Panduan Menyelami Literasi Guna Menangkal Hoaks

 

Dokumentasi: Kamar Bawah, 2021

Prolog

Buku ini dimulai dengan kata pengantar empat paragrap. Pengantar yang aneh, menurut saya. Serasa endorsement yang dipacak sesuka perut untuk dijadikan pengantar.

Namun, buku ini sungguhlah istimewa, tujuan utama, saya kira, seseorang menikah adalah mencipta generasi (anak). Dua penulis buku ini justru, lebih dulu melahirkan anak ruhani. Ainun Jariah dan M Galang Pratama, keduanya memang pasangan istri dan suami.

Kerja kolektif keduanya merancang penerbitan hingga menerbitkan buku. Bisa dikatakan, berdasarkan informasi di halaman kredit titel, semua proses dari awal hingga sampai di tangan pembaca, buku ini dekerjakan mandiri tanpa melibatkan pekerja kreatif yang lain. Sungguh pembelajar tekun, karena itulah dapatlah dimaklumi jika menemukan tata bahasa yang gawal dan pemilihan–penulisan beberapa kosa kata yang rancu. Tindakan tidak melibatkan penyunting andal, katakanlah begitu, sedikit menjadi sandungan dari apa yang telah diupayakan: menerbitkan buku.

Saya kenal baik Galang Pratama, kami pernah berjumpa dan bicara banyak di helatan Festival Literasi Indonesia (FLI) 2019 di Makassar pada 5-8 September 2019. Saya melihatnya memang pekerja dan pembelajar.

Menurut saya, menerbitkan buku bukanlah perkara mudah. Di luar urusan teknis, menyebar gagasan melalui rangkaian teks tak bisa lagi menafikan sentuhan orang lain. Asdar Muis RMS pernah mengingatkan kalau menulis tidak perlu perhatikan tata bahasa karena itu tugas editor melakukan perbaikan. Bagi Asdar, hierarki tertinggi dalam semesta menulis adalah gagasan. Tentu saja motivasi Asdar tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ia mengatakan itu ketika sudah berada di fase tertentu dan telah melewati rimba raya kepenulisan.

Upaya yang dilakukan Ainun dan Galang ini mengingatkan pengalaman saya tentang bagaimana pertama kali menerbitkan buku (penerbitan mandiri) di tahun 2013. Dengan megak, semua prosesnya saya kerjakan sendiri, semangat ini dipicu banyak hal dan belakang hari harus saya revisi.

Ketika kemudian mendirikan penerbitan mandiri, prosedur melibatkan sentuhan orang lain saya tempuh. Tentu saja ada nilai yang harus ditunaikan. Saya memakai jasa mereka (teman-teman) sebagai korektor (proofreader) dalam pengertian paling mendasar sekali. Saya meminta mereka membaca untuk menemukan typo dan tidak mengubah bentuk kalimat meski itu janggal baginya. Mengapa seperti itu, saya tahu kemampuan mereka.

Saya belum bisa membayar korektor dan penyunting yang sudah makan banyak asam garam di industri perbukuan. Namun, menempuh prosedur semacam itu menjadi bagian penyelamat kekeliruan yang bisa menjadi sandungan fatal menghadirkan buku ke tangan pembaca.

Ketika seluk beluk perbukuan semakin mudah dipahami–dijangkau, maka pintu semakin terbuka lebar. Medium sebaran pengetahuan soal ini banyak sekali bertebaran. Kita bisa mempelajarinya dengan tekun melaui sejumlah saluran di YouTube. Malah, semakin ke sini, beberapa pekerja buku dengan gembira menyiarkannya di akun medsos mereka. Ini maksudnya apa? Apakah merahasiakan bumbu dapur sudah tidak relevan? Persisnya tidak seperti itu. Menghadirkan buku dengan segala anak tangga yang perlu dilalui memang sudah perlu dan, sebaiknya mengundang khalayak untuk terlibat aktif. Fenomena pemilihan sampul, misalnya, marak dilakukan sejumlah penulis atau penerbit di medsos.

