Menengok Kembali Pergulatan Persatuan Sepak Bola Indonesia

Repro. Kamar-Bawah. 2023

Di tengah luapan kegembiraan masyarakat menggandrungi sepak bola, baik skala lokal, nasional, hingga internasional telah mendorong bentuk baru literasi sepak bola dengan terbitnya sejumlah kupasan sepak bola yang tidak hanya mengulas taktik, tetapi juga melangkah lebih jauh dalam melihat sepak bola sebagai subkultur.

 

Beberapa buku yang telah diterbitkan oleh sejumlah penulis Indonesia dengan pendekatan cultural studies telah mengisi ceruk penalaran dan memberikan cakupan perspektif yang melimpah. Di antaranya Simulakra Sepakbola (IBC: 2016) karya Zen RS, Tamasya Bola (Mojok: 2016) dari Darmanto Simaepa, Setelah Argentina Juara (JBS: 2023) oleh Mahfud Ikhwan. Bahkan tulisan Sindhunata yang telah tayang di Kompas dibukukan ke dalam trilogi: Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-Bola Nasib.

 

Namun, penulisan sepak bola secara struktural menggunakan sudut pandang sejarah dalam mengupas satu topik masihlah jarang dijumpai. Hal inilah yang kita temukan dalam Politik dan Sepak Bola (Ombak: 2004) karya Srie Agustina Palupi yang awalnya merupakan skripsi di jurusan sejarah di Universitas Gadjah Mada (UGM).

 

Keprihatinan akan nasib sepak bola di negeri ini menjadi dasar pengambilan judul “Politik dan Sepak Bola di Jawa, 1920-1942”, tulis Srie (Hal. ix). Layaknya skripsi, buku ini juga tersusun dari sejumlah bab yang terdiri lima bagian. Pada bab pembuka berisi cakupan pendahuluan dan penjelasan terkait kedudukan historiografi sepak bola di Jawa pada dekade 30 hingga 40-an yang menurut Srie memiliki hambatan sumber referensi.

 

Keterbatasan pustaka berupa buku mendorong Srie melakukan penulusuran pada sumber berita yang termuat di majalah dan koran yang se-zaman. Hasilnya, ia memadukan data yang bersumber dari buku, majalah, koran, atau terbitan berkala, termasuk dokumen arsip yang didapatkan dari sumber perseorangan maupun yang tersimpan di perpustakaan.

 

“Untuk arsip kesulitannya adalah mencari dan memperoleh seperti yang penulis inginkan, tapi karena sebelumnya penulis telah mengirim surat kepada arsip nasional, maka proses pencarian tak sesulit yang dilakukan peneliti lain. (Hal. 9).

 

Di bab selanjutnya dipaparkan situasi sosial di Hindia Belanda, khususnya di Jawa pada pertengahan abad ke 19. Disahkannya Undang-Undang Agraria oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1870 mendorong lahirnya usaha padat modal yang melahirkan beragam pertumbuhan usaha utamanya di sektor perkebunan.   

 

Di pembahasan ini juga kita dapat membaca sejarah lahirnya sepak bola di Hindia Belanda. Tercatat di tahun 1894 sudah muncul klub sepak bola yang didirikan sekelompok orang Belanda yang diberi nama Road-Wit(merah-putih), seturut kemudian di Surabaya lahir klub Victory yang diinisiasi Jhon Edgar, seorang siswa HBS. Sejak itu mucul klub-klub sepak bola di kantor pemerintah, maskapai perdagangan, dan di lembaga pendidikan.

 

 

Di bab ini juga diulas tentang bagaimana kolonialisme melakukan ragam penaklukan sebagai upaya dalam menggenggam kuasa di tanah koloni. Karena itulah pranata sosial yang berkembang menjadi medan dalam melakukan penguasaan termasuk melalui sepak bola. 

 

Kesenangan kaum kolonial akan sepak bola yang turut dibawah ke tanah jajahan hendak menunjukkan jika waktu luang orang Eropa perlu dirayakan dengan ketangkasan raga di atas lapangan guna menjaga kebugaran.

