Surat Undangan dari Bogota 23 Tahun yang Lalu
Sumber gambar di sini |
“Ia menoleh sebelum memasuki mobil untuk
memastikan bahwa tidak ada yang membuntutinya…”
Kalimat di atas sebenarnya panjang, secuplik peristiwa lampau yang akan memaku kita untuk terus mengejanya hingga menembus waktu. Kedahsyatan kalimat pembuka seperti itu, juga bisa dijumpai dalam potongan sebagai berikut:
“Bertahun-tahun kemudian, saat ia menghadapi regu tembak,
Kolonel Aureliano Buendia mencoba mengenang suatu senja
yang begitu jauh ketika ayahnya mengajak dia untuk membuat es...”
Tesaurus kata ‘dahsyat` berdasarkan kelompok kelas kata berarti: keji, seram, tragis (adjektiva). Sedangkan bentuk verbanya berarti abnormal, ajaib, aneh, dst. Dua cuplikan kalimat dahsyat di atas bersumber dari dua karya beda genre yang ditulis Gabriel García Márquez. Cuplikan pertama merupakan karya reportoar (non fiksi) dan kedua berupa novel (fiksi). Seperti itulah cara Gabo, sapaan akrab sastrawan cum jurnalis dari Kolombia itu memulai kalimat dalam menuliskan kesaksian mengenai semesta peristiwa dan fantasi di negaranya.
Mengingat Kolombia bagi pemuja sepak bola, tentulah tak lepas dari sesuatu yang dahsyat, salah satu legenda mereka ditemukan meregang nyawa di ujung bedil setelah Kolombia tersingkir di Piala Dunia 1994. Andres Escobar, bek yang berniat menghalau sepakan pemain USA agar bola tidak merobek gawang Oscar Cordoba justru berbuah gol. Namanya tercatat di papan skor sebagai gol bunuh diri.
Spekulasi mengenai tewasnya Escobar mengarah pada geng narkoba yang kalah judi akibat tersingkirnya Kolombia. Menguatnya geng narkoba di Kolombia hingga memasuki dekade 90-an menjadikan ruang sosial serupa penjara terbuka. Penculikan dan pembunuhan menjadi berita nasional yang terus-menerus menggerogoti pemerintahan. Ikhwal itu pula yang menjadi lanskap reportoar Gabo dalam buku Kisah-Kisah Penculikan yang kalimat pembukanya saya tuliskan ulang di atas.
Tidak ada yang berani yang datang ke Kolombia hingga memasuki pembukaan milenium abad ke-21. Di tengah kesibukan tim nasional negara-negara Amerika Selatan berebut tempat menuju Piala Dunia 2002 Korsel-Jepang, Kolombia berusaha memulihkan kepercayaan nasionalnya dengan menjadi tuan rumah Copa Amerika edisi 2001.
Andrés Pastrana, Presiden Kolombia saat itu turun tangan langsung menego pihak CONMEBOL agar tidak membatalkan jadwal yang sudah dicanangkan. Masifnya kekerasan di Kolombia yang terus berlangsung menjelang pembukaan menjadi sandungan bagi tim nasional di kawasan tersebut ogah menuju Kolombia.
Argentina jelas memilih mundur, sedangkan Kosta Rika perlu dibujuk untuk menggantikan Kanada yang juga menolak terlibat. Honduras lalu datang memenuhi undangan yang menyelematkan wajah Kolombia. Jadilah edisi ke 40 Copa Amerika dengan tiga pembagian grup berisi 12 tim. Argentina yang disebut-sebut tim paling komplit saat itu dan menjadi magnit bagi penonton disayangkan karena menolak terlibat, begitu juga Brasil yang hanya mengirim pemain kelas keduanya. Publik bola Kolombia tidak menemukan gocekan Ronaldo, Rivaldo, dan Ronaldinho di sana. Sikap acuh tak acuh juga diperlihatkan Uruguay dan Meksiko yang tidak mengikutsertakan sejumlah pemain bintangnya.
Tiga kali kemenangan di fase grup mengantar Kolombia memuncaki klasemen Grup A. Publik Kolombia mulai optimis menyaksikan timnas mereka walau tidak diperkuat pemain bintang sekelas Valderrama, Higuita, atau Asprilla. Namun, skuad Kolombia begitu lekat dengan komposisi pemain mayoritas berlaga di liga domestik. Hanya kapten mereka, Ivan Cordoba yang bermain untuk Inter Milan.
Gempita gelaran sepak bola di benua Eropa selang setahun sebelumnya sepertinya membuat publik sepak bola dunia tidak begitu melirik Copa Amerika. Prancis yang mampu mengawinkan tropi Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 membalikkan kebintangan pemain dari Amerika Selatan. Apalagi Brasil takluk di final dengan skor mencolok 3-0.
Di Indonesia sendiri tidak ada yang mengingat persis apakah Copa Amerika tahun 2001 mendapat hak siar dari televisi nasional. Mungkin tidak begitu penting mengingat absennya sejumlah nama mentereng. Hal ini menunjukkan sisi diskriminasi media massa yang enggan memproduksi siaran akibat perputaran modal yang sedikit. Kuasa media, khususnya televisi yang berperan penting menyirkulasikan tontonan takluk di hadapan situasi kekacauan (sebenarnya pada perputaran modal).
