Cara Lain Melihat di Balik Inggris Membantai Iran
![]() |
Sumber gambar di sini |
Timnas
Iran dan Inggris tidak sering bertemu. Seingat saya, kedua timnas juga tidak
pernah melakoni laga persahabatan (tolong diingatkan jika saya keliru). Karena
beda benua, satu-satunya ruang di mana mereka bisa bertemu tentulah di ajang
Piala Dunia.
Hasil
rounde pengisian laga di babak fase grup, kedua timnas berada di Grup B dalam
helatan Piala Dunia Qatar 2022 dan, hasilnya, pada Senin, (21/11). Inggris
membantai Iran dengan skor 6-2. Enam biji gol tidaklah mudah, apalagi dilakukan
dalam perhelatan Piala Dunia. Sebutan ‘membantai’ tentulah tidak berlebihan.
Di
balik wara wiri informasi yang singgah di kuping kita, kabar Inggris dan Iran
yang dikonsumsi adalah perseteruan kebudayaan. Meski statusnya di bawah
perseteruan AS-Iran, konflik Inggris-Iran tak kalah riuhnya. Bayangkan, hal ini
dimulai di medan sastra ketika Salman Rushdie menganggu kenyamanan otoritas
Iran dengan sebuah novel. Maksud saya, Rusdhie tidak secara khusus menulis
novel The Satanic Verses yang terbit di tahun 1988 itu sebagai sumbuh untuk
menyulut api di janggut para Mullah di Iran.
Lipatan
waktu kemudian menandakan jika novel itulah yang menjadi muasal lahirnya fatwa
mati yang dilontarkan Imam Khoemeini. Dampaknya, Rushdie hidup dalam
persembunyian sekian puluh tahun. Kontra hukum di Barat dan Timur mau tidak mau
menjadi legal wacana mengiringi situasi pelik ini.
Otoritas
Inggris tentu saja tak mau menyerahkan begitu saja nyawa warganya dipancung
hanya karena sebuah novel. Begitu juga dengan Iran yang memegang teguh otoritas
sebuah fatwa. Sampai di sini, tentu sangat kompleks mengurai status hukumnya.
Saya tidak mau memasukinya lebih jauh, prolog ini cukup untuk menarasikan jika
pangkal perseteruan Inggris-Iran yang akan dibahas lebih lanjut sudah
menyambungkan kabel ingatan melihat perseteruan lain Inggris-Iran: di medan
sepakbola.
_
Sepakbola
yang terus berkembang telah mengalami progresif pemaknaan baik dari denotasi
dan konotasi. Sepakbola lebih sekadar olahraga, itu sudah lama sekali terjadi
ketika permainan ini melintasi garis benua antar negara. Jalinan makna
konotasinya juga demikian. Di balik sepatu atau kostum yang dipakai Cristiano
Ronaldo atau Lionel Messi, umpamanya, tersirat kampanye untuk mendorong adanya
capaian yang dikehendaki oleh para orang-orang yang merancang di balik semuanya
itu.
Tetapi,
sepakbola tidak benar-benar berhenti menjadi permainan dan pertandingan. Sebab,
jika itu terjadi, maka selesailah segala perdebatan. Bagi atlet tak punya cara
atau panduan bagaimana melakoninya, penikmat (penonton) tak cukup bekal candu
menyaksikannya, dan orang-orang yang mengatur manajemen di balik sepakbola
kehilangan dokumen regulasi.
Segalanya
bisa terjadi, Timnas Inggris juga Iran menyadari betul hasil di balik
pertandingan. Selain perebutan tiga poin sebagai tabungan lolos ke fase
berikutnya. Kemenangan dan kekalahan adalah sisi mata koin yang menjadi peluru
untuk saling meledek. Menjadi senjata bagi otoritas Inggris dan Iran dalam
meneguhkan kejayaan di medan politik. Senjata itu lalu dikonstruksi sedemikian
rupa antar pendukung di luar otoritas kedua negara.
Kemenangan
timnas Inggris yang mencolok dalam laga kedua Piala Dunia Qatar 2022 itu adalah
kabar yang disaksikan dunia kalau Inggris mampu menaklukkan teluk. Sub kabar
lainnya hendak mengabarkan kalau Iran harus terbuka seperti Qatar yang
sama-sama berdiri di jazirah Teluk. Terbuka atas tatanan dunia yang terus
berubah.
Iran
dalam lini masa lima bulan terakhir tersudut dari banyak peristiwa yang
terjadi. Semuanya berpangkal pada ketatnya aturan negara membatasi kebebasan
warga. Namun, harus dilihat juga jika kebebasan yang dimakusdkan di situ adalah
kebebasan di balik jendela Eropa.
Tentu
Iran bergeming dengan konsep kebebasan ganda yang dialamatkan itu. Sebagai
negara mandiri, Iran punya panduan juga memaknai kebebasan dalam menjaga
stabilitas. Kemenangan revolusi 1979 yang diraih adalah fondasi bagi Iran
membersihkan asumsi kebebasan barat bermata ganda yang menjangkiti Iran di
balik kekuasaan yang digulingkan.
Jika
asuminya revolusi Iran melahirkan monarki Mullah yang menjadikan Iran tertutup
yang memangkas jalur kebebasan, termasuk sepakbola karena larangan bagi
perempuan ke stadion. Bukankah Inggris sejak dulu kala adalah monarki yang
berdiri kuat sembari menjalankan sistem demokrasi di balik selimut raja.
Menyudahi sistem politik masuk ke arena sepakbola, saya kira, sama saja
menggantikan sepakbola dengan permainan catur di mana atletnya (bidak) dapat
langsung dipegang dan diarahkan kemana harus melangkah.
Sepakbola
juga telah mengalaminya, karena itulah ada asosiasi dan menajamen yang bekerja
dan memilih pemain menggunakan mata pelatih yang ditunjuk. Kembali di balik
timnas Inggris membantai timnas Iran. Mungkin saja bentuk tamparan atau,
katakanlah balasan bagi Iran yang, sejak terbitnya fatwa mati bagi Rusdhdie di
dekade 80-an tetap berlaku dengan masih terjadinya incaran nyawa Rushdie yang
terjadi di New York pada 12 Agustus lalu.
Dendam memang tak pernah mati dan terus beranak pinak. Waktu tak kuasa menghentikannya. Jika tidak terbalaskan di waktu lampau, masa akan datang adalah ruang. Jika tidak ditunaikan di medan awal mula konflik itu terjadi, maka akan dilakukan di medan lain. Dan, sepakbola menyediakan tempat itu.
Komentar