 

Butuh proses bagi pribumi untuk mengambil peran dalam sepak bola. Dari semula hanya menonton bagaimana orang Eropa memainkannya kemudian mencoba memeragakannya. Sepak bola mudah diterima dan dimainkan mengingat permainan olahraga dengan medium bola bukanlah hal baru. Warga sudah mengenal yang namanya sepak raga atau kini dikenal sepak takraw sebagaimana di Tiongkok dikenal Tsu Chiu. Hal ini juga menandai jika sejarah cikal bakal permainan sepak bola tidaklah satu sumber, sebab di Jepang juga punya akar permainan yang disebut Kemari, Yunani mengenalnya sebagai Harpastum dan Romawi mengingatnya sebagai permainan Epyskiros.

 

Walau memang kelahiran sepak bola modern tidak lepas dari berdirinya The Footbaal Association (FA) di London, Inggris pada 1863. Sebagaimana kolonial Belanda, Inggris juga membawa serta permainan ini ke tanah koloni mereka di belahan dunia.

 

 

Sepak Bola sebagai Ruang Sosial

 

Pada Bab III ini diterangkan relasi sosial yang tumbuh seiring perkembangan ekonomi. Jawa di awal abad ke 20 telah melahirkan gap sosial begitu runcing antara orang Belanda dan pribumi. Perkembangan ekonomi rupanya tidak menyentuh kesejahteraan kaum pribumi sehingga haluan politik Belanda bergeser menjadi politik etis.

 

Sistem eksploitasi digantikan dengan sistem pengajaran. Politik ini semakin diakui dengan pernyataan yang disampaikan oleh Ratu Belanda pada tahun 1901, yang intinya negara Belanda mempunyai kewajiban untuk mengutamakan kemakmuran dan perkembangan sosial serta otonomi penduduk Hindia Belanda. (Soehartono: hal. 17 dalam Srie Agustina Palupi: hal. 34).

 

Efek lain dari penerapan politik etis mendorong berkembangnya saluran informasi dengan lahirnya kantor pos dan media massa. Di bidang yang lain akses jalur transportasi berjalan beriringan dengan makin masifnya kehadiran orang-orang baru dari Eropa termasuk migrasi orang Tionghoa yang mengisi ceruk perdagangan. Gelombang kedatangan orang-orang dari luar pada perode ini menandai babakan baru dalam lintasan sejarah kolonialisme.

 

Hanya saja, praktik politik etis ini bukanlah jawaban atas kemelaratan kaum pribumi. Depresi ekonomi malah menjadi horor sosial. Namun, pada kondisi seperti inilah sepak bola menjadi media perekat bagi pemimpin pergerakan. Latihan dan pertandingan yang tersaji menjadi ruang bertukar informasi atas kesamaan nasib di bawah pemerintahan kolonial.

 

Masifnya kegiatan sepak bola tanah koloni, khususnya di Jawa perlahan menjadi pranata sosial yang tidak hanya berfungsi sebagai adu ketangkasan antar dua kesebelasan di atas tanah lapang, tetapi juga menjadi ruang perjumpaan kaum republik dalam mengonsolidasikan semangat untuk berdikari.

 

Efek politik etis turut pula mengubah lanskap perkembangan sepak bola yang kemudian menjadi bagian dalam proses pendidikan yang tengah dijalankan, meski tentu saja, tak semua rakyat dapat mengakses dunia pendidikan kala itu, kita tahu persis jika kelas sosial menjadi gap yang tetap memisahkan senjangnya akses pendidikan. 

 

Pararelisme penderitaan yang diderita sekian puluh tahun menjadikan sepak bola menjadi ruang pelepasa penat sekaligus budaya tanding yang dapat memberikan pembalasan terhadap kaum kolonial. 

 

Kehadiran Soekarno yang baru lepas dari penjara Sukamiskin mendapat kehormatan menendang bola pertama di ajang final kompetisi kejuaraan PSSI ke II pada tahun 1932 yang kala itu mempertemukan kesebelasan Vootbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) dan Perkumpulan Sepak Bola Indonesia Mataram (PSIM) yang berlangsung di lapangan Laan Triveli. 

