuturan setiap perwakilan komunitas, mengingatkan kembali kalau pembangunan nilai kemanusiaan itu ada pada setiap komunitas.

Anggapan yang menyebutkan kalau komunitas itu sekadar perkumpulan minat sesama individu dan terkesan individualis terbantahkan. Pada dasarnya setiap komunitas memiliki kerja kemanusiaan karitatif.

Tanda tangan. Tanda mata

Mendengar cerita mereka adalah kabar baik dan penanda umur panjang imajinasi kemanusiaan dan tunas kerjasama yang, jika dijaga dan didukung secara berkesinambungan akan menjadi kekuatan sosial di Pangkep. Masing-masing komunitas adalah dinamit yang siap meledak sesuai dengan kerja-kerja yang digelutinya.

Menantang malam di kawasan taman prasejarah Sumpangbita yang dirimbuni pepohonan dan berdindig gunung karst menjadi selimut bersama. Setelah bincang komunitas usai, bergilir peserta tampil ke atas panggung menyajikan nyanyian, lawak tunggal (stand up comedy) pembacaan puisi, dan sebelumnya di sela talk show, secara khusus komunitas Mappakalebbi mementaskan tarian. Juga tontonan spontan yang memantik tawa yang diperagakan seorang bocah yang tinggal dekat lokasi Sumpangbita.

Suguhan musik yang tak henti hingga pagi menjadi jawaban kalau kelelahan itu tidak ada. Semua berlangsung dinamis, hingga pukul tiga dini hari masih ada peserta setia menikmati suguhan musik. Lainnya, lelap di dalam tenda.

Bersiap menanam pohon

Pagi lalu datang sebagai pengingat kalau kegiatan sudah harus diselesaikan. Masih dengan musik yang belum padam. Peserta mulai membersihkan lokasi kamping dengan memunguti sampah dan membakarnya. Sejumlah atribut kamping diturunkan, menandatangani spanduk deklarasi, dan tentu saja mengabadikan momen dengan foto bersama maupun swafoto.

Program terakhir sebelum komunitas meninggalkan lokasi, yakni penanaman bibit pohon mahoni yang telah disediakan oleh KPA Bontoa. Jadi, setiap komunitas dibekali satu pohon untuk ditanam. Berharap pohon itu tumbuh dan bermanfaat sebagaimana yang diharapkan dari lahirnya tiap komunitas.
_

Dimuat di saraung.com edisi 28 November 2016






Komentar

Postingan Populer