Makassar, Urbanisasi, dan Penulis


Sejarah para penulis di Makassar adalah sejarah lain dari urbanisasi. Saya memulainya dengan kiprah Retna Kencana Colliq Pujie (Arung Pancana Toa) pada tahun 1852 yang menuliskan kembali epos La Galigo, meski hanya sampai 12 jilid. Hasilnya, pengingatan kesadaran, sejarah, dan asal-usul dari epos tersebut dapat dijamah oleh generasi sekarang.

Dalam era pelisanan, tak ada pusat yang menjadi sumur tunggal. Layaknya air hujan. Ia bisa turun dan mengendap di mana saja. Dituliskan dalam sejarah hidupnya, Colliq Pujie melawan keterbatasan dan pembatasan bagi seorang perempuan pada masanya. Ia keluar masuk desa untuk mencari sebaran-sebaran naskah La Galigo. Sejarah lainnya, ia mendapat bayaran dari pemerintah Belanda dan naskah itu selanjutnya diserahkan kepada B F Matthes. Seorang misionaris yang ditugaskan Belanda untuk mempelajarai kebudayaan di Sulawesi-Selatan. Tapi itulah pilihan yang harus dijalani Collieq Pujie. Keteladanannya jauh lebih pantas diperingati untuk konteks Sulawesi Selatan di banding sosok Kartini yang terlanjur dinasionalkan hari kelahirannya sebagai barometer introspeksi (kebangkitan) bagi perempuan.

Retna Kencana meninggalkan kejayaan di tanah kelahirannya (Barru) dan hidup dari menulis naskah La Galigo. Ia mendapat ruang di salah satu petak gedung di Benteng Roterdam. Mungkin ia mengintip dari tempat terjauhnya. Ia wafat di tahun 1876. Sebuah jarak yang terlampau jauh untuk menyakiskan pagelaran I La Galigo yang berlabuh di Maksassar tahun 2011 lalu dan dipentaskan di halaman bekas “rumahnya” itu. 

Bentang waktu selanjutnya. Makassar tumbuh mencari kejayaan masa lalunya, sebuah wilayah yang ramai. Persinggahan kapal-kapal dagang dari berbagai negara dan lahirnya sejarah-sejarah orang besar. Salah satu pelaku sejarah besar itu diabadikan menjadi nama sebuah Universitas terbesar di kawasan Timur Indonesia. Universitas Hasanuddin. Kekuatannya menarik banyak peminat untuk ke kota. Mengisi ruang-ruang kuliah, menerbitkan tulisan-tulisan, dan mencatat nama-nama.  

Patut diingat sosok Mattulada yang menuliskan sejarah modern pergumulan masyarakat Sulawesi Selatan (Latoa, suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis). Ia bertolak dari Bulukumba, kampung halamannya untuk menyisakan sisa hidupnya dengan menulis di sebuah kota yang kini bernama Makassar.

Kini wajah Makassar semakin ramai dengan berbagai desakan hasil proyeksi visi misi para pemimpin. Setidaknya ada dua kekuatan besar yang berlomba memoles wajah kota ini (Walikota dan Gubernur). Semuanya atas nama kejayaan Makassar dan Sulawesi Selatan. Sehingga para pengguna jalan selain disibukkan dengan rambu-rambu lalu lintas, juga dipaksa melihat rancangan bangunan baru hasil proyeksi kedua kekuatan tersebut, serta membaca sejumlah iklan-iklan yang berwajah besar (baliho para politikus).

Waktu terus mencatat perjalanan kota di mana ruang-ruang kuliah pun semakin ramai akan kedatangan para calon penulis skripsi yang meninggalkan desanya. Di hamparan urbanisasi tersebut, terselip titipan yang tidak banyak. Mereka mencatat hal-hal lain yang tidak ada dalam mata kuliah atau yang yang tidak diucapkan dosen. Anwar Ibrahim merangkum khasanah pengatahuan lokal untuk disandingkan dengan perkembangan demokrasi (Sulesana: Kumpulan Esai tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal). Nurhayati Rahman mengembangkan bakat pembacaan naskah lontaranya dengan mengajak kaum muda untuk kembali membaca dengan tekun salah satu episode sureq Galigo. (Laut, Cinta, dan Kekuasaan dalam La Galigo). Atau H. Muhammad Salim yang telah menterjemahkan 12 jilid La Galigo yang dulu ditulis Collieq Pujie. Penjelasannya dapat dilihat pada buku kecil yang berisi kumpulan makalah yang pernah ia tulis (Tiga dari Galigo: Yayasan Bali Purnati. 2011).

