Kupanggil Kau Diza Lentera



Diza Lentera


/1/

Emakmu mengerenyutkan dahi ketika kubisiki kalau namamu adalah Diza Lentera. Sejenak ia melupakan sakit bekas operasi sesar yang menjadi pintumu melihat dunia. Ia tidak setuju sebagaimana Dika, kakak lelakimu yang saya tambahkan Lentera di belakang namanya.

Berbeda dengan kakakmu, Diza. Kau mendekam di dalam perut emakmu begitu saja. Saya tidak tahu persis kapan benih itu tertanam. Sejak kakakmu dilahirkan dengan cara yang sama, saya tidak mau melihat lagi emakmu meringis menahan sakit.

Di beberapa kesempatan emakmu mengutarakan kehendak melahirkan anak perempuan. Ia menolak menggunakan obat KB. Di suatu hari yang telah saya lupa, emakmu menyunggingkan senyum menyambutku pulang. Senyum yang terakhir kali saya tatap di tahun 2007, tahun pertama kali berjumpa. Ia nampak bahagia.

/2/

Di hari Sabtu ketika pulang ke Pangkep dari Makassar, saya tidak lagi langsung ke lapangan Futsal bermain bersama dengan teman-teman. Dua atau tiga pekan sebelumnya rutinitas itu sudah berubah. Hal lain jika menuju pulang ke Pangkep di hari Sabtu, biasanya saya selalu singgah di Warkop Bagas dekat sungai di kota Maros.

Memasuki bulan kedelapan emakmu mengandung, saya berusaha cepat pulang ke rumah. Istirahat dua jam lalu mengajak kakakmu, Dika Lentera ke lapangan Futsal. Dika sangat senang bermain di sana. Ia membawa bola sendiri yang bisa ia tendang.

Pada Sabtu, 5 Juli, emakmu mengutarakan kalau petunjuk melahirkan sudah terasa. Siang itu, ketika saya sampai di rumah ia tidak lagi menyiapkan makanan. Selepas magrib, perjalanan ke Makassar ditempuh menuju Rumah Sakit Ibu dan Anak Pertiwi di jalan Jenderal Sudirman.

Lokasi rumah sakit itu berdekatan dengan lapangan Hasanuddin, hanya sepelemparan batu di seberang jalan. Di satu sore ketika kau sudah dilahirkan, Dika saya ajak bermain di sana, mengelilingi lapangan dan sempat bermain bola plastik dengan anak-anak yang dijumpainya. Ia juga berfoto di bawah pohon trembesi yang sudah tua. Batangnya besar sekali.

Emakmu bersama nenek perempuanmu, Yusuf, Hamring, Mail dan tentu saja kakakmu tiba lebih dulu di rumah sakit. Mereka satu kendaraan di atas mobil Avanza yang disewa. Saya sendiri meniti jalan seorang diri di atas sadel sepeda motor Honda Beat Street.

Sekitar pukul sembilan malam saya mengantar emakmu menuju meja piket untuk mendaftarkan nama pasien. Selanjutnya diarahkan ke ruang gawat darurat untuk diperiksa. Seorang dokter lelaki berambut cepak dengan senyum ramah menyambut. Sekilas, wajah dokter itu tidak asing. Serasa mengenalnya dengan lekat sebelum sadar kalau itu cuma khayalan semata. Wajahnya cuma mengingatkan dengan seseorang di kampung. Di dunia memang ada manusia yang memiliki kemiripan wajah meski tidak sealiran darah.

Usai emakmu diperiksa, dokter itu mengajak kami berdua berbincang di sudut ruangan dekat pintu masuk. Di sana ada meja kecil yang biasa digunakan oleh dokter yang sedang bertugas. Kami duduk berhadapan di depan meja. Dokter menjelaskan beberapa kemungkinan jika harus melahirkan secara normal. Kau tahu, Diza, kakakmu dulu dilahirkan dengan cara sesar. Riwayat itu jelas diketahui oleh dokter meski emakmu tidak mengatakannya. Saat itu masih tahap pembukaan satu. Sakitnya belum terasa. Jika melahirkan normal ada sepuluh tahap pembukaan yang harus dilewati. Saya tidak yakin emakmu mampu bertahan melawan waktu. Di tahun 2014 waktu kakakmu ingin dilahirkan, emakmu hanya mampu bertahan di pembukaan dua.

“Kita tunggu saja, silakan jalan-jalan saja dulu di area rumah sakit,” dokter menutup obrolan.

