Kisah Para Penggerak Literasi di Pangkep


Sambutan Selamat Datang di Pangkep. Dok. KB

Prolog

Ingatan yang terbersit ketika mengingat Pangkep, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan ialah, wilayah yang terkenal dengan ribuan rumah makan dengan menu khas Sop Saudara dan bentangan ratusan pulau. Cap lain, dikenal kabupaten tambang karena PT. Semen Tonasa bercokol di sini sejak 1964 dan sejumlah perusahaan batu marmer.

Hingga kini, di usia kabupaten yang sudah menginjak ke 59 tahun, labelisasi demikian masih akrab di ingatan warga Pangkep dan Sulsel pada umumnya. Tentu saja bukan hal keliru karena memang Pangkep diselimuti sumber daya alam (SDA) melimpah. Karst, misalnya, Pangkep dan kabupaten tetangga, Maros menempati urutan terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.

Selimut SDA inilah yang menjadi jaminan Pangkep selalu masuk tiga besar pendapatan asli daerah terbesar (APBD) di Sulsel. Pencapaian ini menjadi ironi karena disaat bersamaan tingkat kesejahteraan warga Pangkep selalu di bawah 20 besar dari 24 kabupaten dan kota di Sulsel.

Lalu, sejauhmana korelasi kemelimpahan SDA dan tingkat kesejahteraan di suatu wilayah. Jika meminjam sejumlah hasil penelitian mengenai hal ini, tentulah memiliki kaitan erat karena gerak tingkat kebutuhan dan akses saling terpaut. Namun, prolog singkat ini tidak sedang mengelaborasi hal tersebut. Maksud prolog ini hanya sedikit selingan untuk membaca situasi makro yang menjadi gejala umum di Pangkep.

Kota Tanpa Toko Buku

Pangkajene, nama ibu kota Kabupaten Pangkep. Kota kecil sebagaimana kota kabupaten yang lain. Kota ini dibelah sungai yang menjadi ikon. Sungai Pangkajene, demikian nama sungai itu. Sungai ini menjadi penyambung alur transportasi antar kota kabupaten di Sulsel di sisi utara kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan.

Jika melihat lebih dekat geliat literasi di Pangkep dalam sepuluh tahun terakhir, bukanlah tema utama yang menjadi tren di kalangan komunitas. Lema literasi, malah, belum jamak dikenal. Kehadiran perpustakaan daerah yang berdiri megah di salah satu titik pusat kota hanya sebatas menjadi pengisi denah tata kota. Dengan kata lain, perpustakaan tidak menjadi pusat kegiatan yang berkaitan dengan dirinya sendiri.

Karena itulah jangan tanyakan tentang toko buku. Di Pangkajene sama sekali tidak ada toko buku yang bisa benar-benar disebut toko buku yang menyediakan beragam buku. Ingatan tentang toko buku lebih dekat dengan penyediaan buku tulis untuk anak sekolah. Toko Pelajar menjadi satu-satunya yang diingat.

Leutika Prio: 2013

Di tahun 2012, Komunitas Lentera pernah mengupayakan penerbitan majalah sastra (sila simak di sini) untuk menjawab kemandekan literasi di Pangkep. Hanya saja, terbitan itu harus mati setelah lahir tiga edisi. Faktor utamanya tentu saja biaya produksi. Setahun berselang, metode penerbitan diubah menjadi buku. Terbitlah buku kumpulan puisi pelajar pertama: Suara Pelajar, Sehimpun Puisi Pelajar Pangkep (Leutika Prio: 2013).

Pendekatan yang dilakukan Lentera memang menitikberatkan pada proses penciptaan karya yang menyasar pelajar menengah atas. Sayang, program kerja yang dicanangkan tidak berlanjut ke generasi pelajar selanjutnya. Badauni AP, kurator buku puisi pelajar itu menjelaskan kalau minimnya dukungan dari pemerintah setempat.

“Mestinya pihak Pemerintah Daerah Pangkep, atau dalam hal ini Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah melihat gerakan penerbitan buku itu sebagai aset daerah.” Ujarnya sewaktu dikonfirmasi untuk penulisan naskah ini.

