Ragam Cerita di Kendaran Plat Kuning
![]() |
Dok. Kamar-Bawah: 2014 |
Anggaplah Pengantar
Mulanya, anggaplah sebuah bus yang membawa penumpang dari
pelbagai daerah di Sulawesi Selatan menuju kota Makassar. Tanah impian sejak
dulu kala, karena petualang dari Eropa pun menjadikannya tujuan. Adalah para
menir Belanda di akhir abad 17 yang mulai membangun pemukiman dan benteng.
Tercatatlah sejak itu, perkembangan kota Makassar melaju dari waktu ke waktu.
Begitulah, para penumpang ini yang mungkin pada mulanya
mengira kalau kota tujuan mereka adalah tanah harapan. Sesampai di kota, mereka
menjadi saksi atas peristiwa yang mengiringi laju kota. Di antaranya ada yang
memungut kejadian di masa lampau, ada pula menjadi bagian dari perubahan yang
berlangsung. Di dalamnya terjalin proses yang kadang menyakiti tetapi juga
terlibat dalam bentuk perayaan.
Di hari kini, Makassar tetaplah magnet. Memiliki daya tarik
kuat sehingga ditempeli beragam suku manusia beserta aktivitas yang
melatarbelakanginya. Di tahun 2012 lalu, misalnya, beberapa penumpang
mendeklarasikan sebuah rumah di dunia maya. Maklumlah, membangun rumah di dunia
nyata di Makassar tidaklah semudah menebus sebungkus rokok.
Rumah maya itu diharapkan menjadi rumah bagi siapa saja yang
hendak singgah menginap barang semalam, tentunya tanpa biaya, sebab di kota ini
menyewa kamar juga tak semurah menyantap sepiring pisang epe.
Rumah itu dilabeli Makassar
Nol Kilometer DotCom, dengan alamat maya: http://makassarnolkm.com. Jika senggang, berkunjunglah, kali saja
menemukan hal-hal yang Anda tak jumpai di rumah maya yang lain.
Rumah itulah yang saya sebut di sini sebagai bus, tentu saja
berplat kuning, jenis kendaraan massal yang dapat ditumpangi oleh siapa saja.
Memasuki tahun ketiga terbentuk, tercatat telah ditumpangi sekurangnya 250
orang dan meninggalkan kesan di sana. Mereka seolah menuliskan sesuatu di buku
tamu berdasarkan kesaksian selama di Makassar.
Dan kini, beberapa catatan penumpang itu dirangkum ke dalam
sebuah buku. Menggunakan filosofi plat kuning sebagai kendaraan massal sebab
plat hitam merujuk pada kepimilikan pribadi dan plat merah simbol kendaraan
operasional pemerintah. Maka dijudulilah: Seri
Kompilasi Tulisan Makassar Nol Kilometer (Dotcom) Jurnalisme Plat Kuning,
Menceritakan wajah Makassar yang lain dari meja warkop sampai riuh festival
rock. Sungguh panjang, seperti menerangkan kalau bus ini telah menempuh
perjalanan jauh.
Sang supir bersama kernet, saya kira, tidak menampik
kontribusi 250 penumpang yang telah ada. Karena catatan ke 43 penumpang yang
dirangkum buku ini bukanlah elite, mereka sama saja dengan 250 itu. Warga biasa
yang sama derajatnya di kursi bus yang sama. Dan tentunya, berdemokrasi
mengabarkan ragam kesaksian. Mereka ini di antaranya belum saling mengenal,
layaknya penumpang bus, ada yang naik dan turun tanpa harus bersapa.
Geledah
Buku ini dibagi ke dalam lima kategori, yaitu: Fenomena
terdiri 20 catatan. Sejarah dan Tokoh didukung 10 analisis. Komunitas ditopang
11 ulasan. Ruang berisi 23 kesaksian. Dan, Kelas Menulis melengkapinya dengan 7
perspektif.
Meski di halaman 396 tertera 43 daftar riwayat penulis,
rupanya tidak tertampilkan catatan atas nama Sabrianti A dan Nurul Fadhilah.
