Purbasangka Atas Sepak Bola Afrika

Laga pembuka Grup F Piala Afrika 2021 antara Tunisia kontra Mali di Stade Limbe, Kamerun, Rabu (12/1). Sumber di sini

Kita mengenal sejumlah nama pemain dari benua Afrika melalui tayangan pertandingan liga sepakbola di Eropa. Dari sekian nama itu, beberapa menjadi pemain penting di klubnya. Industri sepak bola menjadi lapang bagi para agen membangun kontak dengan pemandu bakat di Eropa.

Hubungan keduanya: agen dan pemandu bakat ini baru permulaan. Selanjutnya ada lagi pintu lain hingga seorang pemain mendapat kontrak bermain. Sepintas mudah saja. Namun, apa yang nampak biasa ini tentulah mengandung jalan berliku.

Franklin Foer mengisahkan perjalanan Edward Anyamkyegh, pemain asal Nigeria yang berusaha menembusi liga top di negara Eropa Barat. Melalui bukunya, Memahami Dunia Lewat Sepak Bola (Marjin Kiri: 2017). Edward, pemain asal Nigeria itu tak pernah benar-benar meneken kontrak dengan salah satu klub di Eropa Barat.

Ia, dalam kisah Foer, hanya sampai di Eropa Timur. Namanya tercatat sebagai penyerang di klub FC Karpaty Lviv, Ukraina hingga musim 2001-2003 dan berpindah ke sejumlah klub yang lain di Finlandia (Eropa Utara). Kehadiran pemain dari benua Afrika di Eropa di satu sisi merupakan jaminan merengkuh titel juara. Terkhusus di Ukraina, booming pemain Nigeria adalah ceruk pasar tersendiri.

“Klub yang tak punya orang Nigeria di dalamnya dianggap tidak serius sebagai klub,” tulis Foer. Meski telah mengantongi kontrak resmi, hubungan pemain dan klub tak melulu soal jaminan prestasi. Di balik klausul kontrak ada akumulasi kapital.

Hubungan demikian inilah yang kembali mengingatkan relasi tak bebas nilai. Negara-negara di Afrika dalam sejarah merupakan praktik kolonialisme negara Eropa. Dari Eropa, konsep kemanusiaan dirumuskan bagi warga koloni. Modernisme, cap stempel yang dibawah kolonialisme hadir dan menjadi tujuan.

Silau modernisme di Eropa juga temporal dan hal itu dirasakan pemain Nigeria yang hendak beradu nasib. Gelombang perpecahan pasca runtuhnya komunisme Uni Soviet memulai babak baru lahirnya negara identitas.

Merujuk pada kesamaan etnik dan kesamaan nasib. Ukraina, sebagaimana negara pecahan Uni soviet yang lain tumbuh menemukan identitas kebangsaan. Mereka ingin setara dengan negara modern lain di Eropa Barat. Situasi sejarah ini menunjukkan jika di jantung kolonialisme juga mengalami pergolakan dari dalam.

Eropa Timur dan Barat menunjukkan identitas yang berujung pada persaingan dalam menguasai narasi sepak bola. Tentu saja, sejauh ini negara di Eropa Barat yang masih mendominasi. Situasi yang juga dirasakan oleh pemain dari Afrika, tak terkecuali Edward.

Apa yang dirasakan pemain Afrika di Eropa tak sepenuhnya berjalan mulus. Menguatnya paham populisme kanan menjadi sumbu yang terus menerus menghidupkan mitos puncak peradabahan kaum kulit putih berimbas ke lapangan.

Pemain asal benua Afrika atau keturunan yang bahkan, bila si pemain sudah berpindah negara, ancaman rasisme terus menghantui. Ada banyak contoh mengenai kasus ini. Salah satunya yang paling diingat publik ialah yang dialami Baloteli. Rasisme yang turut dibawa kolonialisme ke negara jajahan di Afrika terus ada hingga sekarang. Edward juga mengalaminya dalam klub yang dibelanya di Ukraina.

Ketika negara-negara Afrika sudah merdeka dari kolonialisme, purbasangka rasialisme tak kunjung mereda. Ini ironis dengan kebutuhan industri sepak bola Eropa yang menghendaki pesepakbola dari Afrika menjadi bagian infasrtruktur dalam klub.

Jelajah kolonialisme juga menjangkiti Amerika Selatan dan Asia. Tetapi, perlakuan atas sepak bola Afrika menempati titik mundur. Malah, hal ini berlanjut pada kompetisi antar negara Afrika. Eropa yang mempekerjakan pemain dari Afrika sepertinya tak memandang penting Piala Afrika yang digelar pada Januari tahun ini.

Sikap ini ditunjukkan bagaimana Eropa melihat gelaran ini berbeda dengan Piala Eropa atau Piala Dunia, umpamanya. Mulai dari emohnya manajemen klub melepas pemain yang dikaitkan dengan horor Covid 19 varian Omicon hingga ancaman keamanan karena gelaran ini digelar di Kamerun. Dikutip dari Kompas.Com, salah satu lokus pertandingan berada di Limbe, di kota ini, di wilayah Buea mengalami pemberontakan kamu separatis.

Sebastien Haller geram ketika ditanya awak media di Belanda terkait kesediannya membela Pantai Gading di Piala Afrika. Haller mengajukan pertanyaan ulang jika situasi seperti ini apakah pernah ditanyakan kepada pemain Eropa ketika akan digelar Piala Eropa.

 

Sikap CAF

Badan konfederasi sepak bola Afrika, Confederation Africane de Football (CAF) jauh hari sudah memberikan sinyal melunak kepada manajemen klub yang mengontrak pemain asal Afrika. Kelonggaran kebijakan CAF memberikan angin segar karena batas bermain memperkuat klub sampai 3 Januari, tujuh hari menuju pembukaan Piala Afrika yang dimulai pada 9 Januari 2022.

Sikap melunak CAF karena terjadinya perbedaan pandangan dari induk sepak bola dunia, FIFA yang melihat jadwal Piala Afrika bersamaan dengan kompetisi klub Eropa.

Padahal, jadwal Piala Afrika sudah ditunda akibat Pandemi Covid 19. Jika merujuk pada jadwal, Piala Afrika seharusnya digelar pada Juni hingga Juli tahun 2021. Hanya saja, penundaan Piala Eropa dan Copa America edisi 2020 dan baru digelar pada 2021 menjadi alasan mengesampingkan Piala Afrika.

Pangkal perubahan yang melahirkan benturan jadwal ini sesungguhnya terletak pada situasi Pandemi Covid 19. Jika pun tidak digelar pada tahun ini, maka benturan jadwal juga bakal membayangi seperti Piala Dunia 2022.

Samuel Eto’o yang kini menjabat Presiden Federasi Sepak Bola Kamerun kukuh pada pendirian mengenai gelaran Piala Afrika dengan sikap pemain Afrika yang masih aktif, ia tak habis pikir mengapa sepak bola Afrika selalu dipandang sebelah mata. “Jika kembali ditunda dengan alasan bersamaan dengan jadwal kompetisi klub di Eropa itu semakin tidak membawa keadilan bagi tim Afrika,” ungkap Eto’o sebagaiman dikutip dari sportdetik

Nalar kolonialisme yang selalu mencurigai gerak-gerik bekas negara koloni yang dianggap tak mampu berdikari kembali hendak mendikte gelaran sepak bola. Namun, rupanya, itu tidak menjadi penghalang. Gelaran Piala Afrika tetap digelar di tengah ancaman dan kekhawitran industri sepak bola Eropa dan, kini sudah sampai pada putaran 16 besar.

Komentar

Postingan Populer