Pangkep dan Analisis Kebijakan Publik (Refleksi HUT Ke 51 Kabupaten Pangkep 8 Februari)
Kantor Pemerintah Daerah Kab. Pangkep |
Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan (Pangkep) adalah salah satu dari 23 Kabupaten/Kota di Sulsel yang
menjadi salah satu tumpuan ekonomi provinsi bahkan nasional. Hal itu sangat
beralasan karena salah satu perusahaan BUMN yang bergerak dalam produksi semen terbesar
ketiga di Indonesia, PT Semen Tonasa terletak di kabupeten yang terkenal dengan
ikan bandengnya ini.
Secara geografis, Pangkep
dianugerahi limpahan kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial di segala
sektor. Berdasarkan data Bappeda Pangkep sejak tahun 2004, menyebutkan sejumlah
komoditas yang potensial untuk dikembangkan. Di antaranya, industri pengolahaan
tanaman pangan, perkebunan dan holtikultural. Seperti padi menjadi tepung
beras, jambu mete yang buahnya menjadi abon dan kulitnya menjadi minyak
pelumas, buah mangga menjadi sari buah dan buah kaleng, jeruk menjadi jus, kemiri
menjadi minyak kemiri.
Di bidang perikanan, ikan menjadi tepung ikan dan pakan ternak.
Rumput laut menjadi bahan kosmetik, farrmasi dan tepung agar-agar, kerang menjadi
perhiasan dan cindera mata. Sedang untuk hasil tambang, batu marmer menjadi tegel
dan batu hias, batu sabak menjadi cat, tegel dan batu dekorasi, pasir kuarsa
menjadi keramik, kaca dan gelas. Batu bara menjadi bahan bakar, batu gamping
menjadi bahan bangunan, semen, keramik dan kapur.
Pengelolaan
kekayaan sumber daya alam ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi
periode kepempininan H Syamsuddin Hamid Batara SE dan Drs Abdurahman Assegaf melalui
Pilkada langsung untuk kedua kalinya di Pangkep pada bulan Juni 2010 lalu.
Dengan
jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2010 yang diambil dari website resmi Kabupaten Pangkep mencatat
sebanyak 367.371
jiwa yang tersebar
di 13 Kecamatan dan 102 Kelurahan/Desa. Angka ini menunjukkan kalau Pangkep
memiliki kepadatan penduduk yang tergolong tinggi sehingga masih rentan dengan
potensi tingkat pengangguran sebagaimana data dari Dinas Sosial Pangkep tahun
2011 yang menyebutkan angka pengangguran mencapai 23% atau setara dengan 8. 000
jiwa.
Desentralisasi
dan Kebijakan Publik
Sejak bergulirnya
otonomi daerah sebagai jawaban atas ketimpangan dalam menengahi kebijakan dari
pusat, maka hal itu merupakan rumusan pekerjaan rumah yang harus dijalankan
oleh daerah mulai dari provinsi sampai kabupaten untuk membagi secara adil
pelayanan terhadap kepentingan publik.
Namun hal itu sedikit
tercederai dengan penetapan APBD Pangkep tahun 2011 di mana terjadi
pengalokasian dana yang tidak berimbang antara belanja pegawai (birokrasi) sebesar
60% dan kepentingan alokasi publik hanya menyisakan 40% dari total anggaran Rp.
665 Milyar. Berarti
dari sini dapat kita indikasikan kalau telah terjadi perumusan kebijakan publik
yang tidak mempertimbangkan skala prioritas masyarakat secara luas. Pada
wilayah perumusan kebijakan publik ini memang terdapat ragam cara pandang
dengan tingkat kerumitan yang tinggi ketika harus menetapkan antara yang layak
dan tidak layak untuk disebut sebagai kepentingan publik. Karena semua rumusan penetapan
erat kaitannya dengan publik (masyarakat).
Eny Haryati (2009)
mencatat ada tiga model perumusan kebijakan publik dan implikasinya terhadap
kepentingan publik. Pertama, model ‘Elite-Massa’ yang menganggap apatisme
masyarakat membuat mereka buta informasi tentang kebijakan publik. Pada saat
besamaan kelompok elite mampu memobilisasi opini massa serta mempengaruhi
perilaku massa atas kebijakan publik yang ditetapkan. Sehinga kebijakan publik
tidak menggambarkan keinginan massa melainkan merupakan representasi dari
keinginan kelompok elite.
Kedua, model ‘Kelompok’ yang
mengetengahkan kalau kebijakan publik merupakan perimbangan (equilibrium) yang
dicapai sebagai hasil perjuangan kelompok. Asumsi lain dari model ini ialah aktivitas
inklusif perumusan kebijakan publik dipandang sebagai hasil perjuangan kelompok
sehingga para pembuat kebijakan publik secara terus menerus memberikan respon
terhadap tekanan yang diberikan oleh berbagai kelompok yang terlibat.
Ketiga, disebut model ‘Sistem Politik’
yang memandang kebijakan publik sebagai respon suatu sistem politik terhadap
kekuatan-kekuatan lingkungan seperti: sosial, politik, ekonomi geografi,
kebudayaan, dan lain sebagainya atau model ini memandang kebijakan publik
merupakan perwujudan hasil (output)
dari sistem politik.
