Badaruddin Amir yang Terus Membacakan Cerpennya


Siang itu, setelah lima tahun sebelumnya, baru lagi bersua dengan Badaruddin Amir. Sebuah peci bundar bertengger di kepalanya, di tangan kirinya tergenggam sebuah buku bersampul kuning. Ia berjalan pelan keluar dari pintu, tadinya ingin duduk di emperan, sebelum sebuah kursi saya geser arahnya supaya ia bisa duduk dan kami saling berhadapan. 

Melalui postingannya di Facebook, saya tahu ia tengah sakit dan sedang berobat jalan. Begitu menanyakan perkembangan pengobatannya, segera saja ia bercerita latar peristiwa mengapa ia bisa dirawat di rumah sakit dan segala hal berkaitan dengannya. 

 

Ia terus bercerita seolah ia sedang membacakan cerpennya. Suatu peristiwa lima tahun lalu ketika kami mengikuti Festival Literasi Indonesia (FLI) di Makassar. Waktu itu, kami bertiga sekamar, seorang teman dari Gowa bernama Gilang juga turut serta dan menolak memilih kamar yang lain. Jadilah, saban pagi selama tiga hari, saya dan Gilang akan menyimaknya membaca cerpen di beranda kamar.

 

Pak Badar, kami menyapanya seperti itu sebagai bentuk hormat karena usia kami terbilang jauh. Meski dari bahasa tubuhnya ia menolak disapa demikian, ia ingin mengikuti ritme kami yang masih mudah. Karena saat itu ia masih merokok, maka menjelmalah ia kawan tongkrongan tanpa sekat, berbagi rokok jika ia kehabisan dan sebaliknya.

 

Ia melepas celana panjang dan bajunya, badannya hanya dibungkus kaus kancut dan celana pendek khas orangtua. Kacamatanya tidak bertengger baik di hidungnya dan dibiarkan melorot. Ia tidak peduli sedang berada di mana. Saat itu saya anggap, mungkin beginilah sikap sastrawan angkatan 80-an. Semua tempat adalah panggung. Sikap yang juga saya jumpai pada diri Asdar Muis RMS (Alm). Tanpa basa-basi dan diminta, ia akan membacakan karyanya.

 

Latopajoko dan Anjing Kasmaran, cerpen legendarisnya yang pernah dimuat di majalah Horison di tahun 90-an ia bacakan dengan lancar. Intonasi dan pemenggalan kalimatnya menunjukkan jika sepak terjangnya merentangkan waktu yang panjang. Dari buku kumcer terbarunya waktu itu, Risalah yang diterbitkan Gora Pustaka di tahun 2019, juga menjadi pilihan memilih sejumlah cerpen yang dibacakan begitu kami duduk bersama. Kali ini, tidak lagi pagi, kadang sore atau di malam hari.

 

Siang itu, Minggu, 13 Oktober 2024, komunitas yang ia hidup-hidupi, Takanitra Iqra menggelar diskusi kumcer Risalah,sekali lagi, ia membacakan sebuah cerpen. Adibah, judul cerpen itu. Cerita yang didasarkan pada kisah nyata itu merupakan pengalamannya, ia jelaskan panjang lebar proses kreatif penulisan usai membacakannya.

 

Saya (kiri) dan Badaruddin Amir (kanan) dalam diskusi buku kumcer Risalah. (Dok. Takanitra Iqra)

Di tengah proses pembacaan cerpen, sakit yang dideritanya sepertinya sembuh, Adibah termasuk cerita yang panjang dan, sepertinya ada napas yang coba terus diupayakan agar cerita usai. Saya duduk persis di sampingnya melihat tetesan keringat mengalir deras dari wajah melewati tubuhnya hingga ke ujung sikunya. Ada keinginan memintanya berhenti saja, sewaktu ia menceritakan kronologis sakitnya, ia bilang telah dioperasi dan dokter memintanya lebih banyak beristirahat. Tetapi, begitulah Pak Badar, watak keras kepala yang biasa kita jumpai pada orang-orang tertentu yang merasakan gejolak mudanya kembali begitu berada di tengah kerumunan orang dalam majelis ilmu.

