Safari Rock Belum Kiamat

 

Dok. Kamar-Bawah: 2023

Sebuah kaset tergeletak di lantai kayu di atas rumah. Sampulnya menampilkan wajah Sting sedang menyeringai. Wajah itu saya kenali dengan baik karena sering menyaksikannya di layar televisi saban Minggu pagi di program WWC melalui saluran Indosiar.

Bisa dipastikan dalam sehari atau dua hari, rumah akan gaduh dengan musik bising. Begitulah ulah kakak lelaki saya bila pulang ke kampung mengisi jedah libur sekolah. Segala hal yang diakrabi di Makassar akan dibawah pulang ke kampung. Ketika kaset bersampul wajah Sting itu diputar sontak kepala terangguk seolah ada yang menggerakkan.

Belakang hari seiring perkembangan usia, saya baru ketahui kalau musik bising itulah yang dinamai musik rock. Sungguh berbeda dari musik kebanyakan yang diputar anak muda di desa kala itu. Dominan lagu Malaysia dan lagu Bugis. Tapak waktu itu saya tandai sebagai pengalaman pertama mendengar musik bising.

Ingatan di atas muncul kembali kala mulai mulai membaca beberapa halaman buku Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar. Buku setebal 226 halaman bersampul tebal (hard cover) ini sepertinya dikerjakan dengan penuh pertimbangan. Sungguh presisi.

Secara denotasi, Rock In Celebes (RIC) merujuk pada gelaran musik, khusunya musik cadas, yang mulai mengentak publik pada 2010. Hal tersebut merujuk dari poster perhelatan pertama yang digelar pada Rabu, 8 Desember 2010 di Lapangan Basket Karebosi, sejumlah band yang tampil sungguh asing. Saya hanya mengenal LoeJoe, band rock asal Makassar. Sisanya baru mengetahui kalau di kolong langit ada band dengan nama Marduk, Accidental Killing, Critical Defacement, dsb.

Seiring waktu, atau, memang sejak mulai digagas, RIC memanglah bukan sekadar festival musik, melihat perkembangannya, RIC bergerak menuju pemaknaan yang lain. Rolland Barthes, filsuf asal Prancis itu mengembangkan kajian semiotik berupa pergeseran makna yang semula denotasi (makna sesungguhnya/awal) menuju konotasi yang berarti ada pergeseran makna dari semula, tetapi tetap memiliki jalinan.

RIC secara konotasi adalah ruang hidup yang menghidupi. Gelaran festival bisa disebut puncak dari perjalanan setahun menyiapkan tiap edisi sekaligus hari-hari yang penuh dengan jadwal dalam menyiapkan tiap gelaran yang terus konsisten saban tahun dan, di tahun 2022 lalu telah memasuki gelaran ke 13.

Mengapa Harus Rock

Rock yang dicirikan musik bising mulai dimainkan di Amerika Serikat pada dekade 50-an dan berangsur melintasi tapak negara di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri mulai gencar setelah terjadi peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

Sejak itulah pula berdasarkan sejumlah catatan kancah musik Indonesia, geliatnya mulai tampak di dua panggung festival musik di Indonesia yang kerap disebut, yakni konser Summer ’28 (1973) dan Pesta Musik Kemarau ’75. (Hal. 2).

Sebagai genre baru di Indonesia, rock berkembang lebih pesat dan memiliki penggemar fanatik yang dilahirkan dari lingkup generasi. Sebagai contoh, Brandon Hilton Cavalera yang turut membubuhkan catatan prolog di buku ini menyajikan kisahnya mengenal musik rock dari ayahnya. Arsip waktu kemudian menyimpan banyak sekali peristiwa persinggungan musik rock dalam perjalanan ekonomi politik negeri ini.

Rock dalam realitas sosial bukan lagi genre musik, tetapi sebuah perayaan kebebasaan dengan simbolisasi yang menjadi penanda dari narasi arus besar. Rambut gondrong, celana jeans sobek, hingga penulisan lirik yang menyoroti situasi sosial alih-alih lirik yang terkait di langit.

Hamparan data yang begitu kaya di awal buku menjadi pengantar memasuki persinggungan musik rock hingga sampai pada sikap yang ditempuh oleh orang-orang yang memandang rock sebagai ruang dalam mengakulturasikan kebudayaan berbasis geliat manusia yang mengalami dan berinteraksi dalam kehidupan di kota.

Namun, di satu sisi pula, kalau menelisiknya lebih dalam ke berbagai tempat di Indonesia, pertarungan dan perjuangan anak-anak muda di tiap tempat dan wilayah sungguh berbeda. Ini semua dikarenakan, di antaranya, faktor kebudayaan atau perkembangan politik yang berbeda-beda pula di kota bersangkutan. (Hal. 15).

Dua rezim sebelumnya dari Orde Lama ke Orde Baru menujukkan betapa musik rock dicurigai sebagai biang keladi terganggunya stabilitas sosial. Dari dua orde ini masing-masing memiliki periode puncak ketegagannya. Bahkan, di rezim Orde Baru yang memuja modernisasi barat sekalipun perlu meringkus musik rock hingga mati suri di ranah publik. Namun, hal itu tidak benar-benar berhasil, sayup-sayupnya masih menggeliat di bawah tanah yang melahirkan frasa underground untuk membaca adanya independensi dalam pengelolaan aktivitas bermusik.

Dok. Kamar-Bawah: 2023

Tengoklah bagaimana konser band rock Deep Purple pada 1975 dan Metallica pada 1993, tentu pula tak bisa dilupakan konser super grup Kantata Takwa di tahun 1990. Negara seolah memiliki musuh baru bernama musik rock meski Kantata Takwa tidak mengusung genre ini, tetapi sosok di balik band, ada Iwan Falls dan WS Rendra yang sudah dikenal luas melalui karyanya yang mengeritik pemerintah.

