Bapak dan Anak Lelakinya


Dika dan buku bacaannya

Buku kecil legendaris tentang siksa neraka terselip di antara tumpukan mainan. Saya pikir sudah lama berada di sana, saya mengukur interpal waktunya dari tempelan debu di sampulnya. Baru sore itu, kira-kira tiga bulan lalu saya melihatnya.

Waktu berlalu.

Komik Siksa Neraka di tempat mainan

Di meja ruang tamu di rumah mertua, saya kembali melihat dua buku tipis seperti buku siksa neraka, Legenda Kelas Malam dan Misteri Boneka Maria, demikian judul di sampul. “Buku ini dari mana,” gumamku. Melihat isinya, teks hanya sedikit dan terdapat gambar yang menjadi pelengkap. Gambar dan teks saling mendukung untuk menyampaikan pesan.

“Buku ku itu,” Dika menyahut setelah melihatku membolak balik halaman.

“Dapat dari mana,” saya membalas.

“Beli ka di sekolah,”

“Di sekolah?”

Iye,”

“Guru yang menjual?”

“Bukan, saya beli di Mas,”

“Harganya berapa,”

“Dua ribu,”

“Untuk apa dibeli,”

“Ya, untuk dibaca,”

‘Oh,”

Saya lalu memintanya menjelaskan isi buku-buku itu. Menyimak penjelasannya, rupanya buku itu memang dibaca. Ia mampu menjelaskan topik bahasan buku. Ketika saya tanya kenapa beli buku-buku itu. Padahal di rumah ada buku bacaan anak-anak.

“Mau ki tahu ki isinya,” jawabnya.

“Kan isinya bikin takut,”

“Itu mi yang bikin penasaran ki,”

­_

Total sudah ada tujuh buku yang ia beli. Kini, Dika sudah duduk di kelas tiga. Usianya tujuh tahun sekian bulan. Seingat saya, sejak masih duduk di TK, ia sudah bisa menuliskan abjad namanya di kertas, di tanah, atau di tembok rumah. Semua berjalan dinamis saja. Saya juga baru tahu kalau ia sudah kelas tiga. Saya memang tidak terlalu peduli dengan sekolahnya. Ia lebih banyak tinggal di rumah neneknya. Dalam sepekan hanya dua kali menginap di rumah, itu pun kalau terlihat bosan, ia akan meminta diantar pulang ke rumah neneknya meski sudah pukul sepuluh malam.

Koleksi bacaan misteri (minus buku siksa neraka)

Emaknya bilang kalau Dika dibekali uang jajan sepuluh ribu tiap ke sekolah. Kadang lima ribu kalau masuk siang. Sepulang sekolah ia akan meminta uang jajan lagi yang nilainya variatif. “Anak ta itu kuat sekali belanja, kalau dihitung, bisa 30 ribu sehari,” emaknya pernah berujar seperti itu.

Saya mengangguk saja mendengar penjelasan itu.

Aktivitas saya dan emaknya Dika tidak mendukung untuk selalu menemani anak. Perjumpaan saya yang jarang dengan Dika sejak tujuh tahun lalu terus berlanjut hingga sekarang. Dulu, ketika kerja di Makassar, saya pulang sekali sepekan. Kini, setelah bisa pulang pergi dari Maros ke Pangkep, rupanya waktu luang bersama Dika tak juga begitu lekat. Ia sudah bisa memilih di lingkungan mana yang disenanginya dalam sehari. Pilihannya tentu saja di rumah neneknya.

“Bagus di rumah nenek, tidak pernah ki dilarang-larang,” ucapnya suatu hari.

Konon, anak lelaki lebih dekat dengan emaknya. Saya juga merasakan itu. Dika baru akan menginap di rumah jika emaknya datang setelah tiga hari tiga malam menginap di sekolah tempatnya menjalani profesi guru di salah satu SMP di Barru. Hanya jika situasinya kompleks, ia harus menginap bersama saya di rumah jika neneknya sakit atau sedang menghadiri hajatan pernikahan di luar Pangkep.

