Bacaan Anak Zaman yang Lahir Lalu Mati Muda

Dok. Kamar Bawah

Tidak banyak media yang mengusung tema tertentu beredar luas di daerah. Di sejumlah kota besar pun jenis media cetak melulu membebek pada arus media utama. Jika ada, hanyalah berupa tabloid atau selebaran yang dikerjakan komunitas masyarakat atau di lingkup mahasiswa.

Di Pangkep, pernah diusahakan oleh sekumpulan anak muda yang tergabung di Lentera. Lembaga yang lahir di tahun 2011. Memilih tema segmentif tentulah berisiko tinggi, mana lagi bila ingin dikelola dengan manajemen bisnis. Perih memang. Dan, Lentera bertaruh untuk itu.

Majalah yang dirancang didedikasikan pada pengembangan dan apresiasi kesusatraan, sejarah, kebudayaan, serta analisis keunikan sosial. Memberi ruang yang sebesarnya bagi penulis pemula maupun yang sudah lama merambah belantara dunia kepenulisan. Tegasnya, majalah tersebut hendak melawan kemandekan literasi di tengah masyarakat.

Sebagaimana selanjutnya, edisi perdana Majalah Sastra Lentera, demikian nama media tersebut, terbit dengan oplah tidak seberapa dan sempat dititip jual di toko buku Papirus di Makassar. Hasilnya tidaklah menggembirakan. Malah, modal percetakan tidak kembali.

Tidak jerih. Edisi kedua kembali dirancang dengan tingkat perdebatan menentukan isi majalah semakin menggebu. Jika di edisi perdana, berputar pada penentuan logo hingga jenis huruf akan digunakan. Logo yang ditawarkan Pio ditolak begitupun yang saya rancang. Menjelang deadline penerbitan, akhirnya tawaran logo dari Badauni yang dipakai. Perancangan edisi kedua, Badauni, selaku redaktur pelaksana menyodorkan konsep yang tentu saja di antaranya saya tolak sebagai pemimpin redaksi.

Perdebatan konsep mengundang pemimpin umum, Ahyar Manzis melibatkan diri. Hanya Pio mencoba tabah penuh diam tetap merancang ilustrasi naskah yang dibutuhkan. Tidak ada titik temu. Usulan Ahyar agar fokus pada pengumpulan naskah menjadi pelerai sementara. Keuangan lembaga yang tersisa kembali digunakan sebagai biaya cetak dan berharap edisi berikutnya hasil penjualan edisi kedua dapat menutupinya.

Seolah mengulang terjatuh di lubang yang sama. Edisi kedua sama saja dengan edisi perdana. Meski demikian, usaha menerbitkannya tidak pupus. Edisi ketiga kembali dicetak. Kali ini atas bantuan dari Active Society Institute (AcSi), lembaga penelitian berkedudukan di Makassar yang melakukan penelitian di Pangkep dan menggandeng Lentera sebagai mitra kerja dalam publikasi hasil penelitian. Jadilah di edisi ketiga sebagian diisi hasil penelitian yang dilakukan AcSI.

Setelahnya. Tidak ada lagi pertemuan dan riuh perdebatan. Majalah Sastra Lentera tanpa pamit memilih mati muda. Usaha menggalakkan literasi di Pangkep harus terhenti setelah terbit tiga edisi. Dari ketiga edisi itu sejumlah penulis muda Pangkep dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan umum dipublikasikan.

Ahmad Ardian, kini memilih menjejal hidup sebagai pelawak tunggal, dua puisinya dimuat di edisi kedua. Penulis buku Sejarah Kekaraengan di Pangkep, M Farid W Makkulau menuliskan catatan tematik tentang gerak kebudayaan di Pangkep. Beberapa kolega dengan lapang dada mengirimkan naskah. Di antaranya penerjemah buku Manusia Bugis, Nurhady Sirimorok  dan peneliti dari AcSI, Ishak Salim. Termasuk M Nawir, penggiat sosial rakyat miskin kota, Cerpenis Dul Abdul Rahman dan Asdar Muis RMS turut menyumbangkan naskah sebagai bentuk dukungan. Juga yang patut diiingat, Aspar Paturusi mengirimkan kumpulan puisi Badik dan menyetujui profilnya dimuat di edisi perdana.

Di awalnya, Majalah Sastra Lentera menetapkan konten. Yakni Guru Menulis, Manusia Sastra, Cerpen, Puisi, Rak Buku, Catatan Perjalanan, Esai, dan Catatan Siswa. Ke delapan rubrik yang ditetapkan tidak konsisten diterapkan di dua edisi terakhir. Letak tantangannya tentulah tidak adanya naskah yang masuk ke email redaksi.

Ini semacam membangun rumah tanpa tiang. Berdasarkan hasil diskusi redaksi, disepakati untuk membangun jaringan berbasis komunitas dimulai pada kalangan pelajar. Pada 8 Juli 2012, Majalah Sastra Lentera mengundang OSIS se Kabupaten Pangkep guna memfasilitasi terbentuknya forum komunikasi antar pengurus OSIS. Pada pertemuan itu disepakati nama Komunitas Pelajar Lentera Pangkep yang selanjutnya menjadi mitra dalam menggalakkan gerakan literasi di kalangan pelajar. Hasilnya, di tahun 2014 terbit buku Suara Pelajar, Sehimpun Puisi. Buku itu sekaligus menandai kado perpisahan mereka melepas status sebagai pelajar.

Hanya saja, pembangunan jaringan komunitas tak cukup menolong eksistensi Majalah Sastra Lentera. Tidak adanya regenerasi di komunitas pelajar yang telah dibentuk membuatnya lenyap secara perlahan digulung waktu. Dan, Bacaan Anak Zaman, tagline yang menemani nama Majala Sastra Lentera yang mati muda itu pada akhirnya harus mengendap pula. Tidak benar-benar mati karena redaksi tidak pernah duduk bersama dan sepakat membunuhnya. Hanya saja, situasinya saja yang tidak memungkinkan untuk diterbitkan. Sempat terpikir memindahkannya ke dalam laman online. Tetapi, impian itu juga tidak terwujud hingga sekarang.

“Bahagialah mereka yang mati muda”. Sepotong lirik sajak penyair Yunani, Horatius yang gemar dikutip Soe Hok Gie. Tentulah bukan petuah untuk disepakati redaksi Lentera. Walau faktanya majalah itu bisa disebut mati muda.

Dimuat di saraung.com edisi 25 Maret 2016




Komentar

Postingan Populer