Keterasingan Camus



Sumber Gambar

Albert Camus hidup ketika eksistensi manusia ditentukan eksistensi manusia yang lain. Kecamuk perang dalam proses pertumbuhannya serta bentuk penegakan kuasa manusia melalui aturan. Ia juga salah satu rujukan ketika kita hendak melacak filsafat eksistensialisme, selain Sartre tentunya. Keduanya memang sahabat. Sartre, misalnya, menulis esai mendalam mengenang kematian karibnya itu yang harus mangkat karena sebab suatu sebab. Bukan karena usia sebagaimana lazimnya manusia tahu kalau malaikat pencabut nyawa telah datang. Camus tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di Villeblevin 5 Januari 1960 di usianya ke 46 tahun.

Di 54 tahun kematiannya, saya baru membaca novel pertamanya, Orang Asing, usianya baru 29 tahun kala karyanya ini terbit di tahun 1942. Empat tahun lebih tua dari usia negeri ini yang baru diproklamirkan di tahun 1945. Dan, saya baru lahir 42 tahun kemudian. Tepat hari ini, 23 Juni 2014, saya memulai catatan pembacaan ini ketika tim nasional Aljazair menekuk Korea Selatan 4-2 di penyisihan grup H piala dunia dini hari tadi.

Camus dan Aljazair, adalah satu manusia dan tanah kelahiran. 7 November 1913, ia lahir di Mondovi, sekarang daerah itu bernama Deraan. Novelnya ini pun berlatar belakang kehidupan di Aljazair, negeri yang pernah dijajah Prancis di mana Camus kemudian hidup merdeka berpikir di negeri borjuis itu.

“Hari ini Ibu meninggal. Atau, mungkin kemarin, aku tidak tahu. Aku menerima telegram dari panti Wreda: “Ibu meninggal. Dimakamkan besok. Ikut berduka cita.” Kata-kata itu tidak jelas. Mungkin Ibu meninggal kemarin. Begitulah novel tipis ini dibuka.

Isi telegram itulah yang menjadi peta perjalanan Meursault menumpangi bis menuju rumah jompo di Marenggo menjumpai mayat ibunya yang di usia senjanya hidup bergaul sesama lansia.

Meursault, seorang lelaki belum berkeluarga dan bekerja di sebuah perusahaan. Ia mengambil cuti dua hari sebagai bentuk peluangan waktu. Sesampai di panti Wreda, ia tak langsung mendesak pegawai di sana untuk segera menunjukkan tubuh ibunya. Entah apa yang ada di benak Meursault. Nyatanya lagi, ia tidak menangis atas kehilangan itu.

Walau novel ini didasari sebuah latar keluarga, Camus tidak menceritakan konflik dalam keluarga itu. Menyangkut ibu Meursault, misalnya, kita hanya peroleh info sedikit mengenai keberadaannya di panti jompo. Tokoh-tokoh yang hadir dalam novel ini pun diceritakan sendiri-sendiri. Ada Marie, pacar Meursault yang juga tidak diketahui dari mana asalnya serta latar keluarganya. Jangan lupakan Salamano, orang tua yang sibuk dengan Anjing kudis piaraannya. Yang ada, kita membaca kisah masing-masing tokoh itu dalam menjalani kehidupannya.

Setelah pemakaman ibunya, Meursault adalah orang biasa yang tak memiliki musuh. Ia hanya berkutat dengan kehidupannya sendiri. Tetapi, sebagai tetangga dalam satu apartemen dengan Raymond Sintes, konflik eksternal meghampirinya juga. Meski begitu, ia masih memberikan saran kepada Raymond agar tidak memulai kekerasan ketika dirinya dan Raymond dan juga Masson kala berjumpa dengan rombongan orang Arab. Salah satu di antaranya merupakan musuh Raymond.

Keakraban itu bermula ketika Meursault menerima tawaran Raymond makan di kamarnya. Dari sanalah Meursault mengetehui dari pengakuan Raymond sendiri. Ia telah berkelahi dengan seorang lelaki, yang mana orang tersebut saudara perempuan yang dijadikan gendak (perempuan peliharaaan tanpa status pernikahan) oleh Raymond.

Maksud Raymond mengajak Meursault, ialah untuk meminta nasihat darinya atas masalah yang tengah dihadapinya, Raymond sadar dengan apa yang selama ini dilakukan. Memelihara perempuan Arab selaku gundik dan telah diketahui oleh keluarga si perempuan, sunggulah sumber malapetaka bila tidak mampu mengelolanya.

Namun, Meursault tidak tahu apa-apa, ia bingung harus memberikan pandangan apa atas masalah yang dihadapi tetangganya itu. Ia terasing dengan semuanya.

Naas bagi Meursault, justru dari tangannya seorang Arab musuh Raymond harus mati. Antara sadar dan tidak, pistol milik Raymond memuntahkan peluru. “…Pelatuk tertekan, aku menyentuh bagian tengah gagang pistol yang licin, dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering, semua itu dimulai…” Begitula pengakuan Meursault.

