Betapa Sepak Bola Bukan Sekadar Permainan



Hingga sekarang masih sulit menerima jika sepak bola merupakan temuan orang Inggris, asumsi ini sering kali berakhir sebagai klaim penemuan yang, kadang berakhir meme untuk menunjukkan respons betapa sepak bola tak ingin pulang ke kampung halamannya sejak 1966. Tapak ketika tim Tiga Singa merengkuh tropi Piala Dunia. 

Selebihnya hanya berakhir sebagai industri. Premier League menjadi teater impian semua pemain untuk berlaga di Britania Raya. Itu pun, di satu sisi semakin meneguhkan jika “ibu” sepak bola tak kuasa menarik perhatian dunia tanpa kehadiran pemain teater dari seluruh dunia mentas di panggung. Baik, kita sudahi ini sebagai prolog singkat tentang betapa sepak bola tak sekadar permainan.

Sulitnya menyepekati asal usul sepak bola sudah menujukkan legitimasi atasnya tak memiliki pusat. Konsep dasar permainan ini tumbuh berkembang sesuai situasi melatari di masa lalu. Di tiap tikungan sejarah dan di tiap komunitas bangsa selalu memiliki klaim sejarah yang mengarah ke muasal permainan ini

Lihatlah, bagaimana Argentina dan Brasil mendekatkan olahraga ini tak jauh dari tarian rakyat. Tango dan Samba, dua produk kebudayaan yang hanya tumbuh di sanubari masing-masing warga dua negara itu. Ini baru satu titik permulaan, sepak bola lalu berkembang menjadi ruang perjuangan komunitas. Jejaknya bisa dilacak dari peristiwa lampau hingga kontemporer.

Persis di wacana itu, buku ini menjabarkan rentetan peristiwa di balik sepak bola atau bagian dari perjuangan melalui sepak bola. Wacana dibuka dengan selaksa kisah pesepakbola paling diingat publik: Maradona.

Pada dasarnya tidak ada hal baru mengenai rentetan perjalanan karier Maradona, Fajar Harimurti hanya menulis ulang kisah si tangan tuhan yang mengencingi Inggris di Piala Dunia 1986 di Meksiko. Di dalamnya terkandung ode dan eulogi yang liris sehingga, sekali lagi, kita sepertinya betah mengeja kisah klasik Maradona.

Satu hal yang membedakan buku sepak bola yang mulai marak terbit dengan buku ini ialah, Fajar Harimurti memberikan ulasan panjang, meski terkesan menumpuk banyak peristiwa dalam satu ulasan judul, relasinya menjadi menarik karena satu fase temporal peristiwa di balik sepak bola menjadi terhubung.

Pengayaan data seperti itu tentu menjadi hal baru jika membandingkan sejauh mana para penulis sepak bola mencoba menghadirkan peristiwa di balik lapangan. Fajar, tentu memilih jalan berbeda dengan tulisan Shindunata, misalnya, yang mengupas sepak bola lebih ke dalam diri pemain. Walau, tentu saja, rel yang sudah ditapaki dan dibangun Shindunata benar-benar tak bisa lepas.

Begitu juga perpesktif sejarah yang menjadi nafas buku ini. Menengok referensi yang digunakan, Fajar Harimurti, menjemputnya pada sumber utama sehingga hal tersebut memberikan menunjukkan kepada pembaca mengenai adanya spekturm jejajah lebih luas.

*

Jarak kelahiran Zinedine Zidane dengan pertandingan perdana FLN, Front Pembebasan Nasional kemerdekaan Aljazair hanya 14 tahun yang berlangsung pada 9 Mei 1958 melawan timnas Tunisia. FLN menjadikan sepak bola sebagai wajah yang lain dan juga respons atas pemerintah kolonial Prancis yang hendak memasyaratkan olahraga sebagai penetralisir pertentangan naisonalisme dan agama di tanah jajahan.