 

 

Lahirnya Perkumpulan Sepak Bola

 

Setelah mendedahkan akar sejarah, situasi sosial, dan bagaimana sepak bola menjadi ruang sosial yang diminati kala itu, kelanjutan di Bab III ini juga diuraikan secara berkesinambungan antara relasi sosial, ekonomi, dan politik dalam membentuk identitas perkumpulan ke dalam sepak bola.

 

Perkembangan sepak bola di tanah koloni memiliki juga talian dengan tersemainya fajar kesadaran kaum pribumi untuk berserikat. Semula pada periode ini ditandai lahirnya Boedi Oetomo (BO) pada 1908. Dua puluh tahun kemudian sinar fajar kesadaran makin terang ketika berlangsung Kongres Pemuda di tahun 1928 yang akrab diingat Sumpah Pemuda.

 

Lahirnya PSSI di tahun 1930 hanya berselang dua tahun pasca Kongres Pemuda pada bulan Oktober di tahun 1928 menjadi wahana kaum pribumi guna menjadikan sepak bola sebagai perpanjangan tangan dalam menggelorakan semangat berdikari. Semangat kemandirian makin meluas dengan adanya upaya memisahkan divisi-divisi yang semula bernaung di bawah satu perkumpulan sebagai pelengkap. 

 

Jika melihat sajian data, rupanya memang kaum Tionghoa yang mengisi ceruk perdagangan dari proses globalisasi di Hindia Belanda telah lebih dulu membentuk klub sepak bola. Di rentan tahun 1920 hingga 1930 telah lahir klub-klub yang kemudian terhimpun dalam asosiasi Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB).

 

Perkumpulan-perkumpulan sepak bola Tionghoa mempunyai banyak sekali anggota yang menyebabkan setiap klub mampu memiliki lebih dari satu kesebelasan. (Hal. 57). Karena itulah telah ada pertandingan klub antar kota.

 

Peran Politik PSSI

 

Di dekade itu terdapat tiga bond sepak bola yang saling merebut pengaruh, Belanda sendiri memiliki Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), Tionghoa dengan Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) dan pribumi melalui Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) kala itu masih memakai diksi sepak raga.

 

Munculnya ketiga bond sepak bola tersebut masih merupakan efek dari politik identitas etnis yang sedang meruncing. Walau demikian kehadiran orang Tionghoa di beberapa klub sepak bola di asosiasi berbeda menunjukkan adanya dinamisasi yang juga berlaku bagi orang Eropa. Jika ada konflik hal itu diakibatkan dari kebijakan NIVB yang masih merasa superior.

 

Persoalan ini pula yang terus meruncing hingga adanya boikot di tahun 1932 yang semula dimotori pers Tionghoa peranakan di Surabaya terhadap NIVB. Dampak boikot melahirkan persatuan front yang menyatukan Tionghoa, Arab, dan Pribumi. 

 

Hari di mana NIVB menggelar pembukaan pertandingan di lapangan Thor, justru dibalas oleh Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) yang menggelar pula pertandingan antara Indonesia Marine kontra tim gabungan Cina-Arab di lapangan Tambaksari di hari yang sama. Hasilnya tentu saja kerugian bagi NIVB karena masyarakat lebih memilih menonton pertandingan di Tambaksari.

 

Tak dimungkiri jika sepak bola di era perjuangan ini menjadi alat politik guna mendorong lahirnya persatuan mengusir penjajah. Jatuh bangun PSSI sebagai organisasi yang, di satu sisi perlu mendorong peningkatan kualitas manajemen dan, di sisi yang lain mengemban tugas menjadi medan perjuangan tokoh bangsa. Puncaknya masih di tahun 1932 ketika PSSI hampir menjumpai ajalnya akibat merosotnya sumber daya pengurus, minimnya pendanaan, dan kewalahan menggelar kompetisi secara rutin. 

 

 

Peran Pemain Bintang

 

Kehadiran pemain bintang dalam iklim kompetisi memanglah terbukti ampuh. Rivalitas pesepak bola kontemporer seperti Ronaldo dan Messi di paruh awal dekadÄ™ 2000-an mengalihkan mata penonton menyaksikan La Liga Spanyol ketimbang Premier League. Seri A Italia yang semula menjadi liga para pemain bintang perlahan meredup. Terlebih ketika hak siar La Liga mulai tayang di jaringan televisi swasta nasional.