Jika tidak keliru, di tahun 2008 atau 2009, Asran Idrus, sosok yang sangat dihormati anak muda di Pangkep telah mengupayakan ruang baca publik dengan membuka Warkop Merdeka dengan konsep baca di samping rumah jabatan Bupati. Setelah warkop itu tutup, Asran kembali membawa idenya itu kala mendirikan D’Corner, Coffee Shop & Little Library di tahun 2015. Sayang, sekali lagi, warkop itu tidak bertahan lama. Belakangan, Warkop Logos kemudian perlahan mulai menyediakan buku bagi pengunjung.

D'Corner pernah menjadi ruang pertukaran ide. Sumber foto di sini


Novelis Eka Kurniawan pernah menyampaikan kalau salah satu sandungan literasi di Indonesia menyangkut distribusi. Jika kita merenungi, maka pernyataannya itu sesungguhnya kegelisahan komunal. Pengalaman pribadi penggubah novel Lelaki Harimau itu di dekade 80 dan 90 an di kota kelahirannya Tasikmalaya, Jawa Barat mengalami bagaimana minimnya akses bacaan. Tentulah hal yang sama terjadi di sejumlah daerah lain di Indonesia.

Di Pangkep hingga saat ini, selain toko buku, taman bacaan masyarakat (TBM) pun tidak pernah dijumpai. Bila membaca prakondisi masyarakatnya, hal demikian bukanlah sesuatu yang mengherankan. Bacaan bukanlah hal urgen di tengah kebutuhan primer yang mendesak. Kita juga tidak bisa menyalahkan masyarakat kalau membaca belum menjadi kebutuhan.

Melawan Arus

Suatu sore di Pinggir Sungai, sebutan untuk kawasan kuliner di kota Pangkajene. Di tengah padatnya pengunjung bercengkerama menanti pesanan pisang goreng atau minuman khas sarabba. Sekumpulan anak muda, masih di lokasi yang sama menggelar lapak baca.

Mereka tidak sedang meneror pengunjung yang lain atau ingin tampil beda. Kegiatan itu bisa dikatakan melawan arus dan bukan sekadar gagah-gagahan. Mereka sedang memulai sesuatu untuk mengisi ruang publik.

Pangkep Initiative, itu nama komunitasnya. Dibentuk seorang anak muda lulusan master Universitas Gajah Mada (UGM). Gelaran lapak baca yang dinamai Pop up Library itu merupakan yang pertama di Pangkep. “Saya tidak ingat persisnya tanggal berapa, tetapi itu pertama kali dilakukan di tahun 2015 di Pinggir Sungai.” Ucap Rahmat HM, pendiri komunitas. (Profil Rahmat, sila baca di sini).

Selanjutnya, Pop up Library rutin digelar di akhir pekan, jika bukan Sabtu biasanya Minggu sore. Tempatnya berpindah ke segala sudut kota, utamanya di taman atau di tempat yang menjadi ruang kerumun. Seiring waktu, gelaran lapak baca yang diinisiasi Pangkep Initiative menjadi tren dan menjadi perbincangan di kanal media sosial. Bahwa apa yang dihadirkan Pangkep Initiative sungguh mendobrak kebekuan pola gerakan mendekatkan buku ke masyarakat. Muasalnya tentu saja bisa dipacak dari gerakan serupa di sejumlah kota yang mulai marak menggelar perpustakaan jalanan oleh komunitas yang peduli pada literasi.

Pop up Library hadir di Kamping Komunitas di Sumpangbita Tahun 2016. Dok. KB


Metode yang diterapkan Pangkep Initiative ini menjadi pemantik bagi komunitas yang lain untuk berbuat sama. Dua tahun berikutnya, lahir lagi kepedulian sama, adalah seorang perempuan, Ayu Lestari yang sedang menempuh kuliah di Makassar menginisiasi gerakan pulang kampung sekali sepekan ke Pangkep untuk menghadirkan buku di ruang publik.

