Memahami Perubahan Iklim dari Pengguna Motor yang Memakai Mantel di Jalan

Sumber foto di sini

Apa itu perubahan iklim. Bagaimana cara memahaminya. Seperti apa dampaknya. Siapa saja bisa mengalaminya. Deretan pertanyaan ini bisa lebih panjang dan, Anda tentu saja dapat menambahkan.

Pernah dengar tembang bertajuk Biar Putih Tulang yang dipopulerkan band dari Malaysia bernama Dinamik, grup lawas ini aktif dari pertengahan 80-an hingga awal 90-an, tentu jarang mendengarnya karena di dekade itu tidak seterkenal Iklim atau Slam, dua band lainnya dari negeri tetangga. Baiklah, saya kutipkan sepotong lariknya saja:


Terbakar dalam hujan mustahil bagi diriku

Banjir dalam kemarau takdir yang akan memastikan.


Konjungsi pertentangan dalam larik tembang tersebut sepertinya sudah tidak berlaku. Menyaksikan kebakaran di musim hujan bukan lagi hal mustahil, apalagi banjir di musim kemarau, fenomena semacam itu sudah banyak terjadi. Lalu, apa yang melatarinya sehingga kejadian. Apakah nubuat band Malaysia bernama Dinamik itu yang meragukan fenomena alam, ataukah itu wujud dari perubahan iklim.

Persisnya tidak begitu. Mari kita pelajari sedikit perubahan iklim dari fenomena yang tampak, bahkan, kita mengalaminya langsung. Iya, kita tidak menyadarinya saja jika perubahan iklim itu nyata dan kita sedang merasakannya. Pemanasan global, umpamanya. Tentu pernah kan merasakan gelombang panas yang membuat kita gerah sehingga tidak mengherankan kipas angin di rumah terus berputar.

Mengapa bisa demikian, Penyebabnya karena lapisan ozon semakin menipis akibat tingginya Gas Rumah Kaca (GRK). Ingat, bukan Efek Rumah Kaca (ERK) ya, kalau ini band dari Indonesia yang tentu layak didengarkan. Terus, tidak terkontrolnya GRK itu ulah siapa? Tentu saja ulah umat manusia, maksud saya, ulah sebagian manusia yang terlalu bernafsu menaklukkan alam.

Jadi, gas di lapisan permukaan bumi atau disebut atmosfer punya peran menahan panas matahari supaya sinarnya tidak langsung atau semuanya diserap di permukaan bumi. Itulah mengapa bumi sebagai planet layak huni. Kan tidak semua kita ini penduduk bumi superhero dalam semesta univers Marvel yang dapat hidup di galaxy lain. Nah, GRK itu tadi memastikan iklim di bumi tetap stabil.

Lalu, kesalahan umat manusia, maksud saya, sebagian manusia tadi yang sangat terobsesi sekali menaklukkan alam di mana. Soal itu bisa dilihat dari penggunaan bahan bakar fosil untuk akomodasi umat manusia seperti transportasi, produksi dalam dunia industri, dan deforestasi hutan memungkinkan penstabil suhu iklim tercemari yang berakibat pada menipisnya lapisan ozon. Di situlah pokok dan pangkal musababnya. Polusi berupa karbon dioksida (CO₂), nitrogen (N₂O), metan (CH₄), ozon troposferik (O₃) juga uap air mendorong lebih cepat terjadinya pencemaran.

Kita tidak perlu menunggu seluruh lapisan es di kutub utara mencair baru menyepakati perubahan iklim benar-benar telah terjadi. Bangunan intelektual kita yang didapat dari bacaan sastra, misalnya, juga memunculkan decak fenomena. Dulu, di dekade 80-an banyak kritikus mempertanyakan puisi Sapardi Djoko Damono tentang Hujan di Bulan Juni karena di bulan itu kemarau masih perkasa.

Di Sulawesi Selatan pembacaan musim di bagi dua: musim hujan dan kemarau. Hitungannya jelas, 12 bulan dalam setahun dibagi dua. Enam bulan musim hujan yang dimulai pada November hingga April. Setelahnya peralihan ke musim kemarau yang mulai berlangsung pada Mei sampai Oktober.

