Hikayat Sepakbola Indonesia di Asia Tenggara
Tinggi
Messi yang 1,69 m itu sepertinya tidak berdiri dan duduk sama tinggi dengan
pesepakbola yang lain. Asumsi seperti ini salah satu contoh bentuk spekulasi yang dapat
dijadikan alasan untuk dua hal. Pertama, motivasi jika pesepakbola itu
tak mesti tinggi. Kedua, asumsi kalau gebyar person ini dibuat setelah
Messi hampir memenangkan semuanya.
Seperti
itulah sejarah pemenang ditulis dan diulang terus menerus sebagai tameng jika
satu periode si pemenang mengalami kegagalan. Hal yang juga dialami Messi, baik
ketika masih beseragam Barcelona atau bersama Argentina.
“Kemenangan
memiliki seratus ayah, tetapi kekalahan adalah yatim piatu.” Saya tidak setuju
dengan ucapan Jhon F Kennedy ini, sebagaimana ucapan lain yang sering
diglorifikasi. “Jangan bertanya apa yang negara berikan kepadamu, tetapi
tanyalah apa yang engkau berikan kepada negara.” Bagi saya ini ungkapan
berengsek jika terus dilafazkan di semua lini.
Cobalah
khotbai masyarakat adat di Papua atau di Kalimantan yang hutan adatnya direbut
perusahaan yang mendapat restu dari negara. Bisakah kita menibobokkannya dengan
nasihat Kennedy itu. “Apa yang telah engkau berikan pada negara. Hei,
sumbangsih kearifan hukum adat bukan hanya sebatas teritori negara. Kelestarian
ekologis yang dijaga turun temurun menjadi sumbangsih untuk dunia.
Lalu,
bagaimana jika nasihat itu ditujukan ke skuat timnas sepakbola Indonesia tiap
generasi. Situasinya tentu berbeda-beda.
Sejarah mencatat, PSSI terbentuk 15 tahun sebelum Indonesia memproklamirikan
kemerdekaan. Di dekade 30-an itu, perang dunia kedua sedang berkecamuk. Asia
Tenggara menjadi palagan perang yang dikuasai Kekaisaran Jepang.
Setelah
usainya perang, dan negara-negara di kawasan memproklamirikan diri menjadi
negara modern, hingga akhir dekade 80-an, negara Asia Tenggara belum juga
memiliki perayaan kompetisi sepakbola. Barulah pada 1996, perusahaan bir
Singapura, Tiger Beer mensponsori turnamen sehingga diingat sebagai Piala
Tiger.
Dari
rentang waktu 25 tahun gelaran yang diadakan sekali dua tahun itu, PSSI sudah enam
kali menengok final dan, enam kali pula takluk. Itulah cerita timnas sepakbola
Indonesia. Cerita ini bukan keseluruhan dari kisah PSSI, gelaran di Piala Tiger
yang kemudian berganti nama menjadi Piala Suzuki AFF itu hanyalah satu kepingan
dari narasi besar kisah perjalanan timnas. Seperti itulah kita mengenal
bagaimana timnas terus hidup.
Narasi
kekalahan ini akan terus diingat, alasannya tergantung pada konteks apa terus
diulang. Tentu tidak masalah. Di semesta kemenangan pun, narasi tak semuanya
mengisahkan seluruh pemain. Pele yang memenangkan tiga Piala Dunia itu
terlampau mubazir dituliskan kisahnya dan teramat menyepelekan Garincha.
Mungkin, karena Pele adalah “Raja” yang diam di negeri yang dipimpin tiran di
masanya.
Kekuasaan
cukup menginginkan satu tokoh pendiam pemersatu bangsa. Dan, Garincha tak perlu
ada dalam barisan dalam tokoh itu meski ia juga bagian sejarah kemenangan. Brasil
bisa menjadi contoh terbaik dari narasi kemenangan sekaligus menyisakan kisah
tragik tentang bagaimana sepakbola tak sekadar pertandingan.
Pada
dasarnya hampir semua kompetisi mengandung perangai citraan politik. Bukan
hanya Brasil, Argentina dan Italia pun demikian. Di balik kemenangan ada campur
tangan lain yang menjadi fondasi menuju kemenangan.
Kita
tinggalkan panggung dunia dan kembali palagan Asia Tenggara, final AFF 2010
lalu bisa dinggat kembali sebagai kepingan hikayat timnas sepakbola Indonesia,
di tahun itu merupakan final keempat. Kita menerimanya dan kembali memasukkan
ke dalam bab kekalahan.
Empat
tahun berselang, di tahun 2018, mencuat isu pengaturan skor di final 2010 itu.
Di acara Mata Najwa, tampil perwakilan skuat. Tak satupun yang mengakui,
mungkin tepat jika nasihat Kennedy ditanyakan. Para skuat di tahun itu telah
memberikan segalanya.
Kita
pun, penikmat sepakbola, sejak peluit panjang dibunyikan di laga final 2010 itu
sudah menerima kekalahan atas nasionalisme. Alasan abstrak yang dijadikan
tameng atas kesamaan nasib sebagai warga negara.
Tetapi,
bisakah nasionalisme terus menerus menjadi kesamaan nasib. Di balik dukungan
kepada timnas, harusnya dibarengi dengan penguatan yang dibutuhkan sebagai
atlet. Pelatih Shin Tae-yong mengumbar rahasia yang, sepintas tak ada kaitannya
dengan taktik bermain: kebutuhan protein pemain.
Pendekatan
sains dalam sepakbola bukan hal baru, apa hubungan kebutuhan protein bagi tubuh
hanya bisa dijelaskan lewat sains. Dan, sepakbola tak bisa menutup mata dengan
hal itu. Memangnya apa yang dilakukan manajemen Barcelona ketika berani
membiayai seorang anak yang mengalami kelainan hormon.
Di
balik pendekatan sains yang dilakukan manajemen Barceolan, bocah yang tetap
bertubuh pendek dibandingkan rerata tinggi pemain di Eropa itu telah duduk dan
berdiri tidak sama tinggi dengan pemain sepantarannya bahkan generasi
sebelumnya.
Hal
lain, ada pilhan magis di balik bakat alam, soal ini, saya kira, skuat timnas
sudah memenuhinya. Memang, hikayat tak melulu kisah manis (kemenangan)
infrasturktur kisah timnas masih terus hidup dan berlanjut.
_
Pernah dimuat di Tribun Timur edisi Selasa, 4 Januari 2022
Komentar