Kota Digeledah dalam Senyap

Dokumentasi: Kamar Bawah, 2020


Dalam kurun limabelas tahun terakhir, apakah pernah mendengar masalah kota di Makassar akibat minimnya akses petani, terancamnya hutan nipah, dan peran para pemulung. Saya menandai tiga topik ini di buku dwi bahasa: Kota Diperam dalam Lontang-City Soaked in Drinking Stall yang merangkum hasil penilitian enam peneliti.

Para peneliti ini disatukan dalam program Anak Muda dan Kota yang diinisiasi Tanahindie. Program berlangsung dari Januari hingga Juli tahun 2018. Rentang waktu yang lumayan panjang itu memungkinkan bagaimana para peneliti masuk lebih dalam ke dunia subyek yang diamati.

“Saya butuh waktu sebulan melakukan pendekatan ke salah satu keluarga pemilik lontang di Pampang,” ujar Wilda ketika berjumpa di Kampung Buku beberapa bulan lalu. Wilda Yanti Salam, salah satu peniliti yang mengambil peran dengan menyelam dalam kehidupan pangebba, sebutan profesi untuk pembuat ballo (tuak) dari nipah.

Di laporan penelitiannya, ia tidak mengambil jarak dan menempatkan suara pangebba sebagai orang pertama. “Namaku Asri. Saat ini saya berumur 43 tahun, orang asli Paropo yang pendiam dengan tubuh kecil dan rambut keriting…..” Mulanya saya pikir penggunaan sudut pandang pertama di awal kalimat merupakan kekeliruan, tetapi hal itu memang pilihan sadar karena di bagian lain suara Jung, istri Asri, juga dijadikan penutur orang pertama. Wilda menempatkan dirinya sebagai perwakilan saja dalam menuliskan sekelumit kisah Asri dan keluarganya.

Anwar Jimpe Rachman selaku editor, dalam catatan pengantarnya menerangkan jika hasil keenam peneliti tersebut dirangkum bersamaan dengan hasil residensi yang juga digelar Tanahindie yang tertarik dengan dunia seni, fokusnya adalah fotografi, audio, dan videografi. Sebuah program terpisah dari Anak Muda dan Kota tetapi meneroka hal yang sama yakni: Kota Makassar.


Bertani dalam Kota

Wajah Makassar yang kerap ditatap tentu saja kemacetan sebagai konsekuensi logis dari bertumbuhnya infrastruktur kota. Manusia memiliki keluhan yang sama mengenai hal ini, termasuk pemangku kebijakan itu sendiri. “Jangan lewat jalan itu, nanti terjebak macet” sebentuk peringatan kolektif yang bisa langsung dipahami.

Sebenarnya, penggambaran wajah kota seperti itu adalah defenisi yang buruk. Namun, sekaligus itu yang senang dilakukan untuk terus mengabarkan perubahan kota dari waktu ke waktu. Model pembangunan yang terjadi terus dilakukan untuk membedakan identitas dengan lokus wilayah yang lain. Desa, misalnya, yang tidak perlu bergegas agar definisinya setara dengan kota.

Imajinasi kota berasal dari atas. Di Makassar, dalam kurung waktu 15 tahun terakhir sejak pemerintahan Ilham Arief Sirajuddin (IAS) (2004-2014) yang kemudian dilanjutkan Mohammad Ramdhan Pomanto (Danny Pomanto) (2014-2019). Pergeseran konsep imajinasi dari Kota Dunia yang didengungkan IAS, ke Kota Lorong dalam konsepi Danny Pomanto, pada dasarnya setali tiga uang. Wajah kota Makassar masihlah tafsiran vertikal yang melahirkan gap struktural kelas sosial.

Berdasarkan data yang dirilis Bada Pusat Statistik periode Agustus 2019, Kota Makassar menampung 17 persen penduduk di Sulawesi Selatan, tertinggi di antara 23 kabupaten/kota yang lain. Membaca statistik tersebut bukanlah hal menakjubkan, malah, angkanya bisa terus naik.

Lalu, bagaimana Makassar memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang melimpah? Dari mana datangnya beragam jenis pangan yang tersebar di sejumlah pasar? Apakah Makassar yang luas wilayahnya 17.577 hektare memiliki lahan pertanian? Jika ada, mengapa hal itu tidak pernah menjadi imajinasi pembangunan?

Achmad Teguh Saputro Z, melalui penelitiannya, Para Penggembur Lahan-lahan Titipan,  mengulik kiprah Sitti Nur, perempuan paruh baya kelahiran 1972 yang mengelola sawah di Kompleks Panakkukang Indah atau lebih dikenal BTN CV Dewi.

“Selama ada ini kompleks, saya yang garap. Tapi bukan tanahku, tanahnya orang.” ucap Daeng Sitti, demikian ia disapa. Achmad mengungkapkan praktik pertanian mandiri–bahkan, seorang diri yang dilakoni Daeng Sitti dengan lahan milik seorang dokter bernama Aswin.

