Betapa Sekolah Tak Pernah Terurai dari Kekusutannya

Arsyla, anak kedua saya (perempuan) sedang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari sekolah. Pernah satu kejadian ia berpura-pura sakit perut sehingga diizinkan pulang lebih awal oleh gurunya. Belakang hari ia utarakan kalau itu cuma alasannya saja karena belum mengerjakan PR.


Seorang kawan pernah menceritakan kisah anaknya yang tidak menempuh sekolah formal. Di balik percakapan anaknya itu dengan teman sepantarannya, ia mencuri dengar seorang teman anaknya yang menyampaikan betapa melegahkannya dunia tanpa sekolah.

“Kau itu enak, Bobel karena tidak sekolah,” begitu kata kawan menirukan ucapan teman anaknya[1].

Mendengar itu tentu saya tertawa sekaligus menerawang jauh. Rupanya, sekolah tidak pernah beranjak dari kegelisahan yang sama di tiap lapisan generasi. Dulu juga saya merasakan apa yang dirasakan teman anaknya kawan itu, kini pengalaman tidak mengasyikkan dalam menjalani rutinitas sekolah juga berlanjut ke tiap generasi.

Setelah mendengar kisah itu, di beberapa kesempatan saya kerap menggali informasi ke anak saya yang kini sudah duduk kelas 4 di bangku sekolah dasar[2]. Ardika, nama anak pertama saya itu punya ambisi merebut rangking pertama di kelasnya. Pengakuan yang membuat emaknya bangga. 

Sebaliknya, ambisi itu sungguh mengkhawatirkan bagi saya. Pasalnya, pola kompetisi yang masih ditanamkan dalam sekolah untuk disebut yang terbaik sama sekali tidak berbanding lurus dengan ambisi yang lain. Taksonomi pendidikan yang dulu dicetuskan Benjamin S Bloom mengenai affective domaincognitive domain, dan psychomotoric domain tidak pernah berjalan selaras atau berimbang. Saya merasakan betapa dorongan dua domain terakhir begitu dominan ketimbang domain pengembangan watak dan sikap. 

Di usia sebelia itu, kehidupan Ardika seperti berjalan di dua dunia yang berbeda. Lain di sekolah dan lain ketika sudah di rumah. 

“Mak, janganmi belajar lagi kalau di rumah, karena di sekolah sudah belajar,” Ardika akan mengajukan protes jika emaknya memintanya mengulang pelajaran. Kesadaran usianya tidak bisa berdusta jika dunia anak adalah bermain.

Saya mulai ngeh dengan dunia sekolah yang sesungguhnya tidak memanusiakan manusia setelah mengikuti kritik pendidikan yang diwacanakan Paulo Freire, pendidik multikultural dari Brasil itu mengentak kemapanan berfikir kita mengenai dunia sekolah. Ungkapan guru mengajar dan murid belajar mengandung selimut hegemoni sebagai daya dukung agar dominasi terus langgeng. Freire menyebutnya dengan pendidikan gaya bank yang mengharuskan murid belajar menabung informasi dan pengetahuan yang, ironisnya, tidak dibarengi dengan daya kritis sehingga murid hanya mengumpulkan beragam informasi, akan tetapi minus nalar dalam memaknai seluk beluk. 

Tentu saja tidak bisa dilupakan betapa mengajukan pertanyaan yang mempertanyakan kembali hal ikhwal justru dianggap tidak normal. Murid yang memiliki daya nalar kritis segera dilabeli murid nakal atau kurang ajar.

Dari balik bergantinya kurikulum, saya masih sangsi dengan maksud baik di balik tujuan pendidikan nasional. Bongkar pasang kurikulum justru memusingkan, bukan hanya murid, tetapi juga tenaga pendidik yang perlu sesegera mungkin melakukan adaptasi. Jika ditilik, ini baru satu topik tantangan, belum lagi membicarakan infrastuktur pendidikan yang belum merata dan penerapan zonasi malah diberlakukan.

“Sebagai orangtua, tentu saya mau anak saya bersekolah di sekolah yang bagus,” ucap seorang kawan yang lain. Sekolah yang bagus tentu saja mengacu pada fasilitas. Karena zonasi penerimaan siswa disesuaikan dengan domisili, ia harus mengetuk banyak pintu agar anaknya dapat diterima di sekolah yang menurutnya bagus itu. Pasalnya, sekolah di kecamatan ia tinggal dianggap bobrok.

Jika situasi sekelumit ini, maka bisa dipastikan akses sekolah hanya milik orang yang memiliki daya dukung modal memadai. Lalu, jika demikian, bagaiman dengan warga miskin. Eko Prasetyo pantas sinis jika orang miskin memang dilarang sekolah.

