Kampung Raja’a: Dua Jalur Tambang Marmer di Pegunungan Tondong Tallasa

Area persawahan terasering warga Kampung Raja'a.

Menjelang pukul sembilan pagi pada Sabtu, 4 Februari 2023, Syarif yang akrab disapa Gassing memarkir sepeda motornya di depan rumah. Ia mengenakan sweater biru dan ritsleting dibiarkan terbuka. Sandal yang dipakainya berwarna sama. Ia langsung duduk di teras menghadap meja. Tas ransel ia taruh di atas meja lalu mengeluarkan kamera DSLR Canon1200 D.

“Saya belum mandi. Saya selesaikan dulu sedikit kerjaan baru kita berangkat,” ucapku.

 

“Seperti apa rencananya nanti,” sahutnya sembari melap ujung kameranya.

 

“Kita cukup ambil gambar saja, foto yang ada sebelumnya perlu diperbaiki karena itu diambil pada 2019 dan sebagian di tahun 2021,”

 

“Kalau tidak salah foto-foto yang dulu masih ada di laptop yang satu, tetapi saya lupa bawa laptop,”

 

“Tidak apa-apa kita berangkat saja. Saya juga mau lihat langsung lokasi kampungmu,”

 

Setelah mengisi bensin dan memesan kopi di salah satu warkop di sudut jalan depan Taman Musafir, kami berdua lalu melaju sepeda motor. Gassing di depan dan saya mengekor di belakang. Beberapa ruas jalan yang dilewati tampak air tergenang sisa hujan kemarin. Curah hujan dalam sepekan waktu itu di Pangkep kembali tinggi. Hal ini juga yang membuat jadwal ke Kampung Raja’a di Desa Bulu Tellue baru bisa dilakukan. Selain tentunya harus menyesuaikan waktu luang Gassing yang juga bekerja sebagai staf di kantor Panwas Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara.

 

Gassing menceritakan kalau jalan ke kampungnya masih berupa pengerasan. Belum diaspal atau cor beton. Hal ini juga pernah dikisahkan Saenal, seorang kawan yang sudah sering ke sana. Hingga melewati belokan delapan, istilah ini merujuk pada pembelokan di jalan poros Kecamatan Tondong Tallasa yang menyerupai angka delapan. Ketika sampai di situ, pengendara yang hendak menuju Tondong harus menepi dulu dan membiarkan kendaraan dari arah dalam (dari Tondong) melintas.


Jalan poros di Tondong Tallasa yang dikenal belokan delapan.

Menurut Gassing hal seperti itu kadang saja terjadi bila jumlah kendaraan pas banyak di belokan delapan. Biasa juga lengang dan pengendara hanya perlu mengendorkan tarikan gas saja. Saat itu kami berpapasan dengan armada pengangkut silika, truk enam roda dan sepuluh pengangkut material tambang silika itu tampak berjejeran.

 

Setelah melewati belokan delapan, tampakan jalan berlubang mulai sering terlihat. Namun, hal itu hanya berada di titik tertentu yang saling berjauhan. Di awal saya tidak menyampaikan ke Gassing kalau saya sesekali harus berhenti untuk mengambil gambar. Jadi, laju sepeda motornya jauh ke depan meninggalkan saya. Tetapi, rupanya, ia awas memantau dari spion, jika saya tidak terlihat ia akan menepi menunggu batang hidung saya muncul. Sekali itu saja, rupanya ia sudah paham kalau saya tertinggal bukan karena sepeda motor saya bermasalah melainkan singgah mengambil gambar.

 

Kunjungan ke Tondong tidaklah sering saya lakukan, hanya sesekali saja jika ada keperluan. Teman-teman sering mengajak jika ada kegiatan kamping atau mengunjungi lokus wisata seperti baruttung atau padang pa’bo yang pernah tersebar luas di media sosial dikarenakan menyerupai padang Teletubbies.


Kunjungan kali ini tentulah perlu saya lakukan untuk pengambilan gambar lokasi penelitian. Afdhal AB dan Saenal tidak sempat berkunjung karena agenda kerja yang bertepatan. Ini persoalan kesempatan saja, saat ini saya memang perlu datang untuk melihat langsung lokasi sekaligus juga melakukan validasi data penelitian.