Kembali ke soal menyisihkan uang jajan membeli buku tadi. Karena penasaran, suatu hari saya meluangkan waktu mendatangi sekolahnya tanpa sepengetahuannya. Saya mengikuti petujuk Dika kalau penjual itu akan datang sekitar pukul sebelas siang.

Waktunya saya kira tepat, di depan sekolah Dika ada jasa cuci motor, jadi sekali melangkah dua hal bisa saya lakukan. Sembari menunggu sepeda motor selesai dicuci, saya menyusuri lorong di samping sekolahnya dan menantikan aktivitas siswa keluar main menjumpai penjaja makanan dan mainan di luar pagar sekolah.

Jasa cuci motor depan sekolah Dika di Kelurahan Paddoangdoangang

‘Mas’ yang dimaksud Dika bukanlah perantau dari Jawa, penjual mainan itu, saya lupa namanya, masihlah orang Pangkep, ia tinggal di Desa Bulu Cindea, Bungoro. Ia mendapatkan barang jualan di Pasar Maros yang dibeli di tempat grosir kemudian ia ecerkan dari sekolah ke sekolah.

Penjual mainan

Beragam mainan ia jual seperti latto-latto, kwartet, dan jenis mainan lain yang disenangi anak-anak. Berbekal sepeda motor dan etalase yang dipasang di sadel, ia menerangkan jika hasil jualannya mampu mencukupi kehidupan keluarganya dengan penghasilan kotor sekitar 200 ribu sehari. “Kalau lagi mujur,” ia menambahkan.

“Kalau selesai di sini, saya menuju ke lapangan Bungoro,” ucapnya kemudian.


Teman sepantaran Dika memilih mainan

Lebih jauh ia mengisahkan kalau dulunya sewaktu bapaknya masih hidup, ia berjualan mainan dan pakaian dari pulau ke pulau. Rutenya menjangkau pulau-pulau di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara.

Dika tidak kaget ketika melihat saya bercakap dengan penjual mainan itu.

“Itu anak saya,” ucapku.

“Oh, pintar itu anak, lima ribu ji selalu na belanja,” ucapnya

Mendengar itu saya menyimpan kesimpulan yang perlu mendapatkan validasi lebih lanjut. Jika hanya belanja lima ribu di sekolah, sedangkan ia mendapat uang jajan sepuluh ribu. Sisanya dikemanakan. Terus, jajan lima ribu dapat apa saja. Jika harga buku dua ribu, tiga ribunya ia pakai membeli somai, bakso tusuk, atau es kemasan (Pop Ice) yang saya lihat sendiri waktu itu.

Dika minum Pop Ice kemasan

Sebelum melihat saya sedang bercakap dengan penjual mainan, Dika lebih dulu menghampiri penjual makanan dan memesan Pop Ice yang dikemas ulang ke dalam plastik. Ia mengeluarkan uang sepuluh ribu dan mendapat kembalian tujuh ribu. Sambil menyedot minuman dingin yang seharusnya ia kurangi karena amandelnya bisa kambuh jika kebanyakan mengonsumsi minuman dingin, ia menghampiri penjual mainan dan melihat etalase mainan.

Sudami kubaca ini,” saya mendengar ucapannya itu sebelum melihat saya.

“Eh, Bapak, belum pa pulang jam begini,” ucapnya ketika melihatku ada di situ.

Ia berlalu ke dalam sekolahnya setelah kusampaikan kalau saya lagi cuci motor dan sebentar menjemputnya lagi di jam pulang sekolah.

Sepulang dari menuntaskan rasa penasaran itu, yang tinggal menjadi pertanyaan sisa uang belanja yang lima ribu. Padahal, menurut emaknya, Dika minta uang belanja lagi sepulang sekolah. Informasi lain dari tante dan omnya dari pihak emak, kalau Dika biasa belanja online menggunakan hape neneknya.

“Uang na tonji itu napake. Natabungi uang belanjana dari sekolah,” tutur omnya.

“Banyak uanna Dika, belum pi itu yang dikasih uang kembalian kalau biasa disuruh beli rokok sama kakeknya,” lanjutnya.

_

Komentar

Postingan Populer