Menguak Horor Pelayanan Publik untuk Perempuan

Apa yang terlintas dari sajian film bergenre horor. Selain merangsang adrenalin purba soal ketakutan yang membuat bulu kuduk berdiri. Apakah cukup dengan itu saja, Ataukah ada hal lain yang bisa dijadikan mikrsoskop melihat lebih detail apa sesungguhnya motif di balik produksi film horor di Indonesia yang mulai tersusun di benak sejak dekade 60-an. Dari sekian banyak film horor itu, satu hal yang selalu tampil ialah adanya sosok perempuan yang teraniaya. Kita bisa ambil contoh sosok ikonik seperti sundel bolong dan kuntilanak sebagai personifikasi ‘setan’ berjenis kelamin perempuan. Sundel Bolong merupakan film produksi tahun 1981 garapan Sisworo Gautama dan diperankan Suzanna dan Barry Prima. Alur kisah film bertumpuh pada Alisa (Suzanna) yang diperkosa oleh majikannya dan hamil. Peliknya, Alisa sudah bersuamikan Hendarto (Barry Prima). Dalam kegundahan, Alisa menempuh jalan sunyi dengan bunuh diri. Selanjutnya arwah Alisa bergentayangan menuntut balas. Semua orang yang terlibat merusak kehidupannya, utamanya Rudi, sang majikan, dan anak buahnya mati. Selesai. Setali tiga uang dengan film Sundel Bolong, seri film ini sendiri ada banyak, sejak diproduksi tahun 1962 hingga tahun 2011 sudah sebelas judul film dengan segala perubahan situasi yang melatari. Yang paling menancak di benak publik dengan jumlah penonton terbilang tinggi tentu saja film kuntilanak yang disutradarai Rizal Mantovani dan rilis pada 2006. Hikayat kuntilanak hidup di Asia Tenggara dengan banyak versi, tetapi dengan kesamaan latar yang diyakini perempuan hamil yang meninggal bersama bayi dalam kandungannya, Ada juga versi mengatakan anaknya lahir selamat sehingga disebut juga ‘puntianak’ atau perempuan mati beranak. Narasi terbangun jika kuntilanak merupakan faktor eksternal yang menganggu manusia. Motif dasarnya mencari mangsa untuk diisap darahnya. Guna menghindarinya, manusia perlu awas dan tidak menyapa perempuan yang berjalan sendirian di jalan sunyi. Cara lain membentengi diri, khususnya bagi ibu hamil dengan membawa benda tajam seperti paku, pisau atau gunting agar bayi dalam kandungannya tidak dijamah kuntilanak. Lapis Waktu Gita Putri Damayana dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dalam tulisannya di The Conversation bertajuk ‘Pengabdi Setan’ dan Kisah Hantu Perