Ironi Idealisme Jerman

Summer gambar di sini


Pada 1990 kala Berti Vogts menggantikan Franz Beckenbauer sebagai pelatih tim nasional Jerman, para pendukung Jerman mulai membuat lelucon yang membandingkan dua sosok tersebut. Tentu saja publik tahu siapa Beckenbauer, dialah sang Kaisar. Orang pertama yang membawa Jerman juara dunia sebagai pemain dan pelatih di kemudian hari.

 

Meski nama Vogts juga tercatat sebagai pemain di kelas 1974, tahun ketika Jerman meraih titel juara dunia keduanya, tetap saja namanya hanya sebagai catatan kaki karena judul besarnya adalah sang Kaisar. Maka jadilah lelucon itu ketika Vogts benar-benar menukangi Der Panzer. Publik Jerman tak perlu meminjam dongeng dari negeri lain, di tengah kedigdayaan teknologi otomotifnya, insipirasi itu didapatkan untuk menyebut sang Kaisar sebagai Mercedes Benz dan Vogst perwujudan VW (Volkswagen). 

 

Mercedes Benz menunjukkan kemewahan, hasil ciptaan adihulung atas teknologi terapan dan seni. Mercedes menjadi impian warga Jerman pasca Perang Dunia I. Sedangkan VW hanyalah kasta kedua. Logo bintang tiga perusahaan otomotif yang berdiri pada 1926 itu juga pernah menghiasi jersey timnas Jerman.

 

Vogst menjalani tugas pertamanya di gelaran Piala Eropa 1992 di Swedia. Berbekal runner up di babak penyisihan Jerman menuju final. Sayang, kolektivitas serangan Jerman harus dibayar dua gol dari tim pengganti, Denmark yang tidak lolos dalam kejuaraan itu, akan tetapi mendapat durian runtuh setelah Yugoslavia mendapat hukuman dari FIFA akibat konflik politik.

 

Kegagalan Jerman di final semakin merasionalkan lelucon mengenai julukan VW bagi Vogst, pelatih kelas kedua. Vogst menerima sebutan itu dan bangga dengan filosofi VW yang menggambarkan pandangan hidup warga Jerman sesungguhnya: kerja keras, disiplin, dan kolektif. Persis seperti VW yang didirikan serikat buruh di tahun 1937.

 

Vogst terus mendampingi Jerman menuju kompetisi yang lebih tinggi, Piala Dunia 1994. Langkah Der Panzer dihentikan tim semenjana, Bulgaria. Vogst tidak dipecat dan masih dipercaya menyiapkan tim untuk Piala Eropa 1996. Di fase inilah kemudian Vogst mampu mencatatkan namanya sebagai pelatih Jerman yang memenangkan Piala Eropa kali ketiga. Setelahnya, Jerman hanya tercatat juara kedua di edisi 2008 di hadapan generasi emas Spanyol. 

 

Sepak bola Jerman dibangun atas idealisme, ketika Hungaria di dekade 50-an menguasai Eropa (meski tidak ada titel juara), Jerman bergeming dan ogah melakukan reflika strategi, begitu juga saat Belanda menyulap daratan Eropa dengan Total Football, Jerman kokoh dengan mengandalkan kolektivitas tanpa bergantung pada satu sosok pemain.

 

Namun, benarkah Jerman benar-benar mengandalkan kolektivitas? Jika iya, mengapa mereka begitu memuja sang Kaisar. Thomas Muller melayangkan ucapannya kalau Jerman tidak membutuhkan superstar. Nyawa Der Panzer memang kolektivitas dan, kalau mau sedikit melakukan refleksi, pemain Jerman yang mulai memeragakan diving, kita bisa melihat lagak Juergen Klinsman dan Rudi Voeller di final Piala Dunia 1990.


Klinsman mampu membutakan mata wasit dengan aksi lompatnya kemudian bergulung kesakitan yang membuat wasit memberi kartu merah pada bek Argentina, Pedro Monzon. masih di laga yang sama, aksi jatuh Voeller di kotak penalti kembali menyilaukan mata wasit sehingga Jerman mendapat penalti. Sebiji gol sepakan Andreas Brehme di titik putih mengantarkan Jerman merengkuh tropi Piala Dunia yang saat itu digelar di Italia. Dekade itu sepak bola memang rentan dengan aksi tipu daya para pemain, Maradona juga melakukannya di Piala Dunia 1986. Publik bola menilai jika kekalahan Argentina dari Jerman adalah karma bagi Maradona yang mempermalukan tim Eropa (Inggris) empat tahun sebelumnya dengan gol tangan tuhannya. 

 

Era berlalu, sepak bola semakin ketat dengan seperangkat aturan berbasis teknologi. Sepakan Jamal Musiala mengenai tangan kiri Marc Cucurella di kotak penalti, akan tetapi wasit bergeming dengan penjelasan setelahnya, jika handsball tidak terjadi sebab tangan bek gondrong kriwil itu dalam kondisi vertikal. Andai tangannya terentang maka penalti terjadi. Ini ironis sebab di pertandingan lainnya, di ajang Copa America, sehari sebelumnya dalam laga Argentina kontra Ekuador, bola mengenai tangan Rodrigo De Paul yang sudah ia rapatkan di dada sebagai gerak refleks tetap berbuah penalti.

 

Jerman melewati fase grup dengan dua kali kemenangan dan seri di pertandingan akhir. Tuah tuan rumah tentu diharapkan sebagai berkah menyelesaikan turnamen dengan tropi. Jerman yang dilatih pelatih muda berusia 36 tahun, Julian Nagelsmann, kehadirannya memunculkan asa merombak skuad.

