Anak-Anak Akademi Sepak Bola dari Mesin Waktu

Sumber Gambar di sini

Hingga memasuki akhir babak pertama, Tom Haye masih senang berlari kecil dan ogah meminta bola secepat mungkin dari tiga bek yang bergerak dinamis menjaga ruang garis depan gawang. Jika jeli melihat cara Jay, Ridho, dan Hubner mengulur waktu, utamanya Hubner yang sepertinya hanya bertugas mengoper bola ke kiper sebagai bentuk kesengajaan agar Haye tetap pada porosnya: melambat.

 

Laga penentu lolosnya timnas ke ronde ketiga kualifikasi Piala Dunia pada Selasa lalu (11/6) yang menjamu Filipina akan menjadi pengalaman tontonan yang paradoks. Setelah takluk 2-0 dari Irak, penonton menyimpan adrenalin yang akan dituangkan di laga tersebut. Ada harapan jika timnas bakal ngebut untuk mengelabui skuad Filipina. 

 

Gas kencang timnas tidak tersajii. Penonton yang hadir di stadion atau di layar kaca merasakan hal yang sama. Shin Tae Yong (STY) yang memegang remot telah memilih Haye sebagai tombol pause. Hal yang sama juga dilakukan di skuad lawan yang enggan terburu-buru memasuki kotak penalti Ernando.

 

Jadilah kita bernostalgia dengan Seri A dekade 90-an akhir ketika liga di Italia itu menjadi satu-satunya tontonan sebelum Premier League menampilkan betapa pesepakbola yang boleh berlaga di tanah Britania hanyalah mereka yang dapat berlari kencang.

 

Capaian taktikal skuad timnas berbuah sebiji gol di babak pertama. Sepanjang waktu normal plus satu menit memberi bukti jika jalannya pertandingan aman-aman saja. Tidak ada insiden tambahan yang membuat wasit mengeluarkan kartu berlebih atau menambah alokasi waktu.

 

Apa sesungguhnya melambat dalam sepak bola masa kini. Kedigdayaan eksploitasi kedua sisi lapangan mengakibatkan punahnya peran nomor sepuluh yang kemudian membuka lebar diadopsinya para pelari sehingga dengan demikian menunjukkan watak atletik dalam sepak bola.

 

Sepak bola dengan adanya ukuran lapangan dan waktu bermain serta jumlah pemain yang berlaga mengandung sifat absolut dalam ruang. Filsuf Imanuel Kant jauh hari merumuskan hal tersebut sebagai sesuatu yang dapat diukur sebab begitulah pengertian ruang, sesuatu yang dapat diukur. Jika menengok era ketika aturan sepak bola berangsur diterapkan dengan aturan-aturan, maka peran kaum positivis amatlah berpengaruh. Kita bisa melihat jika saat ini sajian data bukan hanya soal hasil skor melainkan juga statistik peran pemain seperti jumlah operan, umpan kunci, atau sapuan bersih. 

 

Hal demikian memang dibutuhkan untuk menilai keefektifan penggunaan ruang yang sifatnya memang absolut bagi kaum positivis. Akan tetapi, hal demikian bisa berbeda bagi kaum fenomologis yang memandang ruang tidak hanya matematis. 


Umpamanya saja, jarak tempuh Calvin Verdonk di sisi kiri yang bergerak vertikal di sepanjang babak pertama sinonim dengan gerak behavioral kawanan rusa yang berlari menghindari terkaman singa. Verdonk terus mengulangi cara berlari demikian sebagaimana metode rusa menghindari pemangsa. Tidak ada pergerakan zigzag melampaui ruang pemain lain di posisi berbeda. 

 

Jika mata positivis dipakai melihat Haye bermain, maka bisa dilakukan perumusan kalkulasi dalam menetapkan langkah kakinya. Jadi, misalnya, andai bek Filipina mampu menghitung langkah kaki Haye dengan penerapan teknologi taktikal yang telah dipelajari, apakah seharusnya dapat dihalau. Atau, setidaknya dapat membaca langkah kaki Haye, apakah akan melakukan tembakan atau operan. Kaum fenomologis mungkin akan sangsi dengan penalaran itu. Sebab kemampuan menerka atau upaya analogis sangatlah erat dengan pengalaman.

 

Namun, bukankah mereka para pemain itu adalah anak-anak akademi yang mempelajari sepak bola dengan jadwal terukur. Kita bisa melompat ke belakang guna melihat bagaimana sepak bola awal mula dilakukan dan dijalankan di tanah jajahan yang bermula sejak permulaan abad ke-20 ketika haluan kaum kolonial melipir lebih dalam ke lubuk kaum pribumi.

 

Permulaan ini menandai wajah baru kolonialisme yang mulai menyimpan senjata di gudang lalu menggantinya dengan pena dan buku kemudian bersiap memasuki gedung-gedung lembaga pendidikan. Sepak bola masuk dalam kurikulum. Era ini ditandai dengan sebutan politik etis kaum kolonial yang rupanya berlaku sama oleh apa yang dilakukan para kaum kolonial di belahan dunia lain seperti yang terjadi di Argentina dan Uruguai dibawah kekuasaan Spanyol.

 

Perkembangan sepak bola di Eropa, utamanya di Inggris telah melewati masa naik turun yang melewati lapisan sosial. Permainan ini telah menjadi produk yang dapat mendatangkan keuntungan dan menjadi senjata untuk meredam pergolakan rakyat. Sebab inilah sehingga kaum anarkis pernah menyebut jika sepak bola hanyalah candu. Kekuasaan membutuhkan kontrol dan sepak bola adalah metode terbaik yang dapat meredam kekacauan sosial.

 

Penerapan politik etis di Hindia Belanda pada 1901 yang hanya sela setahun dari berdirinya AFC Ajax yang dideklarasikan pada 1900. Geliat kompetisi sepak bola di Belanda sudah mulai bergulir sejak abad ke-19. Semula sepak bola yang dipelajari di sekolah tidaklah bebas akses karena yang dapat bersekolah hanyalah lapisan sosial tertentu. Jadi, model kebijakan etis ini hanyalah malih dari proses penguasaan kelas atas dalam bersenang-senang melalui sepak bola. 14 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1915 klub bola tertua di Hindia Belanda lahir yang dinamakan Macassarche Voetbalbond (MVB) lalu ganti nama menjadi PSM di tahun 1942.

 

Pembalikan arah baru terjadi kala tokoh pergerakan melihat sepak bola sebagai ruang merebut dominasi. Konsolidasi dilakukan di kerumunan penonton yang sedang menyaksikan pertandingan. Perlahan sepak bola bukan lagi olahraga taktik, segaris lurus merupakan medan perjuangan menggelorakan kemandirian bangsa. Di tahun 1930 menjadi tonggak arah perjuangan kemerdekaan bisa juga dilakukan melalui sepak bola. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) lahir yang berselang dua tahun pasca kongres pemuda di tahun 1928. 

 

Dua momentum ini beriringan dalam menancapkan sepak bola bagi pribumi sebagai ruang sosiologis. Wadah bagi klub sudah ada dan bahasa melayu yang menjadi cikal bakal bahasa persatuan terasa sangat erat dalam membahasakan taktik. Di dekade 30-an itu peran PSSI mampu mengacaukan hegemoni Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), asosiasi sepak bola Belanda di Hindia Belanda. PSSI memainkan dua peran sekaligus, sebagai wahana berdikari sejumlah klub sepak bola dan praktik politik kaum pergerakan.

 

Kompetisi yang digelar PSSI mengalihkan mata pecinta sepak bola dari elitisnya kompetisi NIVB. Malah, NIVB mendapat perlawanan frontal dari Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB), asosiasi sepak bola kaum Tionghoa yang juga memiliki putaran kompetisi. Jadi, kala itu di Hindia Belanda ada tiga kekuatan sepak bola yang saling merebut kuasa. Keberadaan para kaum Tionghoa, khususnya di Surabaya jelas memiliki peran yang tidak kecil dalam memainkan sepak bola. Tarik ulur tiga asosiasi lalu melahirkan kolaborasi ketimbang terus berseberangan. PSSI dan NIVB melakukan perjanjian untuk saling mendukung dan memberikan ruang bagi para atlet untuk berlaga dan membela klub di masing-masing naungan asosiasi.

 

Kini kehadiran pemain keturunan di tubuh timnas serasa perjalanan mesin waktu. Mereka mempelajari sepak bola di sejumlah akademi klub di Belanda yang terus tumbuh melintasi zaman. Hal yang tidak kita jumpai pasca Indonesia menjadi negara merdeka. Juga, tidak kita jumpai peran krusial PSSI membangun akademi sepak bola atau menggelar liga yang sehat. 

 

Lalu tibalah waktu ketika politik kewargaan di abad 21 ini melintasi pagar negara. Praktik yang sesungguhnya menjangkiti hampir semua negara. Prancis, yang juga pelaku kolonial di masa lalu telah melakukannya. Manusia-manusia yang melintasi batas negara dan menanam penghidupan di tanah bekas penjajah menyimpan asa sebagai manusia yang memandang masa lalu sebagai gen yang tidak ikut lahir dari rahim ibu mereka. Albert Camus menyebutnya sebagai sesuatu yang asing (other), mungkin karena itulah ia disebut seorang eksistensialis. Ia lahir dan memperoleh pendidikan awalnya di Aljazair, lalu dikenal luas sebagai warga Prancis dan hidup dalam ekosistem intelektual di negara yang menjajah tanah kelahirannya itu.

 

Sepuluh tahun pasca perang Aljazair yang memperoleh kemerdekaan di tahun 1962 dari Prancis. Salah satu pemain terhebat dalam sejaran timnas Prancis lahir dari rahim imigran Aljazair yang mencari suaka di kota pesisir tenggara Prancis, Marseille. Zidane, barangkali kumpulan generasi dalam prototipe Camus sebagai anak-anak yang asing.        

 

Kolonialisme adalah ide begitu juga dengan gagasan untuk merdeka. Pergulatan manusia yang terus menerus berseteru. Rangkuman multikulturalisme menjadi tawaran dalam mewahanakan dan, mediumnya, salah satunya melalui sepak bola.

Komentar

Postingan Populer