Genre rock menjadi simpul jaringan yang kembali mekar pasca reformasi 1998. Menggeliatnya ruang publik menjadi penanda dimulainya musim baru belantika musik di tanah air dengan pagelaran konser dan festival. Anwar Jimpe Rachman mencatat jika momentum itu juga menyasar kota-kota di luar Jawa. Hal ini lalu dipantik lebih mudah dengan menggelobalnya jaringan internet yang memungkinkan terjadinya pemindahan gagasan lebih cepat.

Melalui prakondisi seperti itulah gelaran RIC menemukan momentumnya. Digerakkan oleh anak muda yang merasakan represifnya rezim Orde Baru dan juga, tentu saja, ditopang sejarah musik yang berkelindan seiring fase zaman yang mengendap dan diwariskan di tiap generasi.

 

Dok. Kamar-Bawah: 2023

Tapak 100 Tahun

Mengeja sajian sejarahnya kita menjumpai bahwa era kolonial justru menjadi kabel yang menyambungkan pantikan kesenian ke bumi putra. Wage Rudolf Soepratman yang pernah menjejak di Makassar awal abad ke-20. Oleh iparnya, ia mendapat semacam tiket untuk mengenyam pendidikan dasar di Europesche Lagere School (ELS). Itulah mengapa nama tengahnya disebut Rudolf yang diberikan oleh WM van Eldik, bintara Indo-Belanda yang menikahi Roekijem Soepratijah, kakak perempuan lelaki yang kelak dikenal sebagai penggubah lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Modernisasi di Makassar sudah tampak di awal abad ke-20 setelah terbentuknya walikota (Burgemester) pada pada 1918. Tata kota dan perniagaan menjadi nafas pembangunan untuk mendukung infrasturktur kota. Di dasawarsa itu pula geliat kesenian, khususnya di bidang musik menjadi penanda lain yang tak bisa dinafikan keberadaannya.

Masih oleh van Eldik yang mendirikan grup musik Black and White Jazz di mana WR Soepratman menjadi salah satu pentolannya kerap mengisi sesi pertunjukan di Balaikota hingga di Societeit de Harmonie yang gedungnya masih ada hingga sekarang. Kehadiran Black and White Jazz pada 1921 itulah yang menjadi penanda tapak waktu 100 tahun musik populer di Makassar yang menjadi momentum buku ini lahir (terbit) pada 2021.

Tercatatlah tiap medio penanda tahun mewariskan artefak tentang siapa, bagaimana, dan seperti apa perubahan wajah musik populer di Makassar hingga yang kita akrabi sekarang. Di tiap fase ada momentum yang tercipta dan saling mendorong genre musik yang satu dengan genre musik yang lainnya untuk mengupayakan penciptaan sejarah. Di musik dangdut, misalnya, duet maut Muchsin Alatas-Titiek Sandhora yang menyambangi pulau Sulawesi pada 1971 dengan konser bertajuk Safari Dunia Belum Kiamat adalah patok konser musik yang turut memantik terciptanya konser selanjutnya.

Di balik semua itu, kita akhirnya memahami jika pertautan musik dengan perkembangan teknologi memiliki jalinan. Bahkan ketika rezim melakukan pengawasan dan mencurigai perkembangan musik genre tertentu, tetap saja tidak semua lubang jarum dapat disumbat. Adanya kebocoran itu menujukkan ruang hidup bagi persemaian gagasan melalui musik.

Mungkin tepatlah adagium yang mengatakan jika selama manusia memerlukan hiburan maka musik tidak pernah mati berikut ekosistem pendukungnya seperti konser dan festival. Jalinan sisi mata koin musik dan teknologi juga menyadarkan kita bahwasanya pemikiran kaum muda yang dibatasi di ruang publik cenderung akan selalu mencari alternatif ruang yang lain.

Praktis semua memiliki lingkungan pendukung dengan sendirinya ketika akses dibiarkan terbuka tetapi diawasi, di awal buku kita menelaah bagaimana ruang kebebasan yang sempit justru bisa membenturkan dua pelaku yang sama dalam satu ruang seperti rivalitas SAS vz Giant Step di Jakarta pada 1976.

Tentu saja kita tidak melupakan seperti apa mental inferioritas dengan sebutan ‘anak kota’ dengan ‘anak daerah’ atau lebih kerucut disebut ‘band kota’ dan ‘band daerah’. Di panggung RIC yang, oleh Jimpe ditabalkan jika panggung juga menjelma sebagai ranah mental.

Di panggung RIC band mancanegara, band dari Jawa, band dari Makasar atau band dari Indonesia bagian timur pada umumnya berdiri setara dibawah bendera musik. Tak melulu genre rock yang menurut Hilton sempat melahirkan pesimis bahwa festival ini kehilangan rock-nya. Persisnya tidak seperti itu saya kira, RIC juga membaca zaman kalau balas dendam pada dua rezim sebelumnya tentu tidak dengan cara mengibarkan bendera perang pada genre musik yang lain.

Penggunaan kata ‘Rock’ tentulah lebih holistik, apalagi melihat upaya RIC yang kerap menyajikan peristiwa lain di setiap gelarannya yang melibatkan multi pihak. Setiap prosesnya ada penelisikan, penelitian, tur, hingga bagaimana mengimpelementasikan festival sebagai wahana. Maka tidak mengherankan bila RIC ini mendekati pemaknaan safari (denotatif) yang menjadikan rock sebagai pintu masuk.

*

Sebelumnya dimuat di https://senirupa.id/esai/safari-rock-belum-kiamat/

Komentar

Postingan Populer