Lagi pula siapa yang mau datang ke Kolombia, sebuah penjara terbuka yang memungkinkan tiap orang menjadi mangsa. Valderrama sendiri tidak habis pikir mengapa Escobar, rekannya di skuad Kolombia kelas 1994 harus dibunuh hanya karena gol bunuh diri. Hal lumrah yang bisa menimpa pemain mana pun.
Teror menjelang pembukaan ditandai peristiwa pemboman yang memakan korban. Malah, Hernán Campuzano, wakil presiden federasi sepak bola Kolombia menjadi korban penculikan. Pemerintah takluk di hadapan jaringan geng narkoba. Lanskap sejarah Kolombia penuh gejolak pergulatan kelompok pemerintah dan geng narkoba, khusunya kartel Medellin dibawah kuasa Pablo Escobar. Dua kelompok yang tidak akur ini hanya punya satu garis penghubung: sepak bola.
Konon, Higuita, kiper yang dikenal dengan tendangan kalajengkinya itu kerap menjalani permainan sepak bola bersama Pablo Escobar dan kelompoknya. Warga Kolombia serasa hidup di dua dunia. Satu dunia dibawah kuasa pemerintah, dunia satunya lagi dalam lindungan kartel narkoba.
Di tengah ketidakpastian jaminan keamanan, gelaran pertandingan tetap berlanjut hingga selesai. Di perempat final secara mengejutkan Honduras menekuk Brasil 2-0 yang menjadikannya tim dongeng yang bakal mereflika keberhasilan Denmark sebagai tim pengganti di Piala Eropa 1992 yang akhirnya mengangkat tropi. Media mencatat kalau skuad Honduras tiba di Kolombia hanya beberapa jam saja sebelum mereka melakoni pertandingan perdana di Grup C menghadapi Kosta Rika. Hasil akhirnya, Honduras finis di runner up grup yang mengharuskan Bolivia pulang lebih awal dan tim kuat Uruguay lolos dari lubang jarum melalui peringkat tiga terbaik.
Langkah Honduras kemudian terhenti di semi final usai takluk dari Kolombia 2-0 yang memuluskan tuan rumah melaju ke final menantang perwakilan CONCACAF, Meksiko. Dan, untuk sejenak, sepak bola di Kolombia menjadi obat penenang kekacauan sosial setelah sebiji gol dari Cordoba berbuah tropi Copa Amerika untuk kali pertama.
Final yang berlangsung di stadion El Campin di Bogota itu menjadi surat terbuka bagi warga Kolombia melupakan persoalan pelik kehidupan di jalanan kota yang penuh teror. Juga, dua kelompok berseteru (pemerintah dan geng narkoba) menyunggingkan senyum dalam pesta.
Capaian 23 tahun lalu itu kembali menyeruak setelah Kolombia menekuk Uruguay di semi final Copa Amerika tahun 2024. Sehari sebelumnya, juara bertahan, Argentina telah memastikan tempat di final dengan kemenangan 2-0 atas Kanada. Kedua tim memang sudah sering berlaga, tetapi berjumpa di final barulah di edisi ke-48 kali ini.
Argentina yang menolak undangan Kolombia 23 tahun lalu mendorong Kolombia menyebrangi Samudera Atlantik menuju tempat yang dijanjikan, Kolombia memanggil kembali nahkoda yang sudah dianggap mati di Eropa, untunglah Kolombia dilatih Néstor Lorenzo yang berdarah Argentina, hal yang sudah mati tidak benar-benar mati. Gabo dalam novel Seratus Tahun Kesunyian mempercakapkan kembali yang mati dengan yang hidup.
Hasilnya tidak keliru, James Rodríguez membuktikan jika pemain nomor 10 dalam sepak bola modern (di Eropa) belum mati di Amerika Selatan. Perjalanan Kolombia menuju final tidak terintang, bermain imbang 1-1 dengan Brasil di fase grup kemudian merusak kedigdayaan Uruguay yang lebih diunggulkan di semi final.
Berkebalikan dengan Argentina yang menapaki anak tangga dengan pencapaian standar meski berjumpa tim terbilang lemah dalam grup sampai di semi final. Hanya Chili yang menunjukkan mental spartan dan kecolongan sebiji gol di sisa akhir pertandingan di fase grup.
Kedua timnas kerap menautkan legenda masing-masing, yang mati tidak benar-benar mati, keduanya terus dipercakapkan. Dulu perjumpaan El Pibe dan El Diez tersaji di Copa Amerika tahun 1987, anak emas (El Pibe) Kolombia, Valderrama kontra anak Tuhan (El Diez) Argentina, Maradona. Perbedaannya kala itu kedua pemain bernomor punggung 10 itu merebutkan posisi ketiga.
Bertahun-tahun kemudian, surat undangan dari 23 tahun lalu yang menggantung di langit Bogota akhirnya sampai di tangan Argentina. Kedua tim dengan kehadiran titisan legenda masing-masing. El Pibe yang menurun ke Rodríguez dan El Diez ke Messi akan berjumpa dan mempercakapkan negara siapa yang bakal ditulis tebal dalam surat sejarah Copa Amerika kali ini.
*
Komentar