Menyimpulkan Kegelisahan


Dok. Kamar-Bawah: 2019


Menggengam buku kumpulan esai rasanya seperti memegang remot tivi. Bisa membuka halaman lain mencari bacaan yang diinginkan, persis sekali ketika ingin memindahkan saluran dengan sekali pencet.

Bacaan yang belum selesai, atau tak ingin diselesaikan karena informasinya sudah diketahui melalui bacaan yang lain tidak jadi soal ditinggalkan. Begitupun dengan saluran tivi yang sudah sangat familiar, ambil contoh, acara talk show yang narasumbernya itu-itu saja.

Di banyak buku kumpulan esai, kita tahu, narasi yang dibangun setiap esai berdiri sendiri merekam satu peristiwa. Lapisan peristiwa bertumpuk ketika puluhan esai itu dikumpulkan menjadi sejudul buku.

Ada banyak buku kumpulan esai seperti itu dan, bisa disebut, jika pada umumnya, bentuknya memang demikian. Tengoklah buku esai Goenawan Moehamad bertajuk Catatan Pinggir atau kumpulan tulisan Gus Dur di buku Tuhan Tidak Perlu Dibela.


Struktur Kesaksian

Buku Aditia Purnomo, Menjadi Simpul Menggerakkan Asa menambah daftar panjang buku kumpulan esai yang memberikan timbunan kesaksian dan ulasan peristiwa. Di buku ini pembaca diberi peta dengan pembagian tema seperti; Simpul Mati, Simpul Hidup, Simpul Jangkar, Simpul Pangkal.

Saya menduga penamaan bab itu hendak menunjukkan tematik tiap catatan. Bahwa, semua esai yang terangkum dalam bab tersebut memiliki relasi atau, setidaknya, menghampiri penamaan bab.Walau, tentu saja, upaya semacam itu sedikit menggeneralkan ulasan yang mengandung peristiwa temporal. Asumsi itu bisa dilihat dari penanggalan tiap esai.

Esai pertama di bab Simpul Mati dijuduli: Lima Puluh Tahun. Aditia mengenalkan latar keluarganya di masa lalu, tepatnya di tahun tragedi 65. Kakeknya dari pihak ibu adalah salah satu pendukung Soekarno dan kemudian distempel sebagai tahanan politik. Fakta itu dijadikan kaca spion untuk menengok ibunya yang lahir di tahun itu. Jadi, usia ibunya sama dengan masa kelam pelanggaran HAM, sudah setengah abad di tahun 2015.

“Ibu dan Tragedi ’65 sebenarnya seperti saudara jauh. Mereka lahir di saat yang hampir bersamaan. Ibu lahir dalam keadaan kacau setelah kakek saya ditangkap dan dijebloskan ke penjara di Jepara…”(Hal. 3).

Selanjutnya, kemarahan menunjuk hidung penguasa terkait pelanggaran HAM dikemas dari sudut pandang personal dan mewakili korban. Esai dengan nada serupa bisa dijumpai ketika membahas kasus Munir dan Salim Kancil.

Jelajah kesaksian yang ditawarkan tak melulu soal isu berat. Gaya menulis esai juga mencoba beragam bentuk. Sejak munculnya website bernama Mojok.Co di tahun 2014 yang mengusung penulisan bernada satir, formula penulisan semacam itu menjadi panduan bagi lahirnya banyak penulis yang berani mengemas kesaksiannya dengan jenaka tanpa menghilangkan sikap kritis.

Melihat aktivitas Aditia yang aktif di KBEA yang merupakan komunitas yang tak terpisahkan dari Mojok.Co, Penerbit Mojok, termasuk Penerbit EA Books yang menerbitkan buku ini. Maka menjadi wajar kalau di sebagian besar gaya tutur esai yang ditawarkan menjadi tali penyambung untuk mengecek habitus Aditia.

Aditia melakukan upaya campur sari paradigma membicarkan satu pokok persoalan. Semacam melakukan praktik memaksakan kesimpulan. Umpamanya saja, di esai Lima Puluh Tahun tersebut. Apakah fakta yang dialami kakeknya di masa lalu mendesak harus kita ketahui di balik narasi besar pelanggaran HAM 65.