Lao sappa deceng lisu mappadeceng, bahasa Bugis yang artinya pergi mencari kebaikan pulang membawa kebaikan. Sebagai warga Pangkep yang menempuh studi di Makassar, ia merasa perlu untuk kembali membawa pulang apa yang sudah didapat dari proses belajar. Jarak Pangkep ke Makassar memanglah tidak terlalu jauh, bisa ditempuh sekitar satu jam lebih menunggangi sepeda motor atau roda empat.

Di awal menggelar kegiatan, Komunitas Pulang Kampung ini menyelipkan agenda dialog ringan dengan menggandeng komunitas atau lembaga mahasiswa setempat. Kegiatannya tentu saja ramai karena menjadi ruang pertemuan antar komunitas. Di satu sisi, lapak baca yang dihadirkan menjadi ruang pertukaran informasi mengenai buku yang tidak beredar di Pangkep.

Dua komunitas dengan pendekatan serupa ini di satu fase harus berhenti berbulan madu. Pasalnya klise, situasi internal masing-masing. Rahmat menjelaskan kalau Pop up Library berhenti menyapa pembaca karena minimnya anggota menjalankan program. Hal yang sama dirasakan Ayu ketika tugas kuliah semakin menyita waktunya di Makassar.

Tetapi, keduanya tidak benar-benar berhenti. Kedua warga Pangkep beda generasi ini sedang menanam benih gerakan literasinya masing-masing. Meski keduanya tidak berkolaborasi, saya bisa menerka kalau keduanya saling mendukung kalau tujuan mereka sama.


Pulang Kampung di Taman Musafir. Dok. Ayu Lestari


Di saat lapak baca mereka vakum, muncul lagi komunitas memindahkan perpustakaan mereka ke taman kota. Ibnu Mundzir, lelaki difabel yang melanjutkan estafet. Baik Rahmat dan Ayu tidaklah menyerahkan ruang lapak baca itu melalui acara resmi. Ketiganya juga tidak begitu lekat, hanya saling mengenal melalui komunitas masing-masing.

Mundzir masih ingat kalau lapak baca Nongkrong Literasi yang dibentuknya bersama teman-temannya di kampus STAI DDI Pangkep menggelar lapak baca pertamanya pada 8 April 2018. Serupa dengan Pulang Kampung bentukan Ayu, gelaran lapak baca hanya media berkumpul untuk membicarakan tema tertentu.

“Setiap pekan, selain membaca buku, Nongkrong Literasi berupaya menghadirikan diskusi dengan tema menarik yang sedang viral dan menghadirkan pemantik diskusi.” Ujarnya. Dibandingkan dua komunitas sebelumnya, Nongkrong Literasi terbilang rutin menggelar lapak baca selama setahun terakhir. Menjelang Pemilu 2019 lalu, KPU Pangkep menggandeng Nongkrong Literasi untuk satu program sosialisasi untuk mendekati segmen pemilih muda dan pemula.

Salah satu program dialog Nongkrong Literasi. Dok. Ibnu Mundzir

_

Menjadi pertanyaan, mengapa perayaan terhadap buku begitu riuh hingga menyasar kota-kota kecil. Di Sulawesi Selatan, gerakan serupa bukan hanya di Pangkep, di beberapa kabupaten seperti Bantaeng, Palopo, Pinrang, Wajo, dan Barru untuk menyebut contoh, juga gandrung dengan kegiatan memindahkan buku koleksi ke ruang publik.

Di antara mereka yang menggerakkan lapak baca di kabupatennya saya kenal secara pribadi maupun akrab di media sosial. Mereka adalah mahasiwa yang menempuh studi di Makassar kemudian balik ke kampung halaman mengisi kekosongan atau tepatnya, mengabdikan diri untuk kegiatan literasi.

Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun 2016 mengangkat tema Baca!, festival tahunan sejak 2011 ini tidak sekadar memacak tema tersebut. “Tema tahun ini adalah Baca! Terinspirasi dari tumbuhnya komunitas baca dan pustaka di Indonesia yang semakin banyak. Mulai dari Kuda Pustaka yang berkeliling di kampung terpencil di Jawa Tengah hingga Perahu Pustaka yang ada di Sulawesi Barat.” Kata Direktur MIWF, Lily Yulianti Farid sebagaimana dikutip di Makassar.tribunnews.com (1/5/2016).