Terdapat juga ulasan yang mengatasnamakan tim, misalnya saja, di halaman 89,
Tim Media Ekonomi Unhas mengulas seputar menjamurnya mini market di Makassar.
Sedangkan Tim Makassar Nol Kilometer memberikan tiga judul ulasan tentang
pantai losari (Hal. 321, 325, 336). Berdasarkan keterangan di dalamnya, Tim Makassar Nol Kilometer mengembangkan
catatan pendek disertai foto yang dikirim Sabrianti A. Begitupun dengan
keterangan tambahan dari Nurul Fadhilah, mungkin kedua orang inilah yang
dimaksudkan.
Selebihnya, 40 penulis masing-masing menyumbangkan satu
hingga sepuluh naskah. Saya menghitung Chadijah L dan Sri Buna, keduanya
berbagi catatan tentang kenangan dua pasar (Hal. 293). Terbanyak, Ipul Gassing
yang di beberapa judul tercatat juga Syaifullah Daeng Gassing (orang yang sama)
dengan sepuluh ulasan. Disusul Anwar Jimpe Rachman, enam catatan, menjadi tujuh
dengan pengantar. Ishak Salim dan Kamaruddin Azis, masing-masing empat. Nur
Utami Ningsih dan Ahmad MA, keduanya tercatat menyumbangkan tiga catatan.
Asmunandar, Ruslailang Noertika, Zulkhair Burhan, dan Mugniar Marakarma, dengan
dua catatan.
Sedangkan 27 penulis: Ahmad K Syamsuddin, Sartika Nasmar,
Hasnulir Nur, Muh Iqbal, Hasrul Eka Putra, Eko Rusdianto, Ichwan Persada, M Aan
Mansyur, Muh Aksan, F Daus AR, Rezkiyah Saleh Tjako, Irwan AR, Arham Rahmat,
Nurhady Sirimorok, Sunardi Hawi, Merlin Herlina, Anita Halim, Ibnu Hayat,
Muhammad Cora, Siswandi, Anna Asriani Muhlis, Jumardan Muhammad, A Zulfajrin,
Ade Putra, Muh Ikhsan, Achmad Fani Saputra, serta Ayi Prima. Semuanya
mempersembahkan sejudul ulasan.
Ragam
Dimulai dari warung kopi (warkop) di jalan Tinumbu, tepatnya
di area pasar pasar Cidu, wilayah utara kota Makassar. Ahmad K Syamsuddin dalam
catatan Warung Kopi, Jantung Pasar Cidu (Hal.
3) mengulas tentang tipologi pengunjung warung kopi. Berdasarkan pengamatan, ia
menyaksikan bagaimana sejumlah orang tua sepulang salat subuh kemudian
melanjutkan perbincangan di warung kopi Dottoro, warkop lawas yang didirikan Dg
Naba di tahun 1971. Ahmad menyebutnya sebagai pelanggan kelompok pertama.
Seiring matahari pagi menyembul, berdatanganlah kelompok
kedua, ialah mereka pekerja kantoran dan pedagang. Singgah menyeruput kopi
boleh jadi merupakan hajatan atau malah, mereka tak sempat menyarap di
rumahnya. Kelompok ini selalu berpacu dengan waktu.
Setelahnya, muncullah kelompok ketiga. Merekalah penghuni
warkop “sesungguhnya” yang betah hingga sore. Beragam hal dibicarakan hingga
terjadilah transaksi jual beli. Mulai batu mulia, tanah, hingga motor bekas.
Rupanya makelar.
Ahmad jeli, termasuk cara memesan kopi hingga menyeruputnya.
Tipe pertama, memesan kopi hitam dengan takaran gula sedikit. Kelompok kedua,
membutuhkan racikan kopi susu, kadang ada meminta kopi dicampur telur setengah
matang. Dan, kelompok ketiga, pada dasarnya permintaan mereka tak jauh berbeda.
Hanya saja, pesanan tak langsung diludeskan. Segelas kopi dibiarkan mengendap
di dalam gelas hingga sore, selama mereka berada di warkop.