/3/

Lalu lintas di jalan Jenderal Sudirman masih padat. Di sudut lapangan Hasanuddin beberapa orang sedang bermain domino. Di sudut itu pula terdapat pesawat televisi untuk menonton bersama pertandingan sepakbola, utamanya jika PSM sedang berlaga. Saya juga berbaur di sana kala PSM menang sebiji gol dari Ferdinand melawan Mitra Kukar di stadion Andi Mattalatta dalam lanjutan Liga 1 Gojek Traveloka.

Saat pertandingan itu berlangsung, kau dan emakmu sudah terbaring di kamar Nomor 613 di lantai 6. Nenek perempuanmu berlalu ke pesta pernikahan salah satu ponakannya. Kalian hanya bertiga bersama Dika sebelum Ipo, tante kalian datang menemani.

Malam itu terakhir kita menginap di rumah sakit. Rencana di luar perkiraan dari semula empat hari tiga malam. Saudara dari bapak dan emakmu bergantian datang melihatmu. Tiga sepupumu, Siva, Esa, dan Indra juga datang.

Malam itu kau tidur nyeyak sekali. Namun, Dika tidurnya gelisah karena penyejuk udara di kamar sengaja diturunkan suhunya. Emakmu selalu menderita jika dalam situasi dingin. Saya juga demikian karena itulah saya memilih di luar. Berusaha menuntaskan novel On The Road Jack Kerouac sebelum pulas.

/4/

Setelah emakmu diperiksa kembali di UGD, ia dipinta ke lantai dua menuju ruang bersalin.  Bergabung dengan sejumlah perempuan yang hendak melahirkan. Semuanya berjumlah 10 orang dan terbaring di ranjang. Ruangan itu memang lumayan luas.

Di depan kamar tersedia tempat duduk yang juga dipenuhi anggota keluarga pasien yang lain yang hendak melahirkan. Saya, nenekmu, dan Dika juga ada di sana. Menjelang pukul sepuluh malam, situasi tidak ada yang berubah. Emakmu masih rileks  terbaring di tengah raungan kesakitan sejumlah perempuan di samping kiri dan kanan yang berjuang melahirkan normal.

Ros, salah satu petugas di rumah sakit yang juga sepupu baru tiba sekitar pukul dua belas malam. Malam itu ia tidak bertugas tetapi menyempatkan datang membantu berdialog dengan dokter dan menyiapkan kamar.

Kali ini saya dan emakmu berhadapan dengan dokter perempuan. Kami berbincang dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi jika ingin melahirkan normal. Penjelasannya sama dengan dokter lelaki yang di IGD. Setelah sepakat, saya dan emakmu lalu menandatangani berkas yang telah disiapkan.

Emakmu kembali terbaring dan dokter perempuan itu berlalu. Nenekmu sigap di sampingnya dan saya mengangkut barang ke lantai 6. Menjelang pukul satu malam, saya meminta nenekmu ke lantai 6 untuk beristirahat. Dika saya gendong dalam kondisi tertidur. Setelahnya saya kembali menemani emakmu di ruang bersalin. Situasi masih kondusif, kondisi emakmu baru saja menuju fase pembukaan dua. Di ruangan itu seolah tidak mengenal tengah malam. Erangan kesakitan yang akan melahirkan tanpa henti terdengar. Saya menyaksikan satu hingga tiga anak lahir.

Tak lama kemudian emakmu meminta saya berlalu ke lantai 6 memanggil nenekmu. Kami bergantian jaga. Barulah menjelang pukul tiga dinihari nenekmu menelepon membangunkanku. Dika tidur nyenyak bersama keluarga pasien di dalam kamar. Di saat itulah sakit yang dirasakan emakmu sudah tidak tertahankan. Ia mulai mengucap sejumlah kata di luar kesadarannya. Sedikit mendekati umpatan. Ia memanggil dokter untuk segera dioperasi saja.

Suster yang bertugas hanya bisa menenangkannya karena operasi mustahil dilakukan pada saat itu juga. Operasi sesar tidaklah melibatkan satu orang dokter saja. Lagi pula, suster mengingatkan kalau tadi sudah sepakat untuk melahirkan normal. Sekarang baru pembukaan tiga. Suster hanya bisa menenangkan.

Penjelasan yang kudapat dari satu dokter yang datang memeriksa mengatakan bila operasi baru bisa dilakukan di pagi hari. Paling cepat setelah subuh. Dokter itu bukan dirinya yang memutuskan pasien akan dioperasi atau tidak. Dokter yang bertugas masih tertidur. Ia meminta bersabar sampai dokter bersangkutan terjaga.

Menyaksikan emakmu meringis menahan sakit kembali mengantar pada proses persalinan kakakmu. Kali ini tantangannya lebih berat karena harus pula menyaksikan hal yang sama pada perempuan yang lain. Sesaat saya sadar kalau satu-satunya suami yang mendampingi istrinya di ruang bersalin hanya saya.