 

Pada 2019 sumur pumpatentro sudah menjadi ruang penelitian yang dikembangkan Rumah Saraung, saat itu Gassing sendiri yang melakukan proses riset dibantu oleh Saenal untuk pendokumentasian. Laporannya pun sudah selesai sebagai pemenuhan tanggung jawab kepada pihak yang mendukung penelitian kala itu yakni Yayasan Hadji Kalla dan CSR PT Semen Tonasa.


Laporannya berupa video dokumenter dapat disimak:



Di satu titik Gassing menghentikan sepeda motornya, ia menunjuk ke arah pebukitan yang menampakkan area persawahan terasering. “Di sana mi kampungku,” ucapnya. Saya fokus mengikuti arah telunjuknya yang mengarah cakrawala di siang yang cerah. Saya perlu bergeser ke tepi jalan yang tidak ada pepohonan. Ia lalu menjepretnya dan memperlihatkan gambarnya. “Ini, di sini mi,” tukasnya mempebesar gambar di kameranya. “Berapa jam lagi,” balasku. “Ya, sekitar 30-an menit lagi,”.


Pengendara antre di belokan delapan jika armada tambang melintas.

Perjalanan selanjutnya tidak benar-benar 30 menit. Gassing kembali singgah beberapa meter di depan. Ia sampaikan kalau ke kampungnya ada dua jalur. Kedua jalur tentu saja beda medan, menurutnya, jalur pertama bisa lebih cepat tetapi jalannya lebih menanjak dan jalur kedua agak jauh, tetapi medannya lebih landai.

 

Saya belum meresponsnya dan Gassing langsung melaju sepeda motornya, “Kita lewat jalur kedua saja,”. Mungkin ia paham garis di kening saya. Jalur kedua melewati desa tetangga, Desa Malaka. Di pintu masuk genangan air sudah menanti. Selanjutnya bunyi mesin memecah kesunyian pebukitan yang, bagi saya, tentu saja menanjak. Di jalur kedua yang menurut Gassing lebih mudah ini saya mengalami kesulitan melajukan sepeda motor. Kondisi jalannya naik turun dengan pengerasan bebatuan yang belum merata, beberapa terlihat ada jalan cor tetapi tidak panjang. Jalan cor itu terpisah dari cor yang satu ke jalan cor selanjutnya yang berjarak beberapa meter.

 

Gassing sesekali menepi dan melihat ke belakang menyaksikan saya bersusah payah melintasi jalan berbatu yang jika tidak fokus bisa membuat ban depan terpeleset. “Ini dulu jalur truk pengangkut marmer,” urainya. “Sekarang sudah tidak beroperasi lagi,” ucapnya kemudian.

 

“Bagaimana, masih jauh,”

 

“Sedikit lagi,”


Tampakan Kampung Raja'a dari jalan poros kecamatan.


Setelah jalan bebatuan menanjak, kini jalannya menurun dan licin. Tidak ada pengerasan, yang ada jalan tanah becek karena hujan, tampak jelas gilasan pengendara sepeda motor yang meninggalkan jejak alur ban. Saya pun mengikuti alur ban itu dengan menekan kedua tuas rem yang membuat sepeda motor meluncur. Di lokus yang lain, masih jalan tanah, aliran air dari pebukitan melintasi jalan tanah itu yang membuat jalan semakin licin. Lepas dari jalan tanah, kembali lagi menggilas jalan bebatuan yang semakin tidak rata. Dan, tentu saja menanjak.

 

Selama beberapa menit itu, kami tidak berpapasan dengan pengendara lain dari arah berlawanan. Ingin rasanya meneriaki Gassing yang tidak jauh di depan. “Bagaimana situsasinya jika melintas malam di sini,” gumamku. Saya bayangkan saja andai perjalanan dilakukan di malam hari, betapa gelapnya, betapa uji nyali dipertaruhkan. Saya juga pernah ke Tompobulu, desa pegunungan di Kecamatan Balocci, jalan yang dilewati juga hutan pebukitan yang mendaki dan penurunan tajam. Namun, jalannya rata saja dan tidak separah jalan ke Kampung Raja’a ini.