Prosedur itu merupakan langkah awal melibatkan khalayak memiliki panduan mengenal buku melebihi gagasan (konten) yang ditawarkan. Membaca judul buku saja sudah menjadi bekal awal kalau si penulis ingin menjelaskan tema tertentu. Nah, tema semacam itu tentu saja bukan hal baru. Ada banyak buku membahas tema serupa. Lantas apa yang membedakan, ya tentu saja cara pandang dan bentuk penyajian.

Jika semua rasa coto Makassar itu sama, lalu mengapa coto di jalan Gagak rasanya lebih mantap ketimbang warung coto yang lain, umpamanya. Selera, bukankah seperti itu cara kerjanya. Sama halnya, saya kira, dengan buku Ainun dan Galang ini. Tema literasi dan hoaks bukanlah barang baru, tetapi mengapa keduanya tetap menghadirkan hal serupa. Formulanya kembali ke awal.

Kita tidak tahu persisnya kapan dan buku apa yang dibaca oleh seseorang dengan tema yang serupa itu. Pengandaian ini memberikan ruang lapang kalau (semua) buku memang perlu dibaca. Bisa jadi membaca buku Ainun dan Galang ini menjadi pengantar atau tiket menuju buku yang lain, atau bisa sebaliknya, ada buku lain dibaca dan di sana ditemukan referensi kalau buku yang ditulis Ainun dan Galang sama pentingnya.


Gagasan

Kembali ke hierarki rumus penulisan. Ainun dan Galang dengan gagasannya mencoba merekam situasi yang menjadi ruang berlumpur generas milenial: banjir informasi. Dengan gawai di tangan semua bisa diakses. Bebas memilih dan memilah informasi apa yang hendak diketahui. Di posisi itulah gagasan Ainun dan Galang menemukan relevansinya.

Literasi bukanlah soal kemampuan menulis, cara kerja literasi adalah mencakup keseluruhan daya manusia dalam menerima, memahami, dan menindaklanjuti. Ainun merekam ulang kiprah Jamaluddin di Desa Kanrepia Kecamatan Tombolo Pao, Gowa, Sulawesi Selatan, yang menghibahkan dirinya untuk kerja literasi di desanya. Hal ini tentu saja hanyalah salah satu kerja senyap yang coba dilakukan oleh mereka yang terpanggil menempuh jalan pulang ke desa dan berbuat.

Buku ini terbit pertama kali di tahun 2019 dan cetakan keduanya, sekaligus revisi di tahun 2020. Perbedaanya terletak pada warna sampul dari kuning (cetakan pertama) ke hitam (cetakan kedua). Isinya tidak berubah, hanya perbaikan penyuntingan untuk memilah esai yang ditulis oleh Ainun dan Galang. Total ada 21 judul esai, 10 ditulis Ainun dan sisanya oleh Galang. beberapa di antaranya sudah pernah dimuat di sejumlah media seperti Tribun Timur, Fajar, dan Kompas. Juga, di antaranya ada yang pernah diikutkan dalam lomba penulisan atau berupa materi ketika diundang menjadi pembicara dalam sebuah forum.

“Saya kira pesan utama buku ini adalah pentingnya literasi untuk menyaring berita-berita hoaks....” tulis Arief Balla dalam endorsementnya di sampul belakang. Saya kira, memang di situ pesan yang hendak disampaikan. Meski, kedua penulis tidak memberikan tips khusus mengenai hal itu. Setiap esai berdiri sendiri dan baru bisa ditemukan relasinya ketika merenungi kembali gagasan yang hendak disampaikan.

*

Pernah tayang di https://pustakabergerak.id/artikel/panduan-menyelami-literasi-guna-menangkal-hoaks

Komentar

Postingan Populer