Hidup Kadang Begitu dan Terkadang Hidup Ini

 


“Kenapa tidak pernahki kita update status, Kak,” seseorang mengajukan pertanyaan. Dua, atau, tiga tahun lalu. Mungkin sudah lima tahun. Lupa, persisnya. Saya menduga kalau itu mungkin, pertanyaan basabasi agar ia punya alasan mengajukan permintaan (bukan pertanyaan) sesunggguhnnya. Semacam pembuka saja. Tiga tahun mengenalnya, cukup memahami wataknya dan, selanjutnya, begitu pertanyaan itu mendapat respons, ia akan melanjutkan hingga tiba di waktu yang tepat mengajukan maksud yang sesungguhnya. Sebuah permintaan. Perintah, tepatnya. Hidup kadang begitu.

“Status apa!”

“Status WA.”

“Oh, bisakah!”

Eddd,,,ya bisalah. Ini contohnya, Kak!”

Sejak itu, rupanya, hidup kadang tidak begitu. Sungguh, dua atau tiga, atau, malah, lima tahun lalu itu saya benar-benar tidak tahu kalau aplikasi WhatsApp itu memiliki fungsi lain. Saat itu, saya pikir WhatsApp hanya pengganti peran SMS. Terkadang hidup ini.

*

“Kita bertemu dua jam lagi di Warkop biasa,” seorang kawan mengirim pesan lewat WhatsApp. Mungkin, tiga atau empat tahun lalu. Juga, lupa, persisnya. Tetapi, intinya, saat itu ia menawarkan proyek untuk digarap bersama.

Saya tidak membalasnya dan bergegas ke warkop yang dimaksud. Hingga segelas kopi tandas, teman itu tak juga muncul. Saya lalu meneleponnya beberapa kali dan tidak diterima. “Mungkin ia sedang di jalan mengebut sepeda motornya,” pikirku.

Dua jam belalu ia tak juga muncul. Saya meneleponnya lagi dan, kembali ditampik.

“Saya sudah di warkop sejak dua jam yang lalu. Kau di mana!” Saya mengirim pesan.

“Waduh, saya pikir tidak jadi, karena pesan saya tadi tidak dibalas,” balasnya.

“Subahanalloh,” balasku.

Sejak itu, saya selalu rajin membalas pesan yang masuk. Termasuk merespons percakapan di grup WhatsApp meski, sesungguhnya, saya tidak mengikuti isu percakapan. Paling tidak, menurut saya, ada tanggapan walau tidak nyambung.

Sama dengan, ketika ada teman merencanakana janji lagi. Saya menyampaikan di awal kalau saya bisa dan menolak jika memang tidak bisa menyanggupi. Mungkin itu pesan moralnya. Rupanya, pertemanan yang kental tak juga membawa pada saluran yang sama dan berakhir salah kaprah. Hidup kadang begitu.

*

“Bapak, bangun, sudah jam delapan,” anak perempuan saya yang berusia empat tahun membangunkan.

“Bapak janji hari ini mau pigi mandi-mandi,”

“Iya, tetapi, bukan jam delapan pagi juga,” gumamku.

“Kapan pale, sebentar bilang lagi nda jadi,”

Apa! Apakah ia mampu mendengar gumamamku?

“Dulu juga begitu. Janji-janji terus,”

Syla, nama anak perempuan saya itu, di usianya menjelang lima tahun sudah bisa mengumpulkan ingatan. Itu alamiah saja. Anak-anak, sebagaimana manusia dewasa memiliki bekal pengalaman untuk dijadikan alasan agar tidak terjebak pada pengulangan. Hanya keledai bodoh yang terjatuh di lubang yang sama. Pesan pepatah. Tetapi, benarkah keledai sepandir itu. Apakah dalam semesta hidup keledai penuh lubang dan tidak ada pilihan lain.

Jika penisbatan ‘bodoh’ merupakan pelajaran kalau ada keledai tidak pernah belajar dari pengalaman. Lalu, bagaimana dengan manusia. Mengapa manusia menjadikan keledai sebagai alegori. Mengapa bukan buaya, misalnya. Atau monyet. Kan bisa saja digubah: hanya monyet bodoh yang jatuh dari ranting yang sama. Hanya buaya bodoh yang termakan tipuan kancil berulang kali. Hidup adalah pengulangan, memang, terkadang hidup seperti itu. Perumpamaan kadang menggiring ke dalam zona nyaman. Hasilnya zona nalar tidak berfungsi.

Apakah ini alam ide yang  tertukar. Suatu ketika di abad ke 5 Masehi, seorang warga Yunani bernama Plato mengumumkan kalau jiwa manusia berdiri sendiri. Berada di semesta yang lain. Sudah ada sebelum raga manusia ada. Keduanya baru menyatu di alam material ketika raga hadir. Nah, di sini, apakah ada peluang alam ide itu tertukar? Sebagai contoh, alam ide Elon Musk, bukan, kita cari sosok yang lain saja. Anggaplah Kurt Cobain. Ini contoh saja. Apakah alam ide yang menemani masa hidup pendiri band grunge, Nirvana itu tertukar dengan alam ide Billie Joe Armstrong, vokalis Green Day.

Pengumuman Plato itu, sejauh ini masih terus diulang sebagai materi dasar dalam filsafat. Ia percaya kalau manusia dengan raganya yang muncul di alam materi dari bayi hingga dewasa hanya perlu berjumpa realitas yang tepat untuk menemukan kembali alam idenya. Pengalaman indrawi adalah jalan menuju ke sana. Lalu, jika demikian, apakah kita hanya cukup berdiam di masjid saja untuk memperkaya pengalaman indrawi agar alam ide “religius” ditemukan kembali. Kering sekali ya pengalaman hidup ini jika hanya demikian. Seperti ide Plato itu. Namun, hidup kadang begitu. Maksud saya, kadang ada orang hidupnya begitu atau menganjurkan hidup seperti itu meski tidak pernah mendengar pengumuman dari Plato.

Akh! Ini sedang bahas apa. Tetapi, terkadang hidup ini harus begitu dan begini.

Komentar

galang mengatakan…
subhanalloh. ada lagi tulisan yang bisa dikomentari.

ingat sekali. meski kebanyakan orang posting kesuksesan/prestasi di grup, kak daus ar ini langsung berkomentar singkat meski dengan stiker: mantap tawwa. hal kecil tp sangat berdampak.

Postingan Populer