 

Saya lupa menyetel jam di hape untuk memastikan berapa jam persisinya perjalanan ke kampung ini. Saya mulai sangsi dengan ucapan Gassing yang awalnya bilang sekitar satu jam. Pernyataan itu bisa saja benar dan bisa keliru. Saya teringat bagaimana orang-orang yang tinggal di pegunungan juga orang-orang yang tinggal di wilayah kepulauan mendekap waktu. Jika mengatakan satu jam lebih, maka bisa jadi itu berarti dua jam. Waktu yang terpatenkan di arloji itu bukan penanda yang baik. Saya baru memahami ini ketika menempuh perjalanan ke Kampung Raja’a. Gassing yang lahir dan besar di kampung itu tentulah paham alur perjalanan dengan kondisi jalan yang tak bisa dijadikan patokan melunasi janji. Semua bisa menjadi relatif. Ketika Gassing mengatakan: satu jam lebih. Baginya bisa saja tidak sampai satu jam. Andai ia berangkat sendiri dan tidak ada saya di belakangnya yang menunggu panduan, satu jam perjalanan bukanlah mustahil. Dengan tunggangan sepeda motor yang sama, terlihat ia lebih gesit mengarungi jalan berbatu itu.

 

Pada akhirnya kami berjumpa dengan perempuan tua dengan seikat rumput gajah di atas kepalanya. Gassing menghentikan sepeda motor lalu menyapanya dan saya, dasar kelakuan orang bermental kota, saya justru mengeluarkan hape yang mengusik perempuan tua itu. Ia menyadari kalau yang saya lakukan sedang memotonya.

 

Tak berselang lama, kami tiba di sebuah rumah di mana ada beberapa orang sedang duduk bercengkerama. Saya mengikuti Gassing memarkir sepeda motor. “Kita sudah sampai,” ucapnya.

 

Persis di depan rumah itu saya mencoba melihat kembali–menandai di titik mana tadi Gassing menujukkan letak kampungnya. Sawah berundak yang tadi difotonya kini berada pas di depan mata.

 

Setelah bertegur sapa sejenak, Gassing mengajak langsung ke rumah I Diri, sebutan akrab untuk memanggil Muh Idris, lelaki baya difabel netra yang pandai bermain gambus itu. Suara radio terdengar jernih dari atas rumah panggungnya. Pas di samping tangga rumahnya sedang dibangun toilet yang merupakan program pemerintah desa. Dari samping rumah tampak I Diri yang sedang menyapu berhenti ketika menyadari kedatangan orang memasuki halaman rumahnya.

 

Gassing menyapanya menggunakan bahasa dentong, bahasa lokal yang yang digunakan di desa pegunungan di Pangkep. Umumnya semua desa di Kecamatan Tondong Tallasa dan Desa Tompo Bulu di Kecamatan Balocci menggunakan bahasa ini. Nurhady Sirimorok dalam bukunya Melihat Desa dari Dekat-Catatan Perjalanan tentang Satu Bahasa (EA Books: 2020) memberikan penjelasan yang setidaknya bisa menjawab penyebaran sub bahasa lokal ini, yang di Bulukumba disebut bahasa konjo.


I Diri (kiri) sedang mengadu ayam jagonya.

Penuturnya tersebar di sembilan kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Gowa, Sinjai, Pangkep, Maros, Bone dan Barru. Namun, warga yang menuturkannya adalah mereka yang mendiami wilayah pegunungan masing-masing kabupaten.

 

Melihat gerak-gerik I Diri sepertinya tidak terbebani dengan kedua matanya yang sejak mula mengalami kebutaan. Pekarangan rumahnya bersih dan kerap menjadi ruang sosial warga kampung. Gassing menuturkan jika rumah I Diri memang sering dijadikan tempat kumpul anak muda dan terkadang menginap. Saya melongok melihat kandang ayam di kolong rumahnya, proses pengerjaannya sangatlah rapi. Sekitar 20-an meter di sisi barat rumahnya terdapat pohon enau, di batangnya terdapat tangga dan tergantung tandan bambu yang dipakai mengisi perasan hasil sadapan bunganya. Hal itu juga dikerjakan sendiri oleh I Diri. Gassing menambagkan jika I Diri sendirilah yang memanjat pohon enau setinggi 12 meter itu.

 

Siang itu rumah I Diri ramai, seorang tukang sedang merampungkan pemasangan atap toilet, warga yang lain turut melihat dan membantu bila ada yang perlu dilakukan. Tak berselang lama seorang warga datang membawa ayam jagonya dan menantang ayam I Diri. Dari percakapan dalam bahasa dentong, saya dapat menerka kalau I Diri menerima tantangan itu. Ia lalu mengambil ayam jagonya dari kandang dan mencoba mengadunya.