Mengapa harus fakta itu dan bukan fakta keluarga yang tokoh yang lain, umpamanya. Namun, jika manggut dengan teori paradigmanya Thomas Khun, fungsi paradigma memang menjadi alat guna memilih–memilah apa yang hendak disampaikan. Tetapi, percobaan semacam itu sekaligus menawarkan sudut pandang lain, menguarkan fakta betapa skala pelanggaran HAM di era itu begitu luas.

Mari kita periksa esai di bab Simpul Hidup, ada dua esai serentetan: Belok Kiri Jalan Terus dan Menyoal “Kiri” dalam Bingkai yang Lebih Populer. Resonansi ingatan kita bergerak ke belakang, menengok kembali linimasa media sosial tentang festival yang berani menghadirkan narasi kiri di tengah menguatnya kembali represi yang bukan hanya dipraktikkan oleh negara, tetapi juga kelompok intoleran.

Kedua esai tersebut terasa lebih dalam karena Adita terlibat di dalamnya. Adanya penolakan terkait festival itu membuka tirai dan kita melihat betapa bias masa lalu terus diproduksi sebagai perisai. Ada kepentingan merawat ketakutan berhadapan dengan keterbukaan menerima apa yang terjadi.

Struktur kesaksian yang diramu Aditia tidak sebatas pada peristiwa historikal, ada juga selingkaran situasi kekinian yang dialami manusia milenial yang hidup dalam lini masa media sosial. Sumber ide berseliweran di lalu lintas percakapan dan itu menjadi ruang yang coba dimasuki dengan membicarakannya lebih serius.

Menyangkut novelis Tere Liye, misalnya. Ini terkait dengan status si novelis yang mengundang orang-orang membuka kembali lembaran sejarah dan meluangkan waktu menulis guna menangkal sesat pikir si novelis. Pemred Majalah Historia, Bonnie Triyana juga ikut nimbrung dan menulis panjang soal bagaimana kekuatan kiri berandil dalam imaji kemerdekaan dan merasuki pemikiran bapak bangsa.

Hal sama dilakukan Aditia dengan gaya satire, tentu, dengan menghamparkan data perihal keterlibatan kaum kiri untuk kemerdekaan Indonesia lebih dulu sebelum menunjuk hidung Tere Liye yang terlalu menganggap ge(o)ble(o)k netizen. Dipikirnya statusnya itu mengajak untuk mencari data keterlibatan kaum kiri tidak tersedia.


Merawat Asa

Di balik sikap kritis Aditia membangun narasi kesaksiannya, ada jalinan struktur yang dapat dipahami dari pembagian tematik. Meski tidak sepenuhnya memiliki relasi dan linear akibat periodik temporal ketika esai itu dilahirkan, tetapi kita dapat memafhumi jika simpul itu berjalin kuat dengan struktur kesaksian yang hendak dibangun.

Saya menduga kalau Aditia mengumpulkan remah peristiwa itu secuil demi secuil lalu diselesaikan layaknya tukang membangun tembok dari susunan batu bata. Setahap demi setahap. Bekal itu kemudian ia olah dengan memasukkan paradigma. Soal ini, sekali lagi, merupakan pilihan untuk melakukan komparasi atas isu yang dibahas.

Menurut saya, keseluruhan esai di bukunya ini adalah perwujudan melakukan percobaan kesimpulan sebagai bekal gerakan. Beragamnya isu yang diulas menjadi bukti kalau simpul yang ingin disatukan merupakan gejala kegelisahan menyaksikan realitas dan, bagian dari realitas itu. “…kalau memang belum bisa mempersatukan massa, tingkatkanlah lagi kemampuan personal guna menunjang kebutuhan gerakan.” (Hal. VI).

Persoalan publik yang kadang bukan menjadi persoalan bagi kelompok masyarakat di wilayah lain, pada akhirnya menemukan jalinan simpul untuk menghubungkan persoalan itu sebagai masalah bersama. Bukankah kekuasaan itu beranak pinak, karena itu masalah bisa merembesi kenyamanan masyarakat di wilayah lain.

Beragamnya peristiwa tentu memiliki kaitan erat dengan beragamnya pula kesaksian. Lalu bagaimana asa tetap menyala. Aditia menawarkan formula menjalin simpul kesaksian agar asa terus terawat.

*

Pernah tayang di https://pustakabergerak.id/artikel/menyimpulkan-kegelisahan

Komentar

Postingan Populer