Mungkin itu pula kekeliruan strategi pemerintah kolonial Prancis yang tidak mencium bau pemberontakan rakyat Aljazair melalui sepak bola. Pada 1919, di Oran, kota pesisir di Aljazair telah berdiri liga amatir. Seiring waktu, ruang itu menjadi tumbuhnya klub sepak bola dengan aroma identitas yang kental. Rumusan dalam melawan tindakan represif ditandai dengan identitas untuk menegaskan kalau ada yang berlawanan. Aljazair yang muslim menjadikan itu sebagai perisai atas kolonial Prancis yang non muslim. Corak biner yang lazim muncul dalam bentuk perlawanan paling dasar.

Presiden pertama Aljazair, Ahmed Ben Bella, pesepakbola di masanya yang menolak kontrak dengan klub Olympique de Marseille. Satu nama lagi, Mohamed Boumzrag, pemain yang pernah membela Bordeaux, dialah membangun fondasi awal tim sepak bola FLN dan menjadi simbol bagi pemain Aljazair yang lainnya yang berlaga di Ligue 1 Prancis untuk mendukung kemerdekaan nasional.

Kisah FLN menunjukkan jalan terjal menuju kemerdekaan melalui sepak bola. Pada 1962 berlangsung referendum pertama. Hasilnya 17.866.423 orang mendukung kemerdekaan dan 1.809.074 menolak. Tentu, perjuangan ini bukan peran tunggal FLN semata, di tubuh Prancis, sayap kiri, setahun sebelum referendum giat mendukung demonstrasi menolak perang yang berlanjut hingga tahun 1962, tahun referendum kedua digelar.

*

Kisah yang tidak biasa yang diceritakan kembali lewat buku ini, merekam juga sepak bola yang justru, dibatasi dan sama sekali bukan media perjuangan. Di Iran, sepak bola hanya untuk lelaki dan, perempuan, dibatasi aksesnya walau hanya untuk menonton.

Menyukai sepak bola juga menjadi perkara di Taliban dan di Indonesia, tepatnya di Aceh, sepertinya berlaku sama. Tak hanya di negara yang menempatkan syariat sebagai cermin utama moralitas.

Di Inggris sekalipun, sepak bola perempuan dibatasi dan sengaja dibiarkan mati perlahan. Fase kematian itu terjadi ketika perang dunia pertama berlangsung, klub sepa bola perempuan di Inggris digiring memasuki pabrik amunisi.

Hal inilah yang menujukkan mengapa sepak bola perempuan Inggris menjadi tim semenjana di palagan sepak bola perempuan, sebuah ironi yang diciptakan Inggris sendiri yang menyebut dirinya penemu olahraga paling popular ini.

*



Terdapat sepuluh topik pembahasahan dalam buku ini. Fajar Harimurti telah menuliskan kisah yang tidak biasa dari lapangan bola dengan penuh data yang memantik untuk melakukan pembacaan lebih lanjut.

Lalu, dari sepuluh kisah itu, mengapa kisah Maradona yang menjadi sorotan utama dan dijadikan judul buku lengkap dengan foto yang mengambarkan peristiwa perkenalan el Dios ke publik Napoli.

JJ Rizal yang membubuhkan pengantar memberikan perbandingan dengan upaya Michael Hart yang menyusun buku The 100: A Rangking of the Most Influental Persons in History pada 1978. Ia menempatkan Nabi Muhammad di urutan pertama. Pilihan itu mendapat protes dari pembacanya yang menuntut penjelasan. Mengapa bukan nabi yang lain sepeti Nabi Isa. Mengapa bukan tokoh sejarah yang lain. Newton, Einstein, Voltaire, atau Sang Budha, umpamannya.

Menurut JJ Rizal, pilihan Fajar menempatkan kisah Maradona di urutan pertama tidaklah menimbulkan badai tanda tanya bagi pembaca.

“…ia adalah gambaran sebuah peradaban jika merujuk pada Ayn Rand sebab sepak bola menjadi medium proses membebaskan manusia dari manusia.” Tulisnya.

Kedatangan Maradona ke Napoli telah memulihkan martabat orang Napoli yang sekian tahun dihinakan sebagai kelas paria di kawasan selatan Italia. Satu Scudetto dan Trofi Piala Italia sudah cukup meningkatkan harkat orang Napoli karena itu Scudetto itu menjadi yang pertama.

*

Komentar

Postingan Populer