Kekuatan kota memang begitu kuat. Segala transaksi yang terjadi harus dilakukan di sela waktu yang padat. Kota menjadi berhala sekaligus sebuah jalan untuk pencerahan. Halal dan haram adalah suatu mata uang yang tak terpisahkan. Pergumulan intelektual berjalan seiring keputusan-keputusan politik. Media merekam semuanya, dan para penulis menerbitkan catatan hariannya di sana (Baca: Opini). Begitupun bagi mereka yang menjadikan menulis sebagai sumber mata pencaharian. Di mana setiap hari para jurnalis bergulat dengan kata dan data untuk mengabarkan kesaksian.

Pembangunan infrastruktur kota seolah menjaga jarak dengan hal-hal yang yang dinilai mengganggu “bedak” pembangunan. Seolah dipaksakan dengan menyisakan realitas yang kontras. Semuanya memunculkan keseragaman karena keserasian sangat sulit diaktualkan. Jalan “perubahan” politik yang ditulis oleh para ahli yang menyusun draf Undang-Undang (UU) mengajak masyarakat untuk turut terlibat dengan kesibukan-kesibukan dalam pemilihan langsung mencari pemimpin. Meski yang mau dipilih masih yang itu-itu juga.

Jalan kebudayaan berjalan sendiri menyusuri jalan yang tak mulus. Suara Isak Ngeljaratan dan Rahman Arge menjadi benteng tua yang harus bertaruh dengan waktu. Mereka masih terus menulis sisi-sisi manusia yang terus berkelahi dengan modernitas. Dan kota, tetap saja memaksa manusia untuk selalu terburuh-buruh. Lengah sedikit, kita disabit.

Namun, sejarah terus mengawal semuanya. Kuncup bunga yang baru perlahan merekah menggantikan yang kering, atau bunga dengan jenis baru tumbuh di sudut-sudut kota di balik pondasi tebal gedung-gedung tinggi. Geliat penerbitan muncul satu-satu dengan penulis-penulis yang lahir dari kesunyian. Memulai dengan kerjaan gotong royong, beberapa anak muda menjadi penyaksi pada zamannya. Merekam realitas ke dalam tulisan dari berbagai tempat, pristiwa, humor, dan pelaku sejarah pinggir. Hasilnya, sebuah buku manis berhasil lahir Makasar di Titik Nol. Mungkin salah satu penulis dalam karya gotong royong itu, atau malah semuanya merupakan titipan-titipan urbanisasi yang menjadi perantau “lain” di kota Makassar ini.

Melalui Ahyar Anwar sosok dosen yang membimbing dan memberikan teladan kepada mahasiswanya dengan buku. Ada juga Qashim Mahtar yang mendidik masyarakat melalui perayaan keragaman melalui kolomnya Jendela Langit di harian Fajar. Kalau kita bukan aku melainkan mereka adalah kita juga. Jika kita menyakiti mereka, maka kita pun ikut sakit. Serta humor cerdas Fuad Rumi yang selalu menggelitik kita.

Pada akhirnya kota menjadi geliat yang ramai dari segala pertarungan anak manusia, cerminan ini mungkin tak jauh beda dengan kota-kota besar lainnya di negeri ini. Sejarah kota adalah sejarah tujuan para petarung yang tahu akan miskinnya belas kasih, tapi tetap saja menjadi segenggam harapan. Karena hubungan yang terjadi menghasilkan geliat ekonomi. Pertolongan sekalipun menjadi dagangan dengan harga yang paling murah, dan setiap sudut jalan adalah etalase. Kelak, atau sekarang. Semuanya akan terekam dalam tulisan. Apakah anda salah satu yang akan menuliskannya?
_

Catatan ini dimuat di buku Jurnalisme Plat Kuning 
Catatan terkait baca di sini


Komentar

Postingan Populer