Waktu Lalu, Ruang Waktu Si Kuncir Kuda
![]() |
Sumber gambar: https://www.instagram.com/foka076/ Repro: Kamar Bawah |
Ketika bola bergulir dari kaki ke kaki, ia coba bergerak agar temannya yang sedang membawa bola dapat melihat ruang kosong. Dalam sepak bola penciptaan ruang sangat penting. Meski, upaya tersebut, kadang tidak berjalan mudah. Dia, si pemain yang membuka ruang kosong itu malah tersungkur lalu meringis kesakitan. Di ranjang rumah sakit ia mendengar penjelasan dokter mengenai proses yang baru saja terjadi. Kedua orangtuanya ada di situ ketika dokter berucap:
“…kami menusuk kepala tibia dengan bor. Lalu, kami menyayat tendon, memasukkannya lewat lubang. Kami menariknya dan merapatkannya dengan 220 jahitan.”
“Dua ratus dua puluh jahitan?” ujar ayahnya mengulang dengan mimik tidak percaya.
Pertandingan itu yang terakhir dijalaninya di Seri C berkostum Vicenza sebelum melompat ke Seri A berkostum Fiorentina. Usianya masih 18 tahun dan menjadi pemain termuda dengan bayaran tinggi. Tentu, ia tak langsung ikut berlatih dan bermain untuk klub barunya akibat cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament) membutuhkan waktu lama untuk pulih.
*
Ketika Roby tidak dipanggil ke Piala Dunia 2002 Jepang-Korea. Matilde, ayahnya, baru menyampaikan rahasia kepada Roby perihal final Piala Dunia 1970 saat Italia kalah dari Brasil dengan skor 4-1 di final. Roby yang berusia tiga tahun kala itu tertidur pulas dan tidak ikut menonton, apalagi mengucap sebuah janji setelahnya.
Namun, di hari-hari yang lampau sebelum piala Dunia Dunia tahun 2002. Bagi Matilde, anak lelakinya itu tumbuh tanpa tujuan walau telah dikontrak klub Seri A. Cedera ACL yang dideritanya dengan ratusan jahitan dibaca oleh Matilde sebagai penghalang. Matilde membutuhkan konsensus dengan mengorek masa lalu, menuntut Roby menuntaskan janji ketika Italia takluk di final. Konon, di usia tiga tahun, Roby berjanji akan mengalahkan Brasil di final. Janji itulah yang menjadi peta hidup Roby di sepanjang kariernya.
Namun, janji bukanlah obat menyembuhkan cedera. Ia sampai pada titik menyerah. Meminta ibunya agar membunuhnya saja karena sakit yang dideritanya. Motivasi dari orang-orang terdekat tak cukup meyakinkannya. Saat seperti itulah Roby menemukannya melalui perbincangan tak terduga di toko kaset ketika mencari album terbaru Eagle, si penjaga toko yang mengenalnya sebagai pesepakbola memberinya buku berisi ajaran Budha. Di tengah kebimbangan berkutat dengan cedera, Roby menemukan ketenangan dalam ajaran Budha. Ia mulai melakukan meditasi.
“Fokus pada yang spesifik,” ujar si penjaga toko kaset itu yang kemudian menjadi mentor, sahabat, dan juga bertindak sebagai manajernya di kemudian hari. Ia setia menemani Robby hingga akhir karier.
Baggio: The Divine Ponytail (2021)[1] bukan dokumenter yang jamak menjadi biovisual sejumlah pesepakbola berisi intrik dan kontroversi yang disemarakkan dengan tumpukan footage pemberitaan dan potongan slide pertandingan. Juga bukan biopik dalam produksi Bollywood yang mengisahkan formula zero to hero. Film ini serupa novel panjang yang diringkas. Letizia Lamartire, sang sutradara memangkas satu babakan penting jika mengacu pada fokus Roby berdasarkan tujuan yang dijalani sejak ayahnya menemukan formula janji agar Roby punya tujuan dalam kariernya yang, kelak, disadari oleh Roby jika itu keliru.
![]() |
Tayangan film di Netflix. Dok. Kamar Bawah, 2025 |
Fantasi dalam sepak bola menenggelamkan realitas mengenai tujuan seseorang di atas keinginan kelompok (masyarakat, kelompok, atau negara). Memangnya apa tujuan lain di balik seseorang yang secara sadar menjalani hidup sebagai atlet sepak bola. Ada prakondisi sosial yang tak dapat dilupakan ketika membicarakan hal ini. Tiap generasi di tiap belahan dunia membentuk identitas berbeda tentang mengapa sepak bola menjadi jalan hidup.
