Mengeja Permainan Badaruddin Amir
![]() |
Dokumentasi: Kamar Bawah, 2021 |
Prolog
Suatu
siang di lobi hotel di tahun 2019, seorang lelaki tua berkacamata sedang duduk
sendirian. Di kepalanya bertengger topi yang kesannya asal dipakai. Lelaki itu
sudah saya kenal tetapi belum mengenal saya. Di Facebook kami berteman namun
tak pernah saling bersapah.
Di lobi
hotel siang itu, ia nampak menunggu seseorang. Saya terus menyaksikannya dari
luar. Sebab yang ditunggu adalah orang yang saya tunggu pula. Nama kami lolos
sebagai peserta Festival Literasi Nasional (FLI) dalam rangka Hari Aksara Internasional di
Makassar pada 5-8 September 2019 yang digelar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Setelah
rokok yang kuisap tandas, saya masuk ke lobi dan menyapanya. Saya mengenalkan
diri dan ia menerima sambutan salam saya. Ia langsung bercerita banyak seolah
kami sudah sangat akrab. Tiga buah buku dikeluarkan dari tasnya. Satu buku ia
berikan dan saya berjanji, kelak, akan berkunjung ke rumahnya di Barru dan
menyerahkan buku saya.
Namanya
Badaruddin Amir, di Sulawesi Selatan dikenal baik sebagai sastrawan. Ia menulis
esai, puisi, dan cerpen. Kumpulan esai terangkum dalam Karya Sastra sebagai
Bola Liar (Nala Cipta Litera: 2008), kumpulan puisinya berjudul Aku
Menjelma Adam (KPSSI: 2002). Dua kumpulan cerpen yakni Latopajoko dan
Anjing Kasmaran (Akar Indonesia: 2007) dan Laki-laki yang Tidak Memakai
Batu Cincin (FAM Publishing: 2015).
Risalah dan
Cerita-Cerita Lainnya merupakan kumcer ketiganya yang ia berikan di lobi hotel
siang itu. Di sampul tertulis nama besar Maman S Mahayana yang membubuhkan
pengantar.
Semesta
Permainan
Maman S
Mahayana dalam pengantarnya telah mengunci imajinasi kita kalau 18 cerpen yang
terangkum di kumcer ini adalah permainan. “Salah satu kekuatan cerita pendek
(cerpen) dan novel terletak, terutama pada kepiawaian pencerita (narator)
menempatkan cerita sebagai permainan…).
Permainan
macam apakah yang dimaksudkan Mahayana. Cerpen, barangkali saja, tak bisa
dilepaskan dari strukturilisasi pengalaman dan kesaksian cerpenis. Sejumlah
cerpen Pak Badar juga tidak lepas formulasi semacam itu.
Keuntungan
mengetehaui latar belakang cerpenis memudahkan menemukan sejumput peristiwa
yang direkam membangun plot dan latar cerita. Keuntungan itu saya dapatkan
karena sebelumnya sudah mengenal latar belakang Pak Badar.
Keuntungan
lain, tentu saja, jika pembaca memiliki dan membangun hubungan emosional lebih
lekat dengn cerpenis. Selama acara FLI 2019, saya sekamar dengan Pak Badar dan
ia, tanpa diminta dan, dengan senang membacakan cerpen legendarisnya, Latopajoko.
“Cerpen
itu pernah saya kirim ke Kompas tetapi tidak dimuat. Saya lalu kirim ke majalah
Horison dan mendapat ruang,” bebernya.
Risalah, cerpen yang dijadikan judul
kumcer membuka tabir pertama memasuki semesta permainan itu, latar kerajaan
hanya tempelan untuk menyelesaikan sengkarut kegamangan tokoh yang diceritakan.
Pusat cerita berputar pada raja yang melahirkan rentetan peristiwa komikal yang
diperagakan para bawahannya, utamanya kepala perpustakaan kerajaan.
Risalah rupanya upaya sang raja guna mengetahui
hakikat kehidupan. Sang Raja yang telah melewati sejumlah peperangan kemudian
mengalami pengalaman batin tragik akibat korban, baik dari lawan dan kawan yang
mati di tangannya kerap hadir di benaknya. Menjadi teror dan hal itu sungguh
menganggunya.
Ia
bertanya kepada pengawalnya dan tidak menemukan jawaban yang menenangkan. Ia
meminta buku yang membahas esensi kehidupan, oleh kepala perpustakaan
dihadapkan seribu judul buku, lalu seratus, hingga sepenggal kalimat saja.
Raja tanpa
literasi, ia menampik mempelajari amsal kehidupan yang kompleks dan beragam
dari pustaka yang tersedia. Ia menerka kejujuran dari sepenggal kalimat yang
justru mencaplok orang yang keliru. Si kepala perpustakaan dipecat. Digantikan
oleh penyair istana yang dianggap menuliskan kalimat memuaskan gundahnya.
Sungguh raja yang buta sebab kalimat itu justru disarikan oleh kepala
perpustakaan. Mengapa bisa demikian, begitulah jika pintu dialog sejak awal
ditutup. Dasar, raja tuna literasi. Kira-kira begitu respons kita.
Apakah itu
permainan yang dimaksudkan Maman? Bisa jadi bukan itu. Letak permainan ada pada
peristiwa yang tidak diduga. Bangunan plot tidak bisa dijadikan rujukan
menentukan hasil akhir. Puncak permainan itu terasa sekali di cerpen Pengadilan,
di akhir cerpen memang diberikan keterangan kalau Pak Badar terinspirasi dari
cerpen Kritikus Adinan karya Budi Darma.
Ini
pengadilan yang absurd dan mengingatkan cerpen Saksi Mata karya Seno
Gumira Adji Darma yang juga berlatar tentang situasi dalam pengadilan. Dalam
cerpen Pak Badar, ia membenturkan realitas penduduk Negeri Cerita dengan Negeri
Nyata.
Seorang
penduduk dari Negeri Cerita bernama Bardan dimejahijaukan di Negeri Nyata atas
tuduhan plagiat. Saksi ahli membeberkan defenisi plagiat yang semakian
menguatkan si terdakwa bersalah. Bardan, penduduk dari Negeri Cerita itu telah
membunuh dengan cara, persis seperti kasus pembunuhan dalam novel berjudul Patrick
Collins Mc Teague karya Frank Norris.
Itulah
pangkal plagiasi yang menimpa dan dituduhkan pengadilan kepada Bardan yang,
entah siapa telah mengulik kasus pembunuhan yang dilakukan 20 tahun lalu dan
melaporkannya ke pihak berwajib di Negeri Nyata. Keputusan pengadilan, Badran
divonis bersalah.
Campur
sari semacam itukah yang dimaksudkan permainan oleh Maman? Jika iya, saya juga
menikmati permainan itu. Saking asyiknya larut dalam permainan, serasa typo
dan kekeliruan penggunaan kosa kata di sejumlah cerpen tetap bisa dinikmati
sebagai unsur permainan. Sunarti Sain selaku pemeriksa aksara nampaknya tidak
teliti.
Mengingat
Pak Badar juga menulis sajak dan kerap diudang membacakan sajak, maka permainan
berupa bunyi di setiap cerpen juga mengambil peran. Bukan sebagai pelengkap
tetapi terintegrasi sehingga permainan melalui struktur kisah begitu
mengasyikan.
*
Pernah
tayang di https://pustakabergerak.id/artikel/mengeja-permainan-badaruddin-amir
Komentar