Praktik Lokal Pertanian di NTT Siasati Perubahan Iklim

 

Buku Ura Timu-Etnografi Iklim Mikro Flores: Insist Press, 2022

Perubahan iklim tidak hanya menjadi ancaman mengenai keberlangsungan ekosistem, tetapi juga menggeser pengetahuan lokal dalam membaca tanda alam yang umum dipakai warga untuk mengetahui peralihan musim. Bekal pengetahuan lokal itulah yang menjadi tumpuan masyarakat adat atau petani di sebuah wilayah sebelum memulai masa tanam.

Tak pelak lagi, perubahan iklim itu nyata yang mengakibatkan adanya musibah seperti banjir atau gempa. Dampaknya, lokasi yang sebelumnya mustahil terdampak justru mengalaminya. Roem Topatimasang dalam catatan pengantarnya di buku ini sedikit banyaknya menyinggung relasi itu. Ia pun heran melihat adanya badai air bah yang menimpa wilayah yang dikenal kering di Nusa Tenggara Timur. Tepatnya banjir bandang dan longsor yang memorandakan sejumlah desa di pesisir timur Pulau Adonara.

Badai tropis yang makin mengganas sejak 80-an akibat suhu permukaan laut bagian tengah-selatan Pasifik meningkat cepat, oleh Roem, dikatakan juga dipicu kebakaran hutan besar di Kalimantan dan Sumatra. Badai semacam itu pada dasarnya sudah lama terjadi, akan tetapi hanya menerpa lautan lepas. Kini, sudah sampai di wilayah daratan. Roem mengingatkan jika badai tropis yang kemudian dikenali seroja itu besar kemungkinan melewati daratan negeri ini.

Ya, perubahan iklim mendunia telah mengubah banyak hal. Berbagai jenis ‘bencana iklim’ semakin sering terjadi, bahkan di tempat-tempat di mana bencana semacam itu sangat jarang atau nyaris tak pernah terjadi sebelumnya. (Hal. xiv).

 

Gemohing di Delapan Desa Tapak

Salah satu sektor paling terdampak dari perubahan iklim menerpa pertanian, prakiraan cuaca yang sulit terbaca mengakibatkan petani mengalami gagal panen, hal itu mengacu pada tingginya volume air yang menenggelamkan tanaman atau sebaliknya, kekeringan melanda akibat anomali cuaca.

Berdasarkan hal tersebutlah lembaga masyarakat sipil di Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan pendampingan kepada petani terkait keberdayaan petani, khususnya di ladang kering seperti di sejumlah wilayah di NTT.

Ketimbang mewajibkan petani lokal menanam benih tertentu, program keberdayaan yang dijalankan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di delapan desa tapak yang mencakup dua kabupaten di NTT, yakni Kabupaten Lembata dan Flores Timur justru mengajak petani setempat untuk menggali kembali praktik pertanian mereka yang telah diwariskan turun temurun.

Tiga desa di Lembata seperti Posiwatu, Lerahinga, dan Wainega. Sedangkan kelima di desa di Flores Timur mencakup Langowuyo, Nelelamawangi, Bedalewun, Kimakamak, dan Gekeng Deran. Secara geografis kedelapan desa memiliki akar sosial dan iklim yang tidak jauh berbeda. Hal itu bisa dilihat dari praktik pengetahuan lokal warga membaca tanda alam dalam memprakirakan peralihan musim.

Proses program dimulai dengan pengungkapan pengetahuan lokal para petani melalui cerita-cerita seperti sejarah gempa, proses pertanian, pola hidup warga hingga perubahan yang melatari 30 tahun terkahir. Dari sini terungkap jika para peladang lahan kering di delapan desa tapak hampir memiliki satu kesamaan komunal dalam memulai masa tanam.

Terkait musim, misalnya, warga sudah sejak lama mengenal ura timu, istilah lokal untuk mengenali turunnya hujan yang tiba-tiba di musim kemarau. Warga paham jika hujan yang turun seperti itu bukanlah acuan memulai masa tanam karena hujan akan turun sebentar saja.

Musim hujan yang sesungguhnya dikenali dari beragam tanda-tanda alam. Di desa Posiwatu warga mengakrabi musim kemarau berlangsung pada April hingga November. “Namun pola itu tidak selalu ajeg, sering berubah pada setiap tahun yang berbeda.” Hal. 25.

Upaya yang dilakukan YPPS serupa seruan untuk mengaktifkan kembali pranata sosial gemohing atau gotong royong antar petani menyiapkan lahan memulai masa tanam hingga panen yang perlahan mulai ditinggalkan akibat pola hidup yang berubah.

Tentu bukan pekerjaan mudah, akan tetapi YPPS mampu membangkitkan kepercayaan para peladang dengan beragam praktik cerdas rasa lokal dalam menyiasati perubahan iklim. Roem menyebutnya kalau proses yang dilakukan merupakan bekerja dan belajar bersama mengenai pertanian adaptif kekeringan.

Walhasil, kisah para peladang lahan kering di delapan desa tapak mampu menjawab krisis ekologis di lahan mereka dengan melakukan praktik lokal mulai dari pembasmian hama secara organik hingga pemilihan benih hasil proses yang dilakukan sendiri dan mengembalikan ketahanan pangan lokal seperti sorgun yang terbukti lebih tahan jika ditanam di lahan kering ketimbang memaksakan mengganti pangan lokal dengan menanam padi.

Komentar

Postingan Populer