Bedasarkan asumi di atas,
maka bisa ditetapkan kategori kalau porsi perumusan kebijakan publik di Pangkep
masih berputar pada kategori yang pertama. Meski sudah melalui perumusan dari Musrembang,
namun tak dapat dipungkiri sejumlah praktik campur tangan dari atas (elite)
yang jelas mempengaruhi pada tingkat kondusif perumusan input kebijakan dan
teknis pelaksanaan Musrembang itu sendiri.
Dampak ini bisa
dilihat dari pengalaman Musrenbang selama ini yang masih saja menyisakan
“cacat” atas proyeksi kebijakan yang dihasilkan. Berdasarkan pantauan langsung,
masih ada dusun dalam suatu Kelurahan/Desa yang belum menikmati fasilitas
pelayanan listrik. Dan ketika hal ini dikonfirmasikan kepada pihak Pemda dan
DPRD setempat maka asumsi berputar pada pertimbangan kalkulasi ekonomi pihak
PLN selaku badan usaha milik negara (BUMN) atau buntu pada pengalokasian dana
yang sangat terbatas. Padahal realitas sosial ini sudah lama berlangsung dan
Musrembang sudah sering kali dilakukan. Lalu apakah pelayanan dasar ini tidak
masuk kategori skala prioritas sebuah kebijakan sebagaimana yang tertuang dalam
salah satu misi Kabupaten Pangkep yang hendak menyelenggarakan sistem pemerintahan
yang baik dan pelayanan publik yang prima?
Tantangan
lain yang masih erat kaitannya dengan kebijakan publik , alah isu yang tengah
hangat diperbincangkan masyarakat khususnya para orang tua siswa soal keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan gratis yang tengah berada diujung tanduk. Artinya
penyelenggaraan pendidikan yang selama ini dibebaskan biaya SPP akan dicabut dan
siswa kembali dibebankan untuk kembali membayar yang rencana mulai berlaku pada
tahun depan.
Secara
garis besar program gratis wajib belajar 9 tahun merupakan program dari pusat,
yang kemudian mengalami pengembangan di daerah sampai pada tingkat sekolah
menengah atas. Program pendidikan gratis ini lalu menjadi program utama provinsi
setelah Gubernur terpilih, Syahrul Yasin Limpo dan Wakilnya Agus Arifin Nu’mang
yang sejak awal sudah mengkampanyekannya, imbasnya menjadi determinis tren
kebijakan di tingkat kabupaten, yang sebelumnya juga menjadi program prioritas
kebijakan Bupati Almahrum, Syafruddin Nur, di mana proses penganggaran terbagi
kedalam 60% dari Provinsi dan 40% dari kabupaten.
Pengakhiran
program pendidikan gratis ini tentu tidak terlepas dari masa berakhirnya
jabatan Gubernur pada tahun 2012 mendatang yang bisa menjadi blunder pada kabupaten yang sudah
melaksanakannya. Karena masih terasa hangat ditelinga masyarakat akan janji
politik Bupati pada waktu kampanye yang akan terus melanjutkan program
pendidikan gratis. Dan pertanyaan yang tersisa ialah, apakah mau melanjutkan
atau berhenti di tengah jalan setelah berakhirnya pangkal program dari provinsi.
Putra
Daerah dan Refresentasi Kepemimpinan
Tagline lain
kampanye Bupati dan Wakil Bupati Pangkep yang terpilih selain melanjutkan program
gratis yang sudah berjalan yakni, ‘Saatnya Putra Daerah Memimpin’. Hal itu kini
telah terwujud dan sudah berjalan melebihi seratus hari kepemimpinan menahkodai
kabupaten tiga dimensi ini.
Jika
kita harus menyebut sejumlah prestasi tampaknya masih jauh karena salah satu
urat nadi ukuran kesuksesan kepempimpinan dalam siklus tata negara untuk
disebut baik tentunya ditandai dengan memusakannya atau paling tidak
maksimalnya pelayanan publik. Tapi sebagaimana diketahui bersama rotasi
kepemimpinan pada tingkat SKPD yang belakangan terakhir mengalami mutasi masih
melantik (menempatkan) oknum yang sudah terindikasi kasus korupsi. Hal ini
tentu berpengaruh pada besar kecilnya tingkat kinerja birokrasi dan kepercayaan
masyarakat yang saat ini ditengah kecanggihan teknologi semakin mudah untuk
mengakses informasi terkait dengan hal itu.
Kita
bisa lihat ketika terjadi isu-isu yang “seksi” terkait skandal pejabat publik
baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, maka hal itu begitu
cepat beredar dan diperbincangkan di jejaring sosial dunia maya seperti facebook, yang seakan tidak ada lagi
sekat yang bisa menjembatani alur informasi dan persepsi yang menyertainya.
Bercermin
dari hal ini, seyogianyalah para pemangku kebijakan di Pangkep mampu menjaga
kehormatan publik dari amanah yang diberikan. Mengingat akan filosofi Bugis tentang
kepemimpinan yang harus mengedepankan lempu
(lurus), getteng (tegas), dan warani (berani). Sehingga di hari jadi
Pangkep kali ini kita semua masih memiliki harapan dan tidak sekadar
menghabiskan waktu dalam bentuk perayaan seremonial semata.
_
Dimuat di Majalah Mandat edisi I
2011
Komentar