Simulakra Banjir

Jika mengingat kembali lumpuhnya lalu lintas di sejumlah titik jalan Trans Sulawesi, bisa dipacak pada 2012, peristiwa sepuluh tahun lalu itu menandai situasi komunal warga di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yang mengalami langsung kebanjiran. Ketika itu terjadi, sepuluh tahun lalu itu, ingatan warga tertuju pada situasi sebelumnya, menengok masa lampau yang tidak pernah terdampak banjir. ‘Baru kali ini rumah saya kebanjiran’/ ‘Baru kali ini jalan poros terendam.’ Kira-kira seperti itulah ekspresi keheranan mengalami peristiwa yang belum pernah dialami sebelumnya. Kini, setelah sepuluh tahun yang lalu itu dan ingatan banjir sudah merayapi ingatan kolektif warga, maka, keheranan itu sudah berubah menjadi kekhawatiran. ‘Mengapa banjir masih terjadi’/Mengapa luapan air semakin tinggi’. Asumi umum ini bisa menjadi perwakilan kekhawatiran. Pemukiman warga yang terdampak bukan lagi kawasan kumuh atau kawasan padat rumah sehingga bisa menggugurkan penilaian yang sejauh ini terawat jika banjir itu akibat ulah warga yang membuang sampah sembarangan. Cara pandang ini menyandarkan pada sampah yang berserakan dan tidak terkelola di kawasan kumuh atau rumah padat tersebut. Kini tak lagi, sebab perumahan kelas menengah hingga kawasan elite juga mengalaminya. Bahkan, kawasan kantor pemerintah tak luput dari luapan air. Lalu, dengan cara pandang apa menilai peristiwa banjir ini yang semakin tahun mengepung kawasan perkotaan di mana pengeloaan sampahnya bisa disebut sudah terkelola dengan baik, misalnya. Jika pengelolaan sampah atau, katakanlah, pengerukan hingga renovasi drainase sudah dilakukan, lantas bagaiman air bisa meluap. Cermin Simulakra Penyebutan dunia kita hari ada banyak, para sosiolog mengajukan nama postomodernisme, ekonom hingga kaum futuristik mengenalkan istilah disrupsi dan banyak lagi istilah yang lain. Dari definisi itu semuanya mengambarkan adanya gelombang perubahan. Lalu, siapa yang berubah? Pada posisi ini perlu melihat medan kekuasaan yang bekerja dalam memproyeksikan perubahan. Karena ini menyangkut turunan dampak paling akhir dari lingkungan, maka seperti apa perubahan atas lingkungan. Premis di awal hanya mengambil peristiwa sepuluh tahun ke belakang. Sepuluh tahun menujukkan dua kali suksesi kepemimpinan sirkulasi kekuasaan. Artinya, ada dasar melihat kembali skema perubahan atas keberpihakan pada pengelolaan lingkungan. Patok ini bisa dilihat pada visi misi Gubernur Sulawesi Selatan dan juga Walikota dan Bupati. Jika mau lebih spesifik, kita bisa kerucutkan pada kota dan kabupaten yang terdampak banjir akhir tahun ini. Kabupaten Pangkep, misalnya, sebagai salah satu wilayah yang kembali terdampak banjir tahun ini, salah satu misinya berbunyi: Meningkatkan tata kelola sumber daya alam berdasarkan perencanaan tata ruang wilayah yang berbasis lingkungan hidup yang berkelanjutan. Kita sederhanakan dulu, simulakra itu tidak berdiri sendiri, konsep yang dicetuskan Jean Baudrillard, pemikir dari Prancis itu menyebutkan dua kata kunci: simulasi dan simulakra dalam membaca hilangnya batas antara realitas dan non realitas. Sebagai contoh, bunyi salah satu misi Pemda Pangkep yang telah disebutkan di atas itu adalah simulasi. Jadi, ada upaya perancangan tata ruang berbasis lingkungan hidup berkelanjutan. Realitasnya adalah, tata ruang dan lingkungan di Pangkep yang telah lama mengalami eksplorasi, khususnya penambangan batu kapur (karst) rupanya belum dianggap sebagai realitas. Tiga bunyi: tata kelola sumber daya alam/perencanaan tata ruang/lingkungan hidup berkelanjutan ketika memasuki ruang kuasa hanyalah simulakara. Jadi, membunyikan tiga pokok isu dalam misi itu serasa lebih realitas ketimbang realitasnya itu sendiri. Hal ini sama halnya dengan situasi banjir. Menyangkut luapan air yang merendam sejumlah kabupaten, menghindari cara pandang fatalis dalam memandang banjir agar ulasan ini bisa menjadi landasan argumentatif, saya meminjam analisis Walhi Sulsel kalau banjir yang terjadi merupakan siklus akhir dari krisis iklim. Rumusnya ialah, curah hujan yang tinggi bertemu dengan rendahnya daya dukung lingkungan. Dua akibat tersebut: tingginya curah hujan dan menurunnya daya dukung juga merupakan dampak dari krisis iklim juga. Artinya, semua ini merupakan akumulasi aktivitas pembangunan yang tidak melihat aspek kebencanaan. Mengembalikan proyeksi pemerintah dalam simulasi perencanaan pembangunan yang dibangun sepuluh tahun sebelumnya hanyalah sebentuk trampolin. Visi misi yang diperkuat dengan regulasi menjadi mental. Tidak menancap dan hanya meloncat-loncat di tempat jika tidak ada ketegasan menyetop pembangunan yang justru merusak daya tampung lingkungan. Persis kita menyaksikan atraksi pemain sirkus yang melompat di atas trampolin. Matras lentur itu mampu mengangkat pemain sirkus melayang ke udara dengan akselerasi gaya memukau. Sungguh menghibur dan membuat takjib yang menonton. Demikian halnya dengung pembangunan proyeksi pembangunan tata kelola sumber daya alam berdasar perencanaan tata ruang dan berbasis lingkungan hidup berkelanjutan itu menemukan gaungnya. Realitas yang ada disemukan lagi dalam ruang simulakra. * Dimuat di Tribun Timur edisi Senin, 13 Desember 2021

Komentar

Postingan Populer