Bagi pemuda 18 tahun yang dikisahkan di atas lahir dari keluarga yang cukup mapan di sebuah negara maju. Ia tak perlu meninggalkan negaranya untuk mencari klub besar yang dapat membayar jasanya. Ia juga tumbuh dalam ekosistem sepak bola di liga yang terkelola profesional. Motivasinya bukan mengubah keadaan ekonomi keluarga yang mendorong atlet seperti Edward Anyamkyegh, pemuda yang meninggalkan kampung halamannya di Gboko, Nigeria guna menjemput impian di liga-liga Eropa.[2] Atau, misalnya, kisah-kisah pemuda keturuan Arab di Palestina yang perlu menyaru hingga menyembunyikan identitas ke-Arab-an agar diterima di komunitas bola kaum Yahudi.[3]
Ia buta dengan motivasi tekadnya mengejar satu impian dalam hierarki sebuah pencapaian: memenangi tropi Piala Dunia. Jalinan konflik terjalin dari hubungan Roby dan ayahnya. Sedangkan di timnas, sosok ayah digantikan oleh sang pelatih. Tidak ada jalinan konflik antar pemain, meski Italia di tahun 1994 ada nama Franco Baresi, Dona Doni, Albertini, atau Signori. Apakah percakapan Baggio dengan pemain lainnya di timnas tidak begitu penting bagi sutradara? Hal ini tidak terjawab di sepanjang film.
Sebagai biopik yang menyandarkan pada satu sosok dalam diri Roby, Baggio, atau Roberto, diperankan oleh Andrea Arcangeli. Tiga nama ini terus bergantian sesuai di mana ia atau orang menyapanya. (dalam catatan ini saya menuliskannya secara bergantian sesuai situasinya). Sebutan Roby merupakan dirinya di luar lapangan. Baggio nama panggungnya dan, Arrigo Sacchi, pelatih yang menancapkan fondasi kejayaan AC Milan di Seri A memanggilnya bergabung ke timnas Italia dan menyapanya: Roberto. Anasir yang menegaskan jika dirinyalah (Sacchi) yang patut dipercaya dalam timnas Italia.
Sacchi tak bisa menapikan kecemerlangan Baggio, ia mengakuinya serupa Maradona bagi Argentina. Juga, di sisi lain, Italia dipandang sebagai tim ofensif layaknya AC Milan dengan formasi 4-4-3. Sacchi yang dinamis menolak fantasista. Baggio yang disegani pemain lawan tak segan ditarik keluar lapangan jika tidak mendukung formula yang bersemayam di kepalanya. Roby tentu saja tidak senang dan menyebut pelatihnya itu gila.
Catatan lawas Sindhunata yang merekam perjalanan tim Italia di Piala Dunia 1994 juga menguliti taktik Sacchi yang belum bisa berpaling dari formasi ketika menukangi AC Milan di era Trio Belanda (Gullit, Rijkarrd, Basten).
“Sacchi adalah pelatih yang secara revolusioner menerapkan sistem permainan ofensif. Dengan sistem itu terbukti ia meraih sukses bersama AC Milan. Tetapi, sesuaikah sistem itu diterapkan pada Squadra Azzurra dalam kondisi pemainnya seperti sekarang ini?[4]
“Pelatih! Bagaimana caraku melewati pemain dengan satu sentuhan?” Baggio bertanya dalam sesi evaluasi usai Italia ditekuk Irlandia sebiji gol di pertandingan pertama babak penyisihan Piala Dunia 1994.
Sacchi geram karena Italia meladeni permainan fisik Irlandia, ia membayangkan kualitas pemainnya dapat mendikte Irlandia dengan sentuhan bola yang cepat dari kaki ke kaki. Sayang, hal itu tidak terjadi. Baggio seolah hilang dalam permainan karena merasa tidak dilibatkan.
Setengah abad lebih dari titel juara dunia beruntun yang diraih Italia pada 1934 dan 1938. Perburuan gelar di tahun 1994 jelas berbeda. Italia tidak lagi dalam genggaman fasisme. Analisis Franklin Foer (2017) yang mengidentifikasi semangat fasisme dalam sepak bola memiliki pengaruh kuat dalam memotivasi tim dan pemain.
“…Bukan cuma rasa percaya diri yang sehat akan lahir, tetapi juga perasaan kuat takut kalah. Siapa yang ingin mengecewakan sebuah bangsa yang sedang diharu-biru kegairahan demikian? Atau persisnya, siapa yang ingin mengecawakan seorang pemimpin fasis yang bisa mematahkan kakimu dan memenjarakan nenekmu?...”[5]
![]() |
Sumber gambar: https://www.instagram.com/historiabola.id/ Repro: Kamar-Bawah |
Perubahan lanskap pemerintahan di Italia pasca fasisme tumbang bergerak ke arah demokrasi sosial. Dalam catatan Foer, lanskap pemerintahan demokrasi dengan segala variannya telah memenangi Piala Dunia lebih banyak sejak pertama kali digelar pada 1930 hingga edisi ke 18 pada tahun 2006, tercatat telah 14 kali, bandingkan dengan fasisme yang hanya dua kali, lalu dalam lanskap junta militer yang juga mengantongi dua Piala Dunia.