 

Ia mampu melewatinya, Adibah tuntas dibacakan dan kita tahu pola permainan Pak Badar menuliskan kisah. Maman S Mahayana yang menuliskan pengantar di kumcer Risalah menandai ciri Badaruddin Amir sebagai cerpenis yang konsisten memunculkan ide permainan. 

 

Keterkejutan kita ketika terlibat dalam permainan, bukanlah di awal karena semua pasti tahu jenis permainan apa yang hendak dimainkan. Ada aturan yang telah diketahui sebagai bekal, begitu juga cerpen, ada struktur penulisan standar dalam penulisan fiksi. Namun, oleh Maman, Badaruddin Amir memainkan ide permainan itu bukan pada proses penulisan, tetapi pada cerpen itu sendiri dan, memang, jika mengeja cerpen-cerpennya di kumcer Risalah, 18 cerpen yang tersaji di dalam kumcer itu tidak saja mengajak menelusuri petak kisah, tetapi melibatkan kita dalam permainan kisah.

 

Badaruddin Amir membacakan carpen Adibah, mungkin inilah penampilan terakhirnya di depan publik membacakan karyanya. (Dok. Takanitra Iqra).


Sapa sangkah jika sosok Adibah merupakan perempuan yang hidup tanpa kelamin. Ia serupa manekin yang hidup. Hal itu baru kita ketahui di akhir kisah setelah puluhan paragrap kisah di awal menggelandang pembaca ke sejumlah tikungan plot tajam. Jika menyelidikinya lebih lanjut, saya kira itu bukan asumsi realisme magis.

 

Badaruddin Amir dalam jejak pembacaannya, sependek yang saya pahami, bukanlah pengagum realisme magis. Ia tumbuh dalam masyarakat Bugis yang kental di Barru, kemagisan sebuah peristiwa sudah menjadi realitas itu sendiri. Jadi, ia tidak silau dengan kecanggihan struktur kisah dalam mazhab realisme magis. Badaruddin Amir hanya perlu meyakinkan struktur nalar tidak cacat sekalipun yang dihadapi adalah karya fiksi.

 

Warisan Pak Badar

 

Rawasao, bahasa Bugis yang harfiahnya kolong rumah, memanglah ruang perjumpaan sosial. Badaruddin Amir mendedikasikan rawasao rumah panggungnya sebagai perpustakaan. Adi, seorang muridnya siang itu menyampaikan kalau koleksi yang tersedia sudah mencapai 6000 judul. “Jumlahnya melebihi koleksi perpustakaan daerah Barru,” tuturnya.

 

Sebagai ruang komunitas, fasilitas yang tersedia di kolong rumah itu terbilang lengkap, terdapat panggung dengan soundsystem dan tata cahaya, tentu ada banyak tumpukan pementasan yang telah tersaji di sana. Sejumlah dokumentasi kerap diposting sendiri oleh Pak Badar di Grup Facebook Perpustakaan Komunitas Takanitra.

 

Jika Borges bilang perpustakaan merupakan surga, Badaruddin Amir telah mengupayakan itu, kolong rumahnya mendorong orang-orang untuk datang. Di usia senjanya ia terus menulis melebihi batas generasinya. Selain menjadikan beranda Faceboknya sebagai ruang, ia juga ngeblog sejak 2008. Arsip tulisannya dapat disimak di https://badaruddinamir.wordpress.com.

 

“Saya sudah minta pihak dokter di Makassar supaya saya kontrol kesehatan di rumah sakit Barru saja,” ucapnya. Ia kewalahan menempuh perjalanan sekitar dua jam lebih pulang pergi Barru ke Makassar sekali sepekan.

 

Ia juga menyampaikan kalau seorang perawat di rumah sakit di Makassar ketika hendak dioperasi merupakan muridnya ketika masih mengajar di SMP. Ia menyinggungkan senyum karena bekas muridnya itu masih ingat padanya. Selain dikenal luas sebagai sastrawan, ia juga seorang guru dengan karier cukup baik. Ia pernah menjabat satuan pengawas pendidikan di Barru sebelum pensiun.

 

Dua pekan pasca diskusi buku di surga kolong rumahnya, kabar duka datang di malam Minggu, 27 Oktober 204. Seorang kawan yang juga banyak meluangkan waktu di Takanitra Iqra menelepon jika Pak Badar telah berpulang.

 

*

Komentar

Postingan Populer