 

Tadinya ingin memintanya bernyanyi sembari memainkan gambus. Akan tetapi, situasi tidak mendukung, Gassing memberi isyarat jika waktunya kurang tepat. “Lain waktu kita datang lagi untuk menyalin teks lagu yang biasa ditembangkan oleh I Diri,” imbuhnya.


Sumur Komunal

 

Lokasi sumur pumpatenro itu berada di belakang rumah I Diri, jaraknya sekitar 50 meter dengan kecuraman sekisar 60 derajat. Juga terdapat pagar pembatas agar sapi tidak memakan padi yang sedang tumbuh di area sumur. I Diri memenuhi kebutuhan airnya seorang diri, ia sudah hafal jalur ke sumur.

 

“Apakah ia memasak sendiri,” tanyaku yang dijawab Gassing kalau hal itu disediakan di rumah saudaranya yang berada di seberang sumur. I Diri akan berjalan ke rumah saudaranya begitu rasa lapar sudah hadir atau saudaranya akan memanggilnya.


Melihat topografi wilayah kampung Raja’a, lokasi sumur itu berada di area persawahan terasering–dicerukan tanah landai dan di sisi timurnya area hutan berbukit. Jaringan hidrologis air tentulah berasal dari bukit hutan itu yang merembes dari ketinggian menuju lokus yang landai.

 

Terdapat dua lokasi persawahan yang dipisahkan jalan kampung. Di sisi selatan di mana sumur pumpatenro berada dan di sebelah utara yang menjadi lanskap menandai kampung Raja’a yang bisa dilihat dari jalan poros kecamatan, di area inilah daun tenro yang menjadi muasal penamaan sumur pumpatenro itu masih bisa dijumpai. Pohonnya bertengger di ujung tebing pebukitan, di bawah daunnya yang menjuntai terdapat aliran air dari hutan pebukitan yang mengaliri persawahan.


Jalan suram ke sumur pumpatenro.

Setelah menyelesaikan beberapa pengambilan gambar, Gassing mengajak dulu ke rumahnya yang hanya sepelemparan batu dari rumah I Diri. Sambil berjalan ia kembali mengisahkan sejumlah percakapan yang sempat terhenti berupa masa kecilnya hingga riwayat perintisan jalan ke kampungnya hingga bisa dilewati kendaraan.

 

“Dulu itu waktu sekolah dasar saya jalan kaki melewati persawahan hingga sampai di jalan kecamatan,” ucapnya sambil menunjukkan hamparan sawah berundak di sebelah utara. Mendengar itu saya berhenti dan menepi ke pagar.

 

“Maksudnya area sawah ini,” ucapku heran menghadap ke area persawahan.

 

“Iye, sawah itu mi.”

 

“Tetapi dulu itu tidak dirasa karena banyak ki.”

 

“Ada berapa orang dulu teman seangkatan.”

 

“Tidak banyak ji juga, ya sekitar lima orang.”

 

Saya agak sulit mendeskripsikan perjalanan Gassing melintasi area persawahan berundak yang ditempuhnya pulang pergi selama 12 tahun, dihitung hingga masa SMA. Jika kita berdiri di pagar pembatas antara jalan kampung dan area persawahan, yang nampak hanyalah kecuraman. Lalu seperti apa Gassing kecil bersama teman sebayanya kala itu menuruni pematang. Bagaimana pula situasinya jika musim hujan.


Gassing memegang selembar daun tenro.

Mania (60), emak Gassing menjelaskan kalau semula sekolah dasarnya di Kampung Bu’nea, berjarak sekitar 3 km, di sana hanya sampai kelas empat. Setelah itu harus pindah sekolah ke SD Nomor 34 Libureng, Desa Bulu Tellue. “SD Nomor 10 di Bu’nea itu memang hanya sampai kelas empat saja karena fasilitas.

 

Setamat SD Gassing melanjutkan sekolah di SMP dan SMA Negeri 1 Tondong Tallasa di Desa Bantimurung, berjarak sekitar 10 km. Di masa SMP sudah ada kendaraan perusahaan tambang yang kerap melintas, menurut Gassing, jika supir truk berbaik hati mau menepi maka anak-anak bisa menumpang, jika tidak ya harus berjalan kaki. Memasukik SMA, Gassing sudah memiliki sepeda yang disimpan di rumah warga. Jadi, dari rumahnya ia tetap berjalan kaki melewati persawahan dan baru mengayuh sepedanya di jalan kecamatan menuju ke sekolah. Begitu juga sebaliknya bila pulang sekolah, sepeda dititip di rumah warga dan kembali melakukan parade jalan kaki menanjaki petak sawah hingga ke rumahnya. Fase itu dijalani dari tahun 2004 hingga 2009.


