Dari Ingatan, Pelatihan, Lomba, hingga Simpatik

#1

Tahun 2013, merupakan tapak yang mencatat namaku pada sebuah buku. Sebenarnya saya tidak ingin menuliskan ini dan menyimpannya di blog. Megak sekali. Memangnya saya ini siapa memproklamirkan diri sebagai penulis. 

Saya tentu bukan Andrea Hirata yang dipuja dan memuja dirinya selaku satu-satunya anak zaman negeri ini yang dalam 100 tahun barulah karyanya, Tetralogi Laskar Pelangi itu yang mampu menembus dunia perbukuan internasional. Angkuh, kan! Padahal, jika Anda menelaah kritik Nurhady Sirimorok menyangkut novel super laris itu, Anda tentu akan menepuk jidat dan membayangkan petuah Edwar Said tentang orientalisme. Pun saya bukan Denny JA yang tiba-tiba saja dibaiat sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh. Aneh!

Dan, menyangkut saya. Ah! Lupakan saja. Sebenarnya saya hanya ingin jadi petani dan berdiam di kampung halaman. Itu saja. Menerbitkan buku, itu hanyalah igauan masa sekolah saya kala masih mengenakan seragam putih abu-abu di tahun 2003. Eh, malah terbukti juga di tahun 2013. Saya tidak berani mengatakan kalau buku itu merupakan kumpulan cerpen. Meski di sampulnya tertera sebagai penjelas. Tetapi tenang saja, saya menambahkan kata ‘sekadar’ yang bisa diartikan seadanya. Ya, buku itu memang apa adanya. Kata lain untuk menyebutnya buruk.

Berbekal tabungan yang sudah saya lupa kapan pertama kali memulainya, saya mengontak juga penerbit berkedudukan di Yogyakarta yang menawarkan fasilitas self publishing. Jadi, dengan nominal tertentu, buku saya bisa diterbitkan dan dipesan sesuai permintaan. Bahasa marketingnya Print On Demand, dicetak sesuai pesanan. Dan lahirlah buku saya Sejumlah Ingatan dan Cerita-Cerita (Sekadar Kumpulan Cerpen). Anehnya, seorang kawan mau juga bersusah payah membaca hingga menuliskan resensinya. Bisa dibaca disini.



#2

Tahun 2010 silam, Yayasan Lembaga Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) dan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) memilih Pangkep dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel). sebagai tempat pelaksanaan sekolah demokrasi yang sebelumnya dilaksanakan di Jeneponto. Ukuran mengapa dua kabupaten ini ditetapkan, mengacu pada buruknya indeks demokrasi yang selama ini berlangsung. Pangkep dan Jeneponto adalah dua wilayah yang selalu menempati nomor buncit Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sulsel.

Dari proses itu, penyelenggara memberikan ruang bagi peserta untuk mengembangkan nalar kepenulisan dalam mewacanakan demokratisasi. Tidak main-main, sebuah News Letter diterbitkan guna menampung catatan reportase dan opini peserta yang terbagi ke dalam tiga angkatan (2010-2012)

Di tahun 2013, LAPAR melengkapi catatan itu dengan hasil penelitian menyangkut geliat perkembangan demokrasi di Pangkep dari dua kali hasil Pemilukada yang telah berlangsung (2005 dan 2010). Hasilnya, lahirlah Geliat Demokrasi Lokal, Pergumulan dari Pangkep Sulawesi Selatan yang merupakan buku pertama yang mengulas sejarah politik modern Pangkep.


#3

Dari seorang kawan di jejaring sosial Facebook, Ia mengusulkan bergabung di grup terbuka bertitel MIMBAR PENYAIR MAKASSAR yang diampuh penyair Muhary Wahyu Nurba. Tak berselang lama, di grup itu tersiar pengunguman perihal penerbitan antologi puisi bersama yang dikuratori Ahyar Anwar, Asia Ramli Prapanca, dan Muhary Wahyu Nurba.

Metodenya sederhana, yang ingin berpartisipasi dipersilakan mengirim sajaknya ke email panitia. Tertarik dengan itu, dengan bangga yang sebenarnya tak ada alasan untuk itu, saya pun mengirimkan lima puisi. Mungkin sekitar seminggu kemudian, panitia mengomfimasi via email bila puisi saya lolos di meja kurator. Membaca kabar itu kepala saya sepertinya berganti menjadi balon gas yang akan menerbangkanku ke angkasa. Karena ini merupakan antologi bersama, panitia memberi catatan kaki untuk terlibat saweran dana penerbitan. Saya menyepakatinya akan tetapi hingga batas waktu yang ditentukan saya tidak mengirim dana ke rekening panitia sebab isi saku lagi cekak.

Via chating di Facebook, saya menyampaikan itu kepada Muhary. Ia memahami dan saya menumbuhkan janji. Di salah satu acara Makassar International Writer Festival (MIWF) tahun 2013 di Benteng Roterdam. Saya bertemu dengan penyair yang telah menerbitkan buku Jadilah Aku Angin Jadilah Kabut itu. Sungguh saya rikuh, sebab ada utang yang belum juga kulunasi. Mestinya sajak saya dibuang saja sebelum dibukukan dalam Wasiat Cinta, judul buku antologi yang menghimpun puisi-puisi itu.