 

Bagaimana pun sepak bola mengandung unsur bisnis agar operasional tetap berjalan. Keberadaan stadion tidak ada gunanya jika kursi penonton kosong. PSSI melihat itu sebagai pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Iklim politik yang yang naik turun dan masih bercokolnya pemerintahaan kolonial menjadikan sepak bola masih mengikuti poros kompetisi masing-masing asosiasi. 

 

Di tengah terseoknya PSSI, rupanya semangat untuk bangkit terus menggema, kongres tetap dilakukan untuk melakukan evaluasi kinerja organisasi. Capaian dengan bertambahnya jumlah keanggotaan dari sejumlah perkumpulan kecil menjadikan PSSI memiliki nafas untuk terus tumbuh.

 

Pelan dan pasti kompetisi yang digelar PSSI mendorong makin populernya sejumlah bintang lapangan dan menggeser ketenaran pemain bintang yang berlaga di kompetisi NIVB dan HNVB. Nama tenar seperti Zomers, Tan Chin Hoat, G Rehatta, de Wolf, P Knape, Bing Moheng, Soemo Hidayat, atau Frans Meeng tergantikan dengan kebintangan Maladi, Ernest Mangindaan, Sumadi, dan Dr Saroso yang memperkuat klub dalam naungan PSSI. Kehadiran pemain bintang tentulah menjadi faktor penarik bagi masyarakat untuk selalu hadir di lapangan untuk menyaksikan aksi sang bintang lapangan hijau. 

 

Pada Bab V yang merupakan kesimpulan, Srie Agustina Palupi menabalkan dua faktor mengapa sepak bola begitu cepat populer dan menjadi medium perekat sosial. Pertama, sepak bola mengandung permainan yang sangat sederhana dan mudah dimainkan. Kedua, sepak bola menjadi ruang relaksasi menyalurkan kepenatan psikis dan psikologis.

 

Meski dalam cengkeraman kolonialisme, ruang sosial di Hindia Belanda yang dihuni beragam etnis memerlukan satu penanda hiburan yang dapat diterima kalangan luas dan itu terdapat dalam permainan sepak bola.

 

Sebagai satu pembahasan tematik mengenai sepak bola, buku ini telah memenuhi kebutuhan informasi kepada pembaca mengenai latar yang ditunjang sajian data mengenai cikal bakal pergulatan sepak bola nasional yang akarnya tertanam jauh dalam jantung kolonialisme. 

 

Di sisi lain terdapat ruang kosong yang masih perlu pendalaman. Misalnya saja, perihal asosiasi sepak bola Tionghoa yang lebih kuat dari segi manajemen dan pembiayaan. Pertanyaan yang mengkuti ialah, apakah depresi ekonomi tidak berimbas pada ekosistem perdagangan yang dikelola kaum Tionghoa?.

 

Selanjutnya priksi mengenai keterlibatan tim Hindia Belanda di gelaran Piala Dunia tahun 1930. Hal ini sebenarnya mendapat ulasan, akan tetapi tidak memadai terkait pelarangan menggunakan nama negara Indonesia. Selain itu menyisakan pertanyaan para pemain yang memperkuat tim Hindia Belanda tersebut. Siapa saja mereka dan dari klub mana. Lalu, jika sepak bola Tionghoa begitu kuat, apakah ada perwakilan orang Tionghoa dalam tim tersebut.

 

Sejauh pembacaan saya atas buku ini, hal-hal tersebutlah yang menyembul dan mencari jawaban. Walau tentu saja, sebagai buku yang telah membahas sepak bola secara tematik pergulatan sepak bola hingga lahir PSSI, buku ini sangatlah penting dan menurut saya menjadi referensi bagi pengurus PSSI kini dalam melihat riwayat pergulatannya. Termasuk pembukaan pintu bagi atlet keturunan Tionghoa ke dalam tim nasional dan bukan hanya mereka yang berdarah Indonesia-Belanda.

 

*

Komentar

Postingan Populer