 

Jerman yang gugur di fase grup di dua edisi Piala Dunia (2018 dan 2022) menjadi syarat utama melakukan evaluasi keterlibatan pemain tua. Namun, Jerman tak bisa bisa menutup pesona sisa legenda kelas 2014 ketika Jerman meraih Piala Dunia keempatnya. Toni Kross yang menutup karier manisnya di Real Madrid kembali dipanggil, begitu juga dengan Thomas Mueller dan tak ketinggalan kiper yang dua tahun lebih tua dari Nagelsmann, Manuel Neuer (38 tahun).

 

Jika melihat usia, Kross (34) hanya terpaut satu tahun lebih mudah dari Marco Reus (35) dan Mezut Ozil (35). Setahun lebih tua dari Ilkay Gundogan (33) dan hanya terpaut dua tahun dari pelatihnya. Anggapan yang mengatakan jika usia hanya angka mungkin menjadi pertimbangan Nagelsmann yang terpesona dengan sihir Kross di Madrid. Tetapi, benarkah demikian, bukankah Jerman tidak memerlukan superstar seperti dikatakan Muller.

 

Tidakkah kehadiran Kross sebagai upaya memberi peluang guna mencukupi gelarnya (sisa Piala Eropa) sebelum menutup karier. Jika iya, Jerman sangat percaya diri memenangkan turnamen. Hal yang sama ketika Jerman kembali memasukkan Oliver Khan di skuad Piala Dunia 2006, juga ketika Jerman menjadi tuan rumah dan, hasilnya, kita tahu, kiper gaek itu tak sekalipun diturunkan hingga Italia mengubur idealisme Jerman.

 

Kita mengenal sebuah mazhab kritis yang dibangun dari idealisme Immanuel Kant dan dialektika Friedrich Hegel, elaborasi pemikiran dua filsuf beda generasi itu ditambah sumbangsih pemikiran Karl Marx dan psikoanalisa Sigumund Freud melatari lahirnya Sekolah Frankfurt atau dikenal luas Mazhab Frankfurt. Kepala sekolahnya, Max Horkheimer meyakini kalau Jerman membutuhkan cakupan pemikiran melebihi marxisme yang mentok pada determinisme sejarah. Masyarakat Eropa tidak bisa menunggu takdir. 

 

Mazhab Frankfurt menilai kelemahan idealisme Kant karena menyepelekan sejarah dalam pengetahuan manusia. Kroos yang bermain ketika Jerman melumat Skotlandia 5-1 kemudian menang 2-0 atas Hungaria di fase grup, nampaknya bukanlah Kross yang bermain di Real Madrid atau di Jerman di tahun 2014 dan 2018. Dalam skema 4-2-3-1 Kroos memiliki opsi bergerak ke kiri menutupi ruang kosong yang ditinggalkan bek kiri Maximilian Mittelstädt atau David Raum sehingga sejajar dengan dua bek tengah, Jonathan Tah dan Antonio Rudiger. 

 

Menghadapi Skotlandia dan Hunggaria peran Kross lebih banyak di posisi tersebut. Barulah ketika menghadapi Swiss dan terakhir melawan Spanyol, Kroos kembali ke habitatnya karena serangan spanyol dirancang dari sayap, khususnya di sisi kanan.

 

Nagelsmann nampaknya rada marxian ketika memilih opsi kesadaran menempatkan posisi dinamis Kroos di bek kiri, ia melihat keadaan Kroos sebagai pengumpan akurat, olehnya itu bisa ditempatkan di mana saja. Nagelsmann punya kesadaran sejarah, di Piala Dunia 2014, Kroos berada persis di belakang Miroslave Klose, khususnya di laga final kontra Argentina, dan di laga sebelumnya bisa bergeser ke sisi kiri kembali sesuai kebutuhan taktik. 

 

Bertahun-tahun memang Kroos memulai jelajahnya sebagai gelandang bertahan sebelum Bayern Munchen, melalui legenda Jerman, Franz Beckenbauer, sang Kaisar menganggap Kroos bukanlah pemain bintang. Kelasnya hanya VW. Kasta kedua. Bagi penguasa Bundesliga hanya memilih pemain kelas Mercedez Bens, kelas pertama.

 

Apakah itu sebuah pilihan strategi, ya tentu saja, dan Nagelsmaan dapat berkilah mengenai hal itu. Sosiologi mengajarkan adanya kelas dalam masyarakat, pantulan kesadaran kelas pula yang mempengaruhi kebijakan. Sialnya, kelas berkuasalah paling dominan menentukan pilihan. Sebagai pelatih (kelas berkuasa), Nagelsmaan memenuhi naluri Kroos untuk bermain di lima pertandingan. 

 

Merujuk pada psikoanalisa Freud yang juga menjadi latar pemikiran Mazhab Frankfurt setelah Erich Fromm bergabung di tahun 1934, menunjukkan sisi lain kekurangan pemikiran marxian yang tak bisa lagi dipakai memandang perkembangan masyarakat pasca modernisme. Kala itu Jerman menuju fasis yang dianggap determinan pergerakan kelas dan justru melahirkan monopoli kekuasaan yang berimbas pula pada kebudayaan.

 

Dua kunci psikoanalisa Freud bertumpu pada naluri dan seks, Fromm menunjukkan keniscayaan Freud jika rasa lapar hanya bisa ditebus dengan makanan sedangkan kebutuhan seks bisa dialihkan. Nagelsmaan memberikan makan pada Kroos dengan menit bermain sekaligus melupakan kebutuhan peran yang lain (seks) dengan transformasi posisi ketika infrastruktur skuad Jerman tak lagi sama dengan kelas 2014 yang memakai penyerang kunci (murni). Kai Havertz sejatinya gelandang yang terus diposisikan sebagai penyerang lubang.

Komentar

Postingan Populer