Berbekal lahan titipan itulah Daeng Sitti mencukupi kebutuhan pangannya sebagai warga kota. Lahan yang tidak ditinggali pemiliknya itu sebelum digarap menjadi sawah oleh Daeng Sitti, merupakan tempat pembuangan sampah oleh warga.

Tanah titipan berukuran 30x30 meter itu menghasilkan 10 karung ukuran 25 kg gabah atau bisa mencapai 4 sampai 6 karung 25 kg beras. “Dari hasil panennya itu, biasanya Daeng Sitti menyimpan dua karung beras untuk keperluan pribadi dan keluarganya, sisanya ia bagikan ke kerabat dan tetangganya.” tulis Achmad.

Praktik serupa dijalankan Daeng Siama, ayah tiga anak dari Jeneponto yang merantau ke Makassar di tahun 2009. Ia mengolah lahan sekitar satu hektare lebih milik seorang developer perumahan. Sebelum menanam jagung, Daeng Siama pernah mendapat penghasilan memadai dari cabai rawit yang mengalami kenaikan harga di tahun 2017 dengan kisaran harga mulai dari 50 ribu/kg hingga mencapai 90 ribu.

Daeng Siama lalu beralih menanam jagung setelah tanaman cabainya itu diserang hama. Hasilnya, pernah mencapai kurang lebih 1 ton. Jagung itu diolah untuk selanjutnya dijual di toko pakan ternak.

Makassar bukannya tanpa lahan pertanian, data menujukkan luasan sawah 2.636 hektare tersebar di tujuh kecamatan. Begitupun dengan lahan perkebunam seluas 1.016 hektar yang terangkum dalam enam kecamatan.


Sampah Kota

“Ada rantai kehidupan yang saya sadari ketika itu. Kota dan kita mengalirkan sampah dan buangan ke sana, ke sungai itu. Pohon-pohon nipah lalu menyaring dan memeram segala macam buangan yang teramat busuk itu, …” tulis Anwar Jimpe Rachman dalam pengantarnya.

Di luar dari fungsi nipah yang diperam para pangebba, ada fungsi ekologis yang terus bekerja guna menyeimbangkan alam. Rimbunan nipah itu, barangkali saja, dianggap pohon endemik tidak berguna yang belum teresentuh peta pembangunan. Lambat laun, alih fungsi lahan akan memangkas akar terakhirnya dan sisa kita nikmati wujudnya dalam romansa lukisan bergaya mooi indie atau mengenal nipah dalam bentuk lain, sebagai nama pusat perbelanjaan, umpamanya.

Wilda tidak hanya menggeledah kehidupan pangebba, tetapi juga proses menghadirkan tuak hingga bisa dinikmati di lontang, kedai minum tradisional yang menjadi ruang berinteraksi melepas penat dan menghambur kisah pelik hidup yang dijalani seharian.

Mungkin saja, mereka yang saban malam duduk di lontang menikmati tuak tidak menyadari kalau aktivitasnya itu punya andil dalam mengurai sampah kota. Jika tidak ada mereka, tentu saja hasil memeram batang buah nipah hasil kerja keras pangebba tidak tersalurkan. Dan, para panggebba tidak lagi merawat hutan nipahnya atau, menjualnya saja dan areanya dijadikan lahan pemukiman. Jika sudah terjadi demikian, maka rantai kehidupan (kerja ekologis) pohon nipah memeram segala buangan sampah yang mengalir di sungai tidak terjadi.

Seturut dengan itu, peran pemulung juga tak bisa diremehkan dalam mengurai sampah. Rusli, dalam penelitiannya yang dijuduli: Pemulung Tiga Generasi, Rusli mengajak kita memasuki kehidupan Asni Daeng Bollo, pemulung yang menggunakan becak bersama anaknya, Melisa yang kerap menyusuri jalananan kota memunguti sampah botol plastik. Ia tidak sendiri, dalam sebuah lahan kosong, suaminya, Daeng Bani dipercaya menjaga tanah berstatus sengketa itu untuk dijaga dan ditempati asal tidak membangun rumah permanen. Keluarga yang tinggal di situ masihlah sanak Daeng Bani dan semuanya mengampuh hidup dengan memulung.

Kerja senyap para peneliti ini menyiratkan satu asa kalau kota tidaklah berwajah tunggal. Sesuatu yang jarang, atau bisa saja tidak mendapat perhatian khusus para pemangku kebijakan. Kini, Makassar kembali riuh di balik proses pemilihan Walikota. Dalam kalender KPU, Makassar dan 11 Kabupaten/Kota lainnya di Sulawesi Selatan bakal menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak pada 9 Desember 2020 ditengah Pandemi Covid 19.

Di balik kerja politik elektoral lima tahunan itu kita menyaksikan bagaimana sorak bergemuruh mempertaruhkan tokoh-tokoh yang nantinya memeram kota dan menghasilkan tetesan kebijakan untuk kepentingan pembangunan yang justru, menyingkirkan komunitas warga yang tidak masuk dalam daftar imajinasi mereka.

*

Pernah tayang di https://pustakabergerak.id/artikel/kota-digeledah-dalam-senyap

Komentar

Postingan Populer