Kampung Terang: Jalan Tak Semulus Marmer


Dalam ingatan warga listrik PLN masuk di Raja’a sekitar lima tahun terakhir. “Tahun berapa itu mulai ada listrik,” ucap Gassing kepada emaknya. Morang (61), bapak Gassing coba jawab kalau listrik semula dari perusahaan marmer ketika mulai beroperasi.

 

“Oh iya, kalau tidak salah tahun 2004 atau 2005. Instalasi dari perusahaan, waktu PLN masuk instalasi awal tetap dipakai,” papar Gassing sembari menunjukkan instalasi listrik yang terpasang di rumahnya.


Gassing lanjut meceritakan kalau jalur pertama yang tadi dilewati dirintis oleh PT Gunung Mas Persada Jaya, perusahaan marmer yang dulu beropeasi dan sudah berhenti. Sedangkan jalur pertama merupakan rintisan PT Citatah, juga perusahan tambang marmer yang beroperasi di Desa Bulu Tellue. Di pangkal jalan jalur pertama terpampan bongkahan potongan karst berbentuk kubus yang merupakan material marmer dan juga terpasan papan nama bertuliskan: MR SERGIO MAGLIOCCO. Nama yang asing di Tondong Tallasa. Gassing bilang kalau itu nama pemilik perusahaan. Setelah mengecknya lebih jauh, Sergio berasal dari Italia dan menjabat Direktur Teknik PT Citatah Tbk dari 1999-2016.

 

Bongkahan batu kapur dan papan nama itu seolah menyiratkan adanya kesepakatan penaklukkan. Di belakang bongkahan pajangan plan besi bertuliskan semangat afirmatif: UTAMAKAN KESELEMATAN DAN KESEHATAN KERJA. Doktrin bagi kaum pekerja yang lazim diumbar para pemodal itu masih utuh.


Tampakan jalan di jalur satu, armada PT Citatah masih melintasi jalur ini mengambil material tambang.

Pada 2015 sejumlah perusahaan marmer di Pangkep menghentikan produksi akibat imbas larangan ekspor. Kepala Bidang Pertambangan Pangkep Dahmadi Dahlan, dikutip dari tribunpangkep.com membenarkan sejumlah perusahaan marmer telah melakukan PHK dan merumahkan karyawan. Dahmadi menuturkan jika pangkalnya juga dipicu regulasi seperti UU Nomor 4 tahun 2009. Regulasi yang mengatur tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, oleh Ketua Asosiasi Penguasaha Marmer Sulawesi Selatan, Nur Hamdan, dikutip dari Antara News mengungkapkan kalau regulasi yang mengatur perizinan perusahaan yang berprodoksi di kawasan hutan tidak kondusif.

 

Menilik ke fase ketika semangat desentralisasi merayapi proses pemilihan kepala daerah, bisa dilihat setelah terbitnya Undang Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Setahun berselang Pangkep menggelar pemilihan bupati secara langsung untuk kali pertama pada 2005. Patok tahun pasca Pilkada pertama itu menjadi alas kaki ramainya perizinan tambang di Pangkep, khususnya marmer.


Pada 2020, tim peneliti Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) yang saat itu menggelar program Sekolah Demokrasi Pangkep (SDP) mencoba melakukan direktori perusahaan tambang yang beroperasi di Pangkep. Hasilnya, melacak informasi perusahaan yang melakukan operasi tambang seperti mencari jarum dalam lumpur. Hasil konfirmasi dengan Dinas Pertambangan sebatas menyimpan nama perusahaan dan wilayah operasinya di sejumlah desa di Pangkep. Praktis kinerja perusahaan tidak terkontrol di wilayah warga.

 

Membaca situasi kala itu serupa ada kebutuhan saling melengkapi karena bertemunya jumlah angkatan kerja dengan pembukaan produksi tambang. Serapan tenaga kerja memenuhi kebutuhan industri sehingga tidak melihat dampak jangka panjang baik pada kondisi angkatan kerja juga pada ekosistem sumber daya alam. Begitu perusahaan menghentikan produksi seketika serapan tenaga kerja kembali menjadi penganguran. Beberapa di antaranya ada yang sudah bekerja sekian tahun.