Sebagaimana keterangan sub judul, keberagaman muatan di buku
ini merembes ke riuh pagelaran musik rock. Di catatan catatan terakhir, Achmad Fani
Saputra, dengan ulasan Catatan dari RIC
2013 (Hal. 382) merekam dengan apik pagelaran festival rock terbesar di
Indonesia Timur, manalagi kalau bula di Makassar sebagai lokasi pelaksanaan Rock In Celebes yang menggemparkan
pecinta music rock.
“Pada majalah Rolling Stone edisi “The
Big 100” Agustus 2013, RiC dicatat dalam kategori “festival rock internasional
di luar ibu kota...,” tegas Achmad.
Masih di tahun 2013, Anwar Jimpe Rachman, mencatat kalau di
tahun ular air itu patut diingat sebagai perkembangan musik rock di Makassar.
“Pada 16 Februari 2013, The Joeys
membukan panggung musik Makassar dengan meluncurkan album I Sing a Song for You
Beautiful Love di Woodsy Gab, kafe yang bersebelahan dengan Kantor Gubernur
Sulsel. Sekisar dua bulan setelah itu De Bluesfresh dan The Gameover
masing-masing merilis album Bukan Lagu Cengeng dan Bubar. Hanya berselang satu
dua pekan, Melismatis menyiapkan album debut mereka, Finding Moon. (Skena Musik Makassar
di Pertengahan 2013, hal. 2013)
Ditilik dari penamaan kelompok musik mereka, seolah tidak
berpijak di bumi Makassar melainkan mengingatkan nama-nama band di Eropa atau
Amerika Serikat. Tetapi percayalah, band ini adalah anak muda yang membangun
jejak di kota ini.
Jamrud, band rock tanah air pernah menggelitik terkait penggunaan
aksen berbahasa Inggris di tembang Asal
British: “…Ya terang aja seleramu
berubah mungkin terlalu banyak gaul ama turis jadi hobinya denger yang
inggris-inggris biar bingung asal british…”
Namun, saya kira, kelompok musik Makassar ini tentulah tidak
sekadar asal british, mereka melek
bahasa asing. Latar belakang mereka memungkinkan demikian yang rata-rata
mahasiswa. Dan besar dugaan, jenis musik yang mereka konsumsi tentunya kelompok
musik dari luar negeri. Penggunaan nama kelompok musik berbahasa Ingris dan
tembang yang dirilis dengan bahasa yang sama, dapat dibaca sebagai penegasan
sebuah identitas.
Pengakuan
Ada banyak pengakuan dari mereka yang mengalami peristiwa di
Makassar. “Tahu tidak kenapa saya
mendadak ingin jadi mahasiswa? Karena di Karebosilah, saya pernah melihat pawai
dan demonstrasi akbar digelar!” Kalimat penutup ini dituliskan Irwan AR di
ulasan Sisi Hitam Karebosi (Hal.
231).
Ia menuliskan pengalamannya selaku pelajar, di mana lapangan
Karebosi di eranya bersekolah masihlah ruang publik yang bebas digunakan siapa
saja. Ketika mata pelajaran Pendidikan Jasmani, jelas, Karebosi adalah pilihan
utama guna berlatih sepak bola, takraw, dan jenis olaharaga yang lain.
Berdasarkan pengalaman, penulis buku kumpulan puisi Rumah Rindu ini
menceritakan kembali bagaimana Karebosi menjadi ruang perjumpaan segala
aktivitas manusia. Dari penjual obat, pencopet, waria, hingga pencopet.
Meski begitu, saya kira, semua tetap mencintai kota ini
walau kadang menyebalkan. Pengakuan Ayi Prima dalam Menguji Iman di Jalanan Makassar (Hal. 42) sunggulah lucu sekaligus
meneror. Sebagai orang Jawa yang mengikuti sang suami ke Makassar, beradaptasi
merupakan awal mula baginya. Hanya saja, perilaku pengendara yang disaksikan
sungguhlah di luar batas kemampuannya memahami. Sangat berbeda sebagaimana
warga Yogyakarta, kota asalnya, dalam berlalu lintas. “Eh, mungkin ada bagusnya juga jalanan di Makassar begitu ya? Iman saya
jadi lebih kuat , karena lebih banyak berdoa dan berzikir.” Tulisnya mengakhiri.