Apakah di tahun 2016 menjadi titik balik perayaan buku di Indonesia. Pertanyaan semacam ini tidak bisa dijawab serampangan. Lipatan waktu di sepanjang tahun 2016 tentu tidak melulu kabar mengenai gerak pustaka komunitas. Ada juga pelarangan lapak baca atau sweeping buku yang dianggap berbahaya.

Tetapi, bila dikatakan rentetan gerak pustaka itu memantik tindakan serupa di sejumlah daerah bisa menemukan konteksnya. Bahwa, mereka berani melawan arus karena ada yang memulai dan segera menjadi tren bila gerakannya masif.
_

Tiga komunitas di Pangkep yang telah menjadikan ruang publik sebagai pijakan memulai langkah literasi, rupanya disusul lagi oleh Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ). Sebagai komunitas, KPJ ini merupakan wada para penyanyi jalanan yang hampir ada di setiap daerah di Indonesia. Wajarlah mengingat perjalanan komunitas ini sudah lama dan penyanyi balada kita, Iwan Falls pernah bergabung di dalamnya ketika masih mengamen di jalan.

Lapak baca KPJ Pangkep dijuduli Mengisi Sudut Kosong. Merujuk pada ruang kosong di sudut Taman Musafir, salah satu lokus tempat mereka mengamen di siang hari menghibur pengunjung yang memadati jajanan di sisi kanan taman. Bang Udin, demikian ia disapa, salah satu dedengkot KPJ Pangkep mengungkapkan kalau tujuan pembukaan lapak baca turut menyebarkan virus membaca di tengah masyarakat.

Poster Mengisi Sudut Kosong. Dok. KPJ Pangkep


Di salah satu edisi gelaran lapak baca Mengisi Sudut Kosong yang dilaksanakan pada 28 April 2019, KPJ Pangkep disambangi perwakilan Kajari dan Dandim 1421 Pangkep, kedua perwakilan instansi negara ini tampil menyampaikan apresiasi kalau yang dilakukan KPJ Pangkep adalah kegiatan yang bermanfaat.

Salah satu anggota KPJ Pangkep telah mengelola warkop yang dinamai Bookopi, dari namanya sudah diduga kalau warkop ini memadukan sajian kopi dan buku untuk pengunjungnya. “Karena kesibukan masing-masing anggota, untuk sementara lapak baca dipindahkan ke Bookopi.” Ucap Bang Udin.

Metamorfosis

Di tahun 2017, Rahmat HM mengundang relawan untuk terlibat dalam program The Floating School. Sebentuk program yang mendatangi peserta di mana mereka berada untuk proses belajar bersama keterampilan menulis, menyanyi, atau menggambar.

Sasaran utamanya menyasar anak-anak wilayah kepulauan di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara yang meliputi tiga pulau yakni: Saugi, Satando, dan Sapuli. Tahap pertama program ini berlangsung pada Februari hingga Agustus 2017 dan sekarang dalam tahap pendampingan.

“The Floating School mengusung visi yang sama dengan Pangkep Initiative dalam hal literasi. Hanya saja, Floating School fokus untuk daerah kepulauan yang selain menekankan pada kegiatan literasi, juga menekankan pada pendidikan kontekstual kepulauan.” Beber Rahmat.

Rahmat juga menginisiasi perahu pustaka di Pangkep, kini perahu itu sudah siap digunakan untuk berlayar ke sejumlah pulau membawa buku, ide dan kisah. Modal pembuatan perahu ini didapatkan atas donasi orang baik melalui aplikasi kitabisa.com. Inspirasinya didapat dari Perahu Pustaka yang digerakkan Ridwan Alimuddin di Mandar, Sulawesi Barat.

Masih di tahun yang sama, Ayu juga mengajak pemuda di Pangkep terlibat sebagai relawan untuk program Bengkel Literasi di Desa Tamangapa Kecamatan Marang. Program ini berjalan dari Juni hingga September 2017.

