Mengembalikan Waktu Senggang

Arsyla (Diza) sedang bermain dengan kakaknya, Dika

Kelak, jika kau sudah bisa bermain tebak-tebakan dengan sebayamu. Soal tanggal lahir, umpamanya, kau memiliki pilihan – atau mengulangi tebakan generasi sebelumnya. “Coba tebak bulan kelahiran saya. Bulannya sama dengan proklamasi negara ini.” Saya membayangkan kalimat itu meluncur dari mulutmu.

Kau melewati hari-hari mencapai usiamu yang setahun selayaknya bayi tumbuh. Ya, iyalah, memangnya mau bagaimana lagi. Maksud saya begini. Saya perlu terangkan kalau hampir setiap hari saya melihatmu tertidur dan terbangun. Hal itu berbeda dengan proses pertumbuhan kakakmu karena dulu saya masih bekerja di Makassar.

Tak lama setelah kau lahir, rumah mungil yang di KPR (Kredit Pemilikan Rumah) bersubsidi sudah ditinggali. Itu salah satu alasan mengapa saya memilih pindah lokasi kerja selain dua alasan yang lain.

Alasan kedua, saya kira, kalau saya tidak pindah bekerja, rumah itu tidak bakal ditempati mengingat kepulangan saya hanya sekali sepekan. Ketiga, tentu saja, karena kau telah lahir dan saya ingin melihatmu saban hari tumbuh.

Kau anak perempuan. Emakmu sering bilang kalau saya sudah punya pelanjut, dia juga butuh pelanjut. Doa emakmu terkabul.

Jadi, jalannya kehidupan bersamamu saya bayangkan layaknya burung pipit. Dulu waktu saya kecil. Usia sekolah dasar. Di samping jendela rumah panggung tumbuh pohon nangka. Di sana menjadi induk burung pipit membangun sarang.

Anak-anak kala itu gemar memelihara burung. Burung apa saja. Karena burung pipit lebih senang membangun sarangnya di pohon nangka atau di pohon mangga, itu jalan yang mudah untuk menangkapnya menggunakan perangkap di pintu masuk sarangnya. Nah, setelah saya memasang perangkap di pohon nangka dekat jendela itu, saya mengawasinya dari jendela. Saya ingin melihat langsung bagaimana burung itu terperangkap.

Tentu ada yang berhasil dan gagal. Bahan membuat perangkap burung mulanya dari tali rapiah yang diurai kemudian menganyamnya seukuran lubang sarang burung. Lalu kemudian, entah siapa yang menemukan kalau pita kaset lebih efektif. Jadi, mula-mula pita kaset ditarik agar menyerupai tali dan menganyamnya.

Perangkap itu dipasang jika burung pipit belum memiliki anak. Kalau telurnya sudah menetas sisa anaknya yang diambil untuk dipelihara walau, tentu saja itu sangat merepotkan. Memelihara burung pipit dewasa lebih mudah karena sisa menyiapkan padi atau bulir beras dalam sangkarnya.

Di waktu tertentu, saya gagal menangkap burung pipit hingga di sarangnya sudah ada anak-anaknya berjumlah 4 atau 5 ekor. Karena tidak ingin repot merawat anak burung pipit, saya biarkan saja seperti itu dan tidak memberitahukan kepada teman-teman.

Di pagi atau di sore hari. Dari jendela saya mengintip induk burung pipit itu memberi makan anak-anaknya. Usaha ini tentu saja tidak membuahkan hasil. Mustahil bisa melihatnya langsung. Jika sudah di dalam sarangnya bagaimana mungkin bisa dilihat. Jika senggang, pohon nangka saya panjat dan melihat langsung perkembangan anak burung pipit itu dan langsung membuka mulutnya sembari bercicit. Si anak burung mengira saya ini induknya yang akan memberinya makan.

Induk burung pipit tidak berada setiap saat menemani anaknya terlelap di sarang. Ia selalu terbang dan kembali jika sudah mendapat bekal makan buat anaknya. Setelah itu ia terbang lagi. begitu seterusnya hingga anaknya sudah bisa terbang dan membangun sarang sendiri.
Saya membayangkan diri sebagai induk burung pipit yang berangkat pagi dan pulang di sore hari. Kira-kira ada jeda waktu 10 jam tidak bersamamu. Lantas, apakah itu kerinduan. Bukan. Emakmu sering bilang kalau saya ini tidak betah bersama anak. Di hari Minggu, seharian bersama di rumah atau di rumah nenek. Adalah waktu terpanjang yang berisi kebahagiaan sekaligus penuh lelah. Emakmu juga sering bilang kalau seandainya bisa menukar peran. Dirinya yang bekerja dan saya mengasuh anak.

Merawat anak tentu tidak mudah. Kadang saya lebih memilih mengerjakan urusan rumah dan membiarkan dirimu digendong emakmu sambil bergunjing dengan tetangga. Meski itu bukan pilihan. Emakmu juga merasakan hal yang sama. Ia lebih senang mengerjakan urusan rumah. Pasalnya, kau terlalu agresif. Tidak bisa diam dan selalu bergerak. Dan, itu sungguh melelahkan.

Dunia serasa baru tenang jika kau sudah lelap. Namun, tidak bagi emakmu yang harus bangun membuat susu. Kau berbeda dengan kakakmu yang minum ASI hingga usianya 2 tahun. Sejak awal kau minum susu formula yang selanjutnya menjadi rutinitasmu terjaga bila haus atau sedang merasa lapar.

Saya jadi mempertanyakan ulang apa arti waktu senggang bersama keluarga. Di media sosial, sering orang membuat status dengan istilah quality time dengan foto bersama anak dan istri. Hal yang tidak pernah saya lakukan. Bagi saya, hal semacam itu tidak harus dipertontonkan. Tetapi, itu hak bagi siapa saja.

Di waktu libur, lebih banyak dihabiskan di rumah atau ke rumah nenek. Saat seperti itu menikmati waktu senggang dengan macam tingkah anak yang sedang tumbuh mengetahui sesuatu di sekitarmu.
_

Catatan: Ulang tahunmu pada 6 Agustus.



Komentar

Postingan Populer