Jadilah Meursault melakoni hidupnya di dunia pengasingan, penjara. Benar-benar asing, sepertinya ia tak begitu meyakini kalau dirinya telah menghentikan jalan hidup orang lain. Mendahului malaikat pencabut nyawa. Itu bukan takdir, melainkan nasib tragis antara Meursault dan orang Arab itu.

Camus, telah meneror pembacanya, saya merasakannya. Cerita dibuka dengan kematian, puncak nasib yang dialami sang tokoh utama menjadi sebab dari kematian seseorang. Lalu, tokoh itu pun harus lekas mati atas kesepakatan dan pertimbangan aturan buatan manusia di dunia. Meursault ditimpali hukuman mati. Bisakah itu diterima, membunuh karena tidak sengaja, katakanlah demikian. Tetapi, hukum positif sudah cukup bila bukti material sudah lengkap.

Anggaplah Meursault tengah berdiri di tempat yang keliru di mana seharusnya ia tidak di sana. Bukan karena sial, hanya hukum mati itu perlu penegasan atas tuntutan keadilan. Namun, bisakah hal ini diterima. Ah! Meursault sendiri bingung. Tepatnya tidak memahami semua yang telah terjadi. Ia terasing atas apa yang telah dilakukannya sendiri.

Camus tak hanya meneror kita, ia tengah meghamparkan keterasingan itu sendiri. Umpanya, kita berada di posisi Meursault, tetapi kita memiliki kesadaran bahwa semua itu bukan atas keinginan sendiri. Apa yang terjadi hanyalah refleks dari naluri dasar untuk mempertahankan diri. Perlu bantuan penjelasan lain memang, sayangya, pengakuan kepala panti Wreda yang dipinta pengadilan untuk memberikan keterangan lain mengenai siapa itu Meursault. Semakin meyakinkan pihak pengadil kalau si terdakwa mengidap sesuatu. Ketidakwarasan, karena ia tidak menangisi kematian ibunya. Suatu hal yang sungguh ganjil. Koruptor sekalipun mungkin akan meratap bila sang ibunya wafat.

Bagi Meursault, pengadilan tidak berhak mencapnya berdosa, hanya punya kuasa menetapkannya bersalah atas peristiwa yang menghilangkan nyawa orang lain. Boleh jadi, sebab itulah ia menolak kedatangan pendeta untuk menguatkannya menjalani proses hukuman mati.

Tepat pendapat orang lain, pembaca sebelum saya. Bahwa Camus tak sekadar menulis novel, ia telah menulis traktat filsafat yang kemudian kita kenal absurditas.

“Apa peduliku pada kematian orang lain, cinta seorang ibu, apa peduliku pada Tuhan, hidup yang dipilih orang, nasib yang digariskan, karena hanya sebuah nasib yang harus memilih diriku sendiri dan bersamaku berjuta-juta orang, dan beberapa orang yang mempunyai hak istimewa, yang seperti dia, menyebut dirinya, saudaraku. Mengertikah dia? Betulkah dia mengerti? Semua orang mempunyai hak istimewa. Yang ada hanya yang mempunyai hak istimewa. Mereka juga akan dihukum pada suatu hari. Dia juga akan dihukum. Apa peduliku, bila karena dituduh membunuh ia dihukum mati, karena tidak menangis pada waktu penguburan ibunya…”

Petikan di atas adalah teriakan Meursault di hadapan pendeta yang coba menasihatinya. Teranglah, tokoh Meursault tak lain merupakan suara Camus sendiri. Bagi saya, Camus menjelma Meursault dalam meneriakkan protesnya atas diberlakukannya hukuman mati. Ini bukan anjuran, teriakan itu hanyalah salah satu sumber diskusi dalam memahami penerapan hukuman mati. Kita punya hak untuk tidak sepakat dengan Camus.

Meursault menerimanya, dan untuk pertama kalinya, ia memikirkan ibunya. Ia meyakini saat- ibunya meregang nyawa, kebebasan datang menjemputnya untuk menghidupkan semuanya kembali dari awal. Meursault juga punya keinginan terakhir sebagaimana lazimnya kita ketahui pinta terpidana mati. Ironis, protes, ataukah sebentuk ejekan. Silakan mengartikan: “…Supaya semua tereguk, supaya aku merasa tidak terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan-cercaan.” Ucapnya.

***
Pangkep-Makassar, 23 Juni 2014

Komentar

Udji Kayang mengatakan…
Satu yang kuingat dari novel ini adalah ucapan Meursault ihwal ajakan nikah Marie, "menikah atau tidak, tak ada bedanya." Tampaknya Meursault tak terlalu suka hubungan yang mengikat. Lucunya, itu dibenarkan anak muda hari ini, waktu masih fase pendekatan, mesranya minta ampun, pas sudah jadian, malah bosan. Duh, absurd.
kamar-bawah mengatakan…
Iya, doalog itu salah satu yang penting atas propaganda yang dibangun Camus. Terima kasih sudah berkunjung. Saya ulasan Anda tentang Sekolah dan Ruang Publik

Postingan Populer