Metode yang diterapkan Ayu berbeda dengan pola yang dipakai Rahmat melalui The Floating School. Langkah pertama yang dilakukan Ayu ialah, mengajak pemuda desa setempat untuk terlibat merumuskan konteks masalah yang dihadapi. “Kami melakukan riset sederhana karena itu penting untuk mengetahui variabel penyebab masalah. Setiap desa memiliki budaya tersendiri. Hasil riset membantu untuk menganalisis dan menentukan metode pembelajaran yang tepat.” Pungkas Ayu.


Poster The Floating School. Dok. Rahmat HM


Setelah memetakan masalah, Ayu bersama tim, terdiri dari relawan yang terlibat dan pemuda desa setempat merancang metode kreatif literasi anak desa. Ayu menjelaskan kalau anak-anak menjadi fokus dalam gerakan literasi ini mengingat, di Desa Tamangapa banyak anak kehilangan waktu bermain dan belajar karena harus bekerja membantu orangtua. Itu juga menjadi tantangan tersendiri. Ayu seringkali menghadapi orangtua yang tidak mengizinkan anaknya terlibat dalam kegiatan jika tidak bekerja dulu.

Setelah beraktivitas dengan beragam metode pembelajaran untuk menunjang pemahaman literasi. Di akhir program dibentuk rumah baca sebagai pusat belajar dan bermain anak. Hal ini bagian dari kelanjutan program yang selanjutnya diteruskan oleh pemuda desa setempat.

Rahmat dan Ayu dengan ide literasinya di Pangkep yang semula dilakukan dengan gelaran lapak baca kemudian vakum dan kembali melanjutkan ke metode yang lain adalah bentuk jawaban dalam memanjangkan gerakan literasi. Ada semacam metamorfosis yang terjadi dan, itu bagian strategi yang sedang dan telah dijalankan.

Salah satu poster Bengkel Literasi. Dok. Ayu Lestari


Memasuki pertengahan tahun 2019, keempat komunitas dengan lapak bacanya sudah mulai mengurangi merebut ruang publik. Ini persoalan alamiah yang sering menghinggapi daya tahan penggerak komunitas. Semua mengabarkan kalau mereka kekurangan relawan untuk selalu membawa dan menjaga buku. Tetapi, terlepas dari itu, keempat komunitas penggerak literasi di Pangkep telah berbuat untuk menjawab tanggung jawab moral dalam memangkas siklus kemandekan literasi.

Jika menanyakan dampak yang telah ditimbulkan dari aktivitas empat komunitas di atas, tentu jawabannya tidaklah simpel. Diperlukan tolak ukur yang jelas jika mencari hasil. Namun, kita bisa melihat rangkaian gelaran lapak baca saling berkorelasi yang artinya, menunjukkan adanya dampak untuk berbuat sama dan melanjutkan kerangka kerja yang dirasa memiliki manfaat di masyarakat.

The Floating School sendiri menggelar pameran karya begitu rangkaian program selesai. Pameran karya itu dihadirkan di ruang publik dan dapat diakses selama kegiatan berlangsung. Kerja-kerja semacam ini sudah memenuhi transparansi program dan menjadi pertanggungjawaban kepada publik menyangkut proses kegiatan yang telah berlangsung.

Bengkel Literasi telah meninggalkan fondasi di sebuah desa yang sebelumnya tidak terbayang bakal lahir wahana belajar dan bermain bagi anak-anak. Begitupun kegiatan Nongkrong Literasi dan KPJ Pangkep yang masih terus berusaha konsisten mewarnai ruang publik dengan sajian dialog, musik, dan buku. Kerja literasi mereka menyiratkan asa kalau persoalan literasi adalah masalah bersama yang perlu terus menerus dikerjakan.
_

Catatan:

Naskah ini sudah direvisi, ada perbedaan isi ketika disertakan dalam Lomba Penulisan Praktik Baik Literasi yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Forum TBM, Donasi Buku Kemendikbud Tahun 2019.

Komentar

Postingan Populer