Tetapi, Muhary sepertinya santai saja. Ia menyerahkan dua eksemplar. Hingga kini, utang itu belum juga saya lunasi. Saya berdosa sekali telah mengucapkan janji. Buku bersampul dominasi hijau itu akhirnya saya dekap. Anyar Anwar membubuhkan kata pengantar yang panjang, mengulas sajak yang mengelesirkan cinta. Saya jadi heran sendiri, mengapa puisi saya lolos. Bukankah lima sajak dan tiga yang dimuat sama sekali bukan percakapan perihal cinta. Mungkin itulah sebabnya, Ahyar sama sekali tidak menggubris sajak saya. Boleh jadi karena tidak sesuai dengan judul besarnya: Wasiat Cinta. Tetapi itu bukan alasan mengapa saya belum melunasi utang saweran.

***

Masih dari Facebook, sastrawan Puthut EA mempublis warta lomba blog Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia yang dilaksanakan Forum Peduli Kesehatan Indonesia. Ini berbeda dengan lomba blog yang lain. Tidak ada aturan yang mewajibkan untuk mem-follow Twitter atau me-like panfage Facebook penyelenggara. Aturannya sederhana. Peserta diminta menuliskan pengalaman, mengkaji, atau menuliskan tokoh inspiratif dalam dunia kesehatan di Indonesia. Karya ditulis sekitar 1000 karakter dan mengirimkan url (alamat link postingan di blog) ke panitia. Itu saja, sederhana, kan!

Panitia berhak menetapkan tiga juara (1, 2, dan 3) serta 12 karya pilihan yang akan dibukukan. Pemenang akan mendapat 10 eksmplar dan uang tunai sesuai ketetapan untuk masing-masing kategori pemenang.

Segera saja terbayang sosok Rabiah, suster yang telah bertugas selama lebih 30 tahun di wilayah kepulauan Pangkep. Sosoknya pernah difilmkan oleh Arfan Sabran, sineas muda Sulawesi Selatan yang memenangkan Eagle Award Metro TV tahun 2006 melalui Suster Apung.

Sosok Rabiah pula yang saya angkat untuk mengikuti lomba blog itu. Kami berasal dari daerah yang sama, namun terpisah jarak yang jauh. Dia bertugas di kepulauan yang lebih dekat ke Surabaya, NTT, dan Bali dibanding ke ibu kota Pangkep. Saya hanya dua kali bertemu langsung dengannya. Pertama di tahun 2006 di Makassar kala Ia jadi narasumber ketika Eagle Award Road Show di Makassar. Kedua, saya lupa kapan, tetapi kami bertegur sapa di rumah sakit umum Pangkep. Ketika itu Ia sedang mengambil obat di apotek.

Selasa 7 Januari, kabar mengenai buku itu saya baca di Facebook, bertajuk Mereka Bicara Fakta diterbitkan INSIST Press. Tak sabar rasanya ingin membaca karya 14 bloger dan mengeja ulang Rabiah-Suster yang Bermain Dadu, judul esai yang kualamatkan untuk sosok Rabiah. 


#4

Ini di luar dugaan, di penghujung tahun 2013, tepatnya 31 Desember. Risma Niswaty, istri almahrum Ahyar Anwar mengomfirmasi via chating di Facebook, mengabarkan jika tulisan yang pernah saya posting di blog mengenai sosok Ahyar, dimuat di buku Ahyar Anwar yang Menidurkan dan Membangungkan Cinta, sebuah Obituari. Buku ini sendiri diluncurkan untuk mengenang 110 hari wafatnya kolumnis dua harian di Makassar itu.

Risma, berulang kali mengucap maaf mewakili tim kerja yang menyusun buku itu. Sebab tidak sempat memohon izin untuk pemuatan naskah. Tetapi, bagi saya itu tidak masalah. Kukatakan jika saya sangat bahagia mendengar catatan saya menjadi bagian dari buku mengenang almahrum. Hari itu juga saya berangkat ke Gowa, di kediamannya untuk mengambil buku.


Ahyar Anwar, SuatuPerjumpaan, demikian judul catatan saya tentangnya. Merekam ulang kala Ia menjadi narasumber workshop pelajar Se Sulawesi Selatan di tahun 2003. Di situlah pertama kali berjumpa dengannya, dan tujuh tahun sesudahnya barulah kembali bersua ketika Ia datang ke Pangkep mengisi materi tentang Demokrasi dan Multikuluralisme.

#5

Begitulah, saya yang memendam impian untuk jadi petani. Tetapi, hingga tahun 2013 tutup buku. Niat itu belum kesampaian. Sambil menunggu semua terwujud, saya mengisi waktu bercocok tanam di file word komputer atau terkadang di kertas. Dan, Ah! Lupakan saja, saya masih memendam keinginan menanam padi di sawah, bukan di kertas.

***
Ditulis sebagai kado hari lahir ke 29 tahun


Komentar

Postingan Populer