Asa Italia setelah kemenangan di final Piala Dunia 1982 untuk gelar ketiga, jatuh pada sosok si kuncir yang paling brilian di Seri A. Persisnya memang di tahun 1982 itulah Roby baru menyadari kemenangan Italia dan bukan pada final 1970. Di sini kita akan mengurai fakta yang tersaji dalam film dengan fakta di luar film, benarkah Matilde dalam dunia nyata benar-benar melakukan itu: memandang anaknya tanpa tujuan. Roby juga meragukan bila dirinya, apakah benar-benar mengucapkan janji itu ketika usianya masih tiga tahun.
Pada satu adegan di meja makan, ayahnya merespons kontrak Roby ke Fiorentina yang disebutnya cukup mengganti kaca jendela di tokonya yang pecah karena Roby kecil kerap menendang bola di sana. Situasinya dapat dibaca hubungan ayah dan anak saling bertolak belakang.
Roby berjalan dalam labirin waktu Seri A, ia menolak pinangan salah satu klub dari Jepang. Ia belum menyerah pasca mati berdiri sepersekian detik setelah tendangan penaltinya melambung di atas mistar gawang Taffarel di final Piala Dunia 1994.
“Kita tak perlu menendang penalti terakhir, yang seharusnya giliran Bebeto,” ujar Carlos Alberto Parreira, pelatih yang menangani Brasil saat itu.
“Baggio… Arriba, [Terj. Terbang]” lanjutnya.[6]
Dari tujuh klub di Seri A yang dibelanya, durasi bermainnya di Juventus yang paling mencolok. Tampil sebanyak 141 dengan 78 catatan gol di kurung musim 1990-1995. Namun, klub hitam putih itu memerlukan satu generasi setelahnya untuk mengakui seorang legenda dalam diri Del Piero. Hanya pelatih Brescia, Carlo Mazzone yang mengatakan kepadanya jika semua pemain akan mengoper bola kepadanya. “Roberto, buat saya senang,” ujar sang pelatih.
Di Brescia, Roby menemukan dirinya kembali sebagai pusat permainan. “Kami tak perlu menang liga, hindari saja degradasi,” Mazzone memahami dengan baik peluang klub kecil di rimba Seri A. Baggio tampil menawan ketika berjumpa dengan penguasa Seri A, Juventus di musim 2001-2002. Salah satu gol ikoniknya lahir ketika menerima umpan lambung dari pemain muda bertalenta, Andrea Pirlo. Bola itu ia hentikan sebelum menyentuh permukaan lapangan kemudian mengecoh van der Sar, kiper Si Nyoya Tua kala itu. Gol ikonik lainnya berupa tendangan sudut yang melengkung masuk ke gawang Lecce, sebuah percobaan yang kemudian menginspirasi pemain setelahnya yang bisa kita lihat pada, bagaimana upaya Ruquelme membuat gol serupa.
Bermain di Brescia sejak 2000 hingga 2004, untuk pencapaian klub kecil bertahan di Seri A tentulah sudah memuaskan. Lagi pula Brescia mampu merangsek ke klasemen papan tengah. Sementara itu pergantian kursi kepelatihan di timnas Italia berputar begitu cepat, Sacchi (1991-1996) sudah digantikan oleh Casare Maldini (1996-1998), kemudian Dino Zoff (1998-2000), lalu Giovanni Trapattoni (2000-2004).
Satu babakan perjalanan yang terhapus ialah Piala Dunia 1998, mungkin tidak penting bagi Letizia Lamartire untuk menjaga fokus waktu dari tragedi Piala Dunia 1994. Namun, mengapa penting mengejar momen Piala Dunia 2002. Bukankah nama Baggio sudah tidak ada dalam skuad Italia di Piala Eropa 2000, bahkan dua tahun pasca Piala Dunia 1994, Sacchi tidak memasukkan Baggio di skuad Italia di Piala Eropa 1996.