Bongkahan material marmer teronggok di tepi jalan jalur satu ke Kampung Raja'a.

Nurhasan (45) warga Desa Kabba, Kecamatan Minasatene, eks karyawan PT Citatah yang mulai bekerja pada 1998, ia mengenang gelombang perumahan karyawan marmer sudah dimulai sejak 2004. “Jika tidak salah sekitar 2004 dan ada 400 an karyawan yang menerima nasib serupa,” ujarnya melalui sambungan telepon.

 

Ia menjelaskan waktu itu hanya PT Citatah yang melakukan perumahan karyawan. Saat itu karyawan yang dirumahkan tetap menerima gaji pokok. Kemudian pihak perusahaan memberi pilihan kepada karyawan yang ingin berhenti dengan imbalan gaji sebulan dikalikan masa kerja.

 

“Saya memilih tawaran berhenti dengan imbalan pesangon yang dijanjikan perusahaan,” ucap narasumber di atas. Karyawan yang lain tetap ada yang bertahan hingga menerima panggilan kembali masuk kerja.

 

Hasil penelitian itu terangkum dalam buku Gerak Demokrasi Lokal-Pergumulan dari Pangkep, Sulawesi Selatan (LAPAR-KID: 2013). Dari sarian data yang terangkum dapat diketahui kalau di Pangkep terdapat 18 jenis kekayaan sumber daya alam berupa batu bara, silika, marmer, kromik, tanah liat, batu gamping, sirtu, kristal kuarsa, lempung, rakit, profilit, kaolin, biorit, basal, batu salak, tras, dan rijam. Sebaran sumber daya alam ini paling banyak terdapat d wilayah Tondong Tallasa.


Pabrik pengolahan marmer PT Citatah Tbk di Desa Mangilu, Bungoro. Pangkep.

Meski sejumlah tambang marmer telah tutup, Gassing menuturkan armada PT Citatah, salah satu perusahaan marmer terkenal di Pangkep masih kerap mengambil material walau tidak sekencang awal mula beroperasi. Kini, lalu lalang truk enam atau sepuluh roda seperti yang dijumpai di belokan delapan mengangkut material bumi yang lain, armada itu merupakan milik PT Batara yang kini menambang silika di Desa Bulu Tellue. Dari kampung Raja’a Gassing menunjukkan area tambang yang terlihat jelas.

 

Di perjalanan pulang melewati jalur pertama yang menurut Gassing lebih cepat rupanya kondisi jalannya sama saja dengan jalur kedua. Di sepanjang melintasi jalan di kesunyian hutan pebukitan, jalan bebatuan yang tidak rata menjadi perangkap yang sewaktu-waktu dapat menggelincirkan roda kendaraan. Jalan cor yang ada belum sepenuhnya rampung dan sudah retak. Bongkahan material marmer di beberapa titik tampak teronggok begitu saja. Permukaannya jelas mulus dan licin. Sangat kontras dengan kondisi jalan di mana armada pengakut bongkahan material itu dulu lalu lalang.


*

Referensi

 

Idrus, Mubarak (Ed). 2013. Gerak Demokrasi Lokal-Pergumulan dari Pangkep, Sulawesi Selatan: LAPAR-KID

 

Sirimorok, Nurhady. 2020. Melihat Desa dari Dekat, Catatan Perjalanan tentang Satu Bahasa: EA Books

 

https://makassar.tribunnews.com/2016/03/31/10-perusahaan-marmer-pangkep-yang-tutup-imbas-larangan-ekspor, diakses pada Rabu, 15 Februari 2023. Pukul 12.39 Wita.

 

https://makassar.antaranews.com/berita/26971/pengusaha-marmer-sulsel-keluhkan-regulasi, diakses pada Rabu, 15 Februari 2023. Pukul 12.45 Wita.

 

https://www.bloomberg.com/profile/person/3608157, diakses pada Kamis, 16 Februari 2023. Pukul 12.04 Wita.

 

Catatan: Pertama kali dipublikasikan di rumahsaraung.id dengan judul: Mengunjungi Kampung Raja’a. https://rumahsaraung.id/mengunjungi-kampung-rajaa/



Komentar

Postingan Populer