Sepertinya memang tidak ada upaya memberesi kekusutan sehingga semakin menumpuk. Belum selesai satu persoalan muncul lagi semacam inovasi seolah itu merupakan solusi atas permasalahan yang ada. Padahal, sama sekali tidak membicarakan persoalan. 


SD Negeri 4 Padoang-Doangan sekolah Ardika dan Arsyla bersekolah

Pendidikan itu Sekolah

Nah, ini satu persoalan juga, tepatnya pada cara memandang lembaga pendidikan. Jadi, meski pendidikan itu cakupannya luas, pemahaman yang menguat dan menjalar masihlah pada kepercayaan kalau pendidikan itu ranahnya sekolah sebagai lembaga sosial formal yang menjadi satu-satunya sesembahan dalam menghadapkan wajah anak menuju wajah pendidikan.

Karena ini pula, mengongkosi pendidikan (sekolah) tidak main-main. Saya sendiri perlu memberi tambahan untuk menyewakan biaya jasa antar jemput. Saking pentingnya sekolah sebagai wahana pendidikan yang telanjur diyakini dapat mengubah hidup, seorang petani rela bertungkus lumus mengongkosi biaya sekolah anaknya agar kelak sang anak tidak menjadi petani. Ini tentu paradoks, tetapi begitulah situasinya. Seorang anak petani lulus dari perguruan tinggi dari hasil bertani orang tua sekaligus mendorong sang anak agar sukses memperoleh pekerjaan di kota agar tidak mengulangi nasibnya belepotan dengan tanah di sawah. Betapa sekolah telah menjadi berhala. Betapa kebudayaan bisu bekerja di lapisan masyarakat.

Mungkin saja kekusutan sekolah hanya ada di benak orang-orang yang telah mengenal alternatif wahana pendidikan dan meresponsnya dengan tindakan untuk melucuti sekolah dari daftar, kisah kawan di awal tulisan berada di posisi ini, ia melakukan tindakan itu dengan penuh kesadaran. Namun, tentu saja, hal seperti itu tidak serta merta dapat pula diterapkan oleh keluarga yang lain. 

Menolak menyekolahkan anak di sekolah formal perlu dibarengi dengan kesiapan meluangkan waktu mendampingi anak dalam proses belajar dengan konsep homeschooling. Situasi di rumah juga perlu mendukung daya nalar dan tumbuh kembang anak. Jadi, penerapan sekolah di rumah juga memiliki kompleksitasnya tersendiri, jika ada yang membedakan dengan sekolah formal, hal itu terletak pada penerapan kurikulumnya saja.

Sebagai lembaga sosial yang masih menjadi tumpuan masyarakat, sekolah tentu perlu melakukan pembenahan manajemen dan proses belajar. Memang berat mewujudkan sekolah yang inklusif, tetapi bukan berarti tidak bisa dilalukan. Bagaimanapun strategi kebudayaan melalui sekolah bisa menjadi fondasi menuju generasi yang tangguh asal perombakan mendasar dilakukan.

Hal itu bisa dilakukan dengan peningkatan kapasitas tenaga pengajar, penguatan muatan lokal karena Indonesia multikultur, mendorong penerapan kurikulum yang inklusif sejak pendidikan dasar. Saya pikir tantangan inilah yang menjadi poin dalam memberesi kekusutan wajah pendidikan, mengingat dulunya kita mendorong agar pendidikan itu gratis, dan setelah itu diterapkan dengan menghilangkan sejumlah uang pangkal, muncul lagi tantangan baru dengan motif yang tidak jauh berbeda yang kesemuanya menyangkut uang, mulai dari seragam, buku, hingga sogokan agar diterima di sekolah tertentu.

Catatan:

Saya mengecek sejumlah file di hardisk eksternal dan menemukan naskah ini. Pertama kali ditulis di tahun 2023. Setelah membacanya kembali, ada begitu banyak pintu yang terbuka untuk menambahkan beberapa bagian, mulai dari pembaharuan data dan peristiwa seputaran dunia pendidikan. Tetapi, saya tidak ingin melakukan, saya biarkan saja seperti konteks di tahun 2023. Keterangan yang saya tambahkan hanya di bagian penjelasan ini saja untuk menegaskan jika catatan ini saya buat di tahun 2023. Tahun yang begitu sibuk sehingga lupa memostingnya di blog. Dari proses pembacaan ulang ini pula semakin menegaskan jika sebuah karya tulis itu sepertinya tidak pernah selesai.



[1] Suatu hari di tahun 2023, Anwar Jimpe Rachman menceritakan kisah ini di Kampung Buku. Bobel merupakan sapaan dari Jasmine Isobel Hanan Badriyah, anak semata wayangnya dengan Fitriani A Dalay.

[2] Catatan ini saya tulis di tahun 2023 lalu, kini di tahun 2025, Ardika sudah duduk di kelas 6.

Komentar

Postingan Populer