Lilian Thuram, eks bek timnas Prancis terus mewaspadai pergerakan Baggio yang menggantikan Del Piero ketika kedua tim berjumpa di Perempat final di Piala Dunia 1998. “Roberto Baggio adalah pemain luar biasa. Semua berhenti saat dia melepaskan tembakan ke gawang. Semua diam saja karena mereka pikir dia akan cetak gol,” kenang Thuram.[7]
Babak adu penalti kembali menyudahi laju Italia. Kali ini, giliran Baggio lain yang gagal menaklukkan kiper.[8]Sedangkan Roby, Roberto atau Baggio yang tidak lagi menguncir rambutnya dan mengenakan kostum nomor 18 menyelesaikan jatah penaltinya dengan baik. Di tengah kegembiraan skuad Prancis melaju ke Semi Final, tampak Baggio menghampiri Luigi Di Baggio untuk menenangkannya.
Butuh empat tahun lagi untuk berlaga di pentas Piala Dunia. Baggio sempat singgah di Inter Milan sebelum memulai perjalanan di Brescia.
Baggio geram begitu mengetahui namanya tidak masuk dalam tim di Piala Dunia 2002. Ia menilai Trappattoni tidak tepat janji dari sebuah pertemuannya, Baggio masih menyimpan mimpi merengkuh tropi Piala Dunia untuk kali terakhir sebelum pamit dari sepak bola. Sayang, tidak ada lagi peran dan posisi di timnas Italia.
Di hari-hari menjelang Piala Dunia edisi 2002 berlangsung di Jepang-Korea, Robby bersama ayahnya melakoni perburuan burung di satu lanskap sungai. Robby terus geram, ada luapan amarah yang terus memaksanya untuk bersitegang dengan ayahnya.
Di perjalanan pulang, mereka singgah mengisi bahan bakar, Robby lalu masuk ke dalam toko membayar tagihan, si kasir menyambutnya dengan senyum simpul. “Roby, terima kasih atas segalanya,” ucapnya. Di saat bersamaan dua orang yang ada di situ sedang berbincang menanggapi siaran televisi yang mengumumkan skuad Italia untuk Pialad Dunia 2002. Satu di antaranya tampak heran ketika melihat Roby berjalan keluar.
“Apakah itu Roberto Baggio,” ucapanya ke kasir.
Kedua orang itu lalu berlari menyusul dan berteriak memanggil Baggio, suasana makin ramai ketika sebuah bus berisi penumpang juga turun dan ikut menyapa. Mereka semua, mungkin dari sekian momen yang telah direncanakan atau tidak, baru kali itu bisa menyampaikan langsung ucapan terima kasih kepada Baggio atas jasanya di timnas Italia.
Saat itulah Roby baru merasa kalau semuanya sudah selesai. Amarah, impian, dan perjalanan karier sepak bola sekian tahun yang dijalaninya benar-benar memperoleh pengakuan dari warga. Roby menyadari kalau tropi bukanlah tujuan. Ia telah melakukan semuanya dalam menjalani prosesnya di waktu lalu dan, di ruang waktu setelahnya, kekhawatirannya akan kekecewaan warga Italia terjawab di momen itu. Keagungan si kuncir kuda terasa intim di peristiwa kecil itu seolah melebihi gemuruh tepuk tangan di dalam stadion.
Empat tahun kemudian, di edisi Piala Dunia 2006, Italia kembali merengkuh tropi Piala Dunia yang keempat kalinya. Di skuad Italia terdapat nama Andrea Pirlo dan Luca Toni, dua pemain yang pernah bermain bersamanya di Brescia. Di klub itu pula Baggio pamit dari sepak bola di tahun 2004.
*
Identitas Film
Judul : Baggio: The Divine Ponytail
Tahun : 2021
Sutradara : Letizia Lamartire
Produksi : Fabula Pictures
[1] Letizia, L. (sutradara). 2021. Baggio: The Divine Ponytail. Netflix.
[2] Baca lebih lanjut Franklin Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, Banten: Marjin Kiri, 2017, hal. 136.
[3] Baca lebih lanjut Tamir Sorek, Nasionalisme Palestina di Lapangan Hijau: Sejarah Ringkas Sepak Bola Arab-Palestina di Wilayah Israel, Depok: Kepik Ungu, 2010, hal. 21.
[4] Sindhunata, Bola di Balik Bulan, Yogyakarta: Yayasan Basis-Boekoe Tjap Petroek, hal. 145.
[5] Franklin Foer, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, Banten: Marjin Kiri, 2017, hal. 244.
[6] Fernando, K. (sutradara). 2018. Prancis: Suatu Hari Bersejarah dalam Serial TV Becoming Champions. Netflix.
[7] Ibid.
[8] Skuad Italia di Piala Dunia 1998 terdapat tiga nama Baggio, yakni Roberto Baggio, Dino Baggio, dan Luigi Di Baggio. Nama terakhir inilah yang gagal dalam penalti karena sepakannya membentur mistar gawang.
Komentar