Ini tantangan yang mengerikan sekaligus mendebarkan. Di dalam pikiran saya menggibur diri dengan segala bayangan. Kadang saya melihat diri saya selaku dokter di tengah perang. Di khayalan lain saya membayangkan diri seorang pemain sepakbola dalam pertandingan final. Kedua hiburan itu tak dapat membendung air mata, Diza. Di situasi seperti itu saya tak dapat tidak menangis.

/5/

Azan subuh terdengar dari masjid terdekat. Sepertinya dari masjid IMMIM di sisi selatan lapangan Hasanuddin. Dokter yang dimaksudkan dokter lelaki yang mencoba melawan kantuk dengan membaca sejumlah pesan WhatsApp di hape pintarnya setelah menenangkan saya mulai nampak. Rupanya, dokter yang sejak awal yang kami jumpai di ruang IGD.

Ia menghampiri pasien satu persatu. Ketika tiba giliran emakmu, saya menjelaskan beberapa hal dengan suara pelan. Dokter itu tersenyum dan mengamini pinta saya. Selanjutnya sisa menunggu kelengkapan operasi disiapkan.

Di balik gorden sinar matahari mulai nampak, tukang parkir rumah sakit sedang menyapu halaman. Di seberang jalan, sejumlah orang sedang lari pagi mengitari lapangan. Saya berlalu ke lantai 6 membangunkan Dika yang tidur bersama nenek kalian. Saya lupa, apakah saat itu saya sempat keluar membeli nasi kuning bekal sarapan buat Dika atau tidak.

Waktu tak lagi serasa mandek, semuanya normal. Minggu yang yang cerah. Kakak perempuan saya sudah datang bersama ponakan. Segera saya pinta Farid, nama ponakan itu untuk ke kantor PMI membawa contoh darah yang diperlukan bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Nenekmu mengganti saya di ruang bersalin. Dika kini dalam pengawasan saya yang selalu ingin bermain di tangga lif. Setelah semua persiapan administrasi rampung dan emakmu sudah di dalam ruang operasi. Dika nampaknya mulai diam dan memilih duduk. Diam-diam saya turun memesan kopi di warung tepi jalan tak jauh dari rumah sakit.

Lalu lalang kendaraan di jalan Jenderal Sudirman sepi. Sejak beberapa tahun lalu di sepanjang jalan itu, oleh pemerintah kota diberlakukan hari bebas kendaraan. Tak lama kemudian ribuan pejalan kaki melintas. Dari seragam yang dikenakan jelas mereka semua adalah karyawan salah satu perusahaan swasta yang sedang merayakan ulang tahun perusahaan tempat mereka bekerja.

Petugas parkir rumah sakit yang menangani sepeda motor duduk termangu menghadapi sebatang rokok di tangan kanannya. Sama sekali tidak tertarik menonton ribuan pejalan kaki di belakangnya.

/6/

Pesan WhatsApp masuk di hape dengan kabar yang berulang dari teman di salah satu grup obrolan tidak kugubris. Kakak perempuan kutelepon menanyakan kabar. Di ujung telepon ia bertanya keberadaan saya dan tanpa jeda menyampaikan kalau adiknya Dika sudah lahir dengan selamat. Bayinya perempuan.

Kukeluarkan selembar uang lima ribu rupiah dan berlalu ke lantai dua. Kali ini suasana berubah. Sejumlah orang yang duduk terlihat semringah. Di sudut lain sayup terdengar suara tangis bayi. Beberapa suster atau bidan yang melintas kusalami dan mengucap terima kasih. Merekalah yang bertugas jaga malam dan pagi ini berkemas pulang dan digantikan petugas yang lain.

Tak lama kemudian suster sudah keluar dari ruang operasi membawa bayi yang akan dtempatkan di ruang khusus. Sejenak kami semua dipersilakan menatap dan menggendongnya. Pesan orangtua supaya membacakan iqamat di kedua telinga bagi bayi perempuan saya tunaikan dengan terbata.

Kau sudah lahir, Diza Lentera. Itu nama yang saya siapkan untukmu agar menciptakan rima jika digabung dengan nama kakakmu. Meski, tentu saja, emakmu tidak setuju dan memberimu nama yang lain. Tetapi, tidak apa-apa, kelak, kalau kau sudah dewasa dan berpikir mandiri, kau berhak mengenalkan namamu yang mana kepada dunia.
_

Pangkep-Makassar, 27 Agustus 2017


Catatan: Naskah ini harusnya sudah selesai sehari setelah kau lahir pada Minggu, 6 Agustus. Mengingat aktivitas berjibun dan segala hal yang menghalangi, barulah selesai.



Komentar

Postingan Populer