Kini, perhitungan musim seperti itu tidak berlaku lagi. Semua sudah samar. Para tetua yang mengandalkan pembacaan tanda-tanda alam mengenali musim mulai meleset yang berakibat fatal dalam pengambilan tindakan, khususnya memulai masa tanam. Hujan kadang awet dan kemarau bisa pendek, atau sebaliknya kemarau yang panjang dan hujan hanya berlangsung tiga bulan. Bisa juga di tengah kemarau hujan terkadang turun dan tiba-tiba panas lagi. Fenomena itu lalu disebut sebagai pancaroba. Hal yang sekian lama tidak pernah dialami di Sulawesi Selatan itu kini teralami.

Tentu ada banyak lagi fenomena alam yang lain. Seperti hujan sepotong dalam satu kawasan. Jenis fenomena alam inilah yang kerap membuat jengkel pengendara motor. Bayangkan, kita berangkat dari rumah memakai jaket agar tidak terpanggang sengat matahari, lalu di tengah perjalanan hujan lebat mengguyur. Padahal, jika memakai perhitungan musim, harusnya hujan tidak turun lagi.

Seiring waktu karena sudah sering mengalaminya, tentu ada pelajaran yang dapat dipetik. Para pengendara sepeda motor dari arah berlawanan saling menandai. Sebagai contoh, jika pengendara dari arah utara menuju ke selatan, katakanlah pengendara dari Pangkep (selatan) hendak ke kota Makassar (utara). Di jalan Trans Sulawesi pengendara dari selatan tadi melihat para pengendara motor dari utara memakai mantel, maka bisa dipastikan kalau Makassar diguyur hujan. Sebaliknya yang dari Makassar menyaksikan pengendara dari selatan tidak memakai mantel, maka beberapa kabupaten di sisi utara kota Makassar tidak sedang hujan.

Jika sudah demikian, apa yang harus dilakukan. Pesan Sheila On 7 di lagu bertajuk Hujan Turun sepertinya pantas diselami:


Waktu hujan turun

Di sudut gelap mataku

Begitu derasnya

Kan kucoba bertahan


Tak ada cara lain selain bertahan dan menjalaninya. Mau bagaimana lagi. Namun, tanda alam (fenomena) parade pemakai mantel ini tidak bisa dijadikan patokan utama karena ada juga pengendara yang memang hobi mengenakan mantel di waktu terik atau, ia malas saja melepas mantel sehabis melewati hujan yang sepotong. Dan, bisa sangat mungkin, si pengendara sudah awas sejak dalam pikiran mengenakan mantel karena berdasarkan pengalamannya hujan sepotong tidak diketahui di lokus mana bakal turun.

Saya kutipkan lagi larik tembang dari band Malaysia yang lain:


Kusangka kan panas berpanjangan

Rupanya gerimis

rupanya gerimis mengundang.


Slam, nama band yang mengentak telinga penikmat musik di tanah air dekade 90-an ini juga mewariskan pembacaan musim yang kadang tidak terduga.

Kita jadi awas jika hujan yang sebentar itu bisa jadi mengundang badai. Tak terbayangkan sebelumnya bagaimana suatu kawasan yang sekian lama tidak pernah dilanda banjir, kini warganya berjibaku dengan bencana banjir. Disebut bencana karena kerentanan dan rendahnya kapasitas sudah bertemu sehingga menimbulkan korban dan kerusakan.

Dampak perubahan iklim tidak saja mengubah perilaku, juga melumat segala pengetahuan lokal yang berasal dari pembacaan tanda-tanda alam. Dan, dari pengendara motor di jalan yang berjibaku dengan perhitungan kapan hujan turun memberikan pembacaan baru dalam mengenali perubahan iklim.

Sebagai fenomena, tentulah akan muncul beragam peristiwa. Di Arab Saudi yang curah hujannya sangat sedikit bisa berubah tinggi yang mengakibatkan air meluber di jalan dan padang gurung yang gersang bisa menghijau. Di satu sisi ada yang mengaitkannya dengan nubuat hadis, tentu tidak masalah, akan tetapi fenomena itu bagian dari dampak perubahan iklim yang sifatnya global.

Satu hal yang pasti, perubahan iklim di satu kawasan menuntut bentuk adaptasi baru dari manusia yang hidup di dalamnya. Mengujicobakan bentuk mitigasi agar bencana tidak menimpa. Seperti hal sederhana berdasarkan pengalaman para pengguna motor di jalan yang saling menandai dari pemakaian mantel para pengendara di arah berlawanan.

_

Komentar

Postingan Populer