Perkembangan jalan di Makassar sepertinya tunduk pada
keberadaan mesin. Nurhady Sirimorok di ulasan Makassar Bukan untuk Manusia? (Hal. 246) jengkel, betapa tidak,
trotoar yang sejatinya menjadi hak pejalan kaki, digilas juga roda kendaraan.
Walaupun trotoar tetap ada, tetap saja tak nyaman, selain laju mesin kendaraan,
pejalan haruslah melawan sengatan matahari karena tidak adanya pohon pelindung
dan kecipak air di musim penghujan. Intinya, tidak ada jalan bagi pejalan yang
tidak bermesin.
***
Karena bus merupakan kendaraan bermuatan besar, batas
mengantar penumpang hanya sampai di pintu gerbang kota. Setelah itu, bagi yang
ingin melanjutkan perjalanan ke tengah kota, sudah tersedia jenis kendaraan
plat kuning yang lain. Di kota ini disebut pete-pete.
Hasrul Eka Putra dalam Pete-Pete
Kampus di Ujung Nostalgia (Hal. 73) mengingatkan kontribusi supir pete-pete yang menjadi kawan perjuangan
mahasiswa dalam mengarungi perjalanan ke kampus. Tersebutlah Dg Naya, salah
satu supir pete-pete yang turut mogok
memprotes keputusan rektorat Universitas Hasanuddin yang mengubah jalur trayek pete-pete kampus.
“…Sejak berlaku 2 Januari 2013,
pete-pete trayek kampus tidak lagi dengan rute lamanya: masuk Pintu Satu Unhas,
keliling jalan lingkar kampus, lalu keluar Pintu Dua…” Tulis Hasrul. Dengan perubahan jalur itu, bukan hanya
mahasiswa yang mengeluh, tetapi juga warga yang tinggal di kawasan Kera-Kera
dan sekitarnya. Termasuk anak-anak mereka yang kebanyakan bersekolah di jalan
Perintis Kemerdekaan. Karena harus menggunakan lebih dari satu jalur pete-pete yang berarti menambah ongkos.
Dan, yang paling kena imbasnya, tentulah supir pete-pete kampus yang harus menerima berkurangnya pemasukan.
Membaca keseluruhan catatan di buku setebal 403 ini, tak
hanya membawa kita pada perbincangan di warung kopi dan riuhnya festival rock.
Tetapi juga mengantar kita berjalan hingga ke lorong kota. Saya jadi ingat wali
kota Makassar, Danny Pomanto, kabarnya, ia juga berasal dari lorong. Astaga!
Kota yang memiliki sejarah panjang yang berpangkal di abad 14 ini rupanya
sekarang hanya dinahkodai anak lorong!
Tetapi sudahlah, saya ingin menegaskan kalau 71 catatan di
buku manis ini terlalu naïf jika ulasan setiap penulis dari pelbagai latar
belakang, seperti aktivis LSM, penyair, mahasiswa, ibu rumah tangga, dosen, hingga kaum difabel harus dikupas satu-satu. Buku ini, saya sebut sebagai
perayaan dalam berpendapat dan menyampaikan kabar. Merekam Makassar menggunakan
sudut pandang begitu dekat, karena sesungguhnya, penulisnya sungguh mengalami.
Penting dibaca oleh siapa saja, termasuk wali kelas, wali
murid, dan tentu saja wali Kota Makassar. Sebab, guna memahami esensi lorong,
buku ini bisa dijadikan pengantar. Mengapa, karena bus berplat hitam biasanya
miskin sudut pandang walau di dalamnya banyak penumpang, apalagi plat merah. Jadi. Sesekali
menumpanglah di kendaraan plat kuning dan dengarlah beragam cerita.
***
Pangkep-Makassar, 13 November 2014
Versi pendek dimuat di Fajar edisi 7 Desember 2014
Dimuat juga di Makassarnolkm
Versi pendek dimuat di Fajar edisi 7 Desember 2014
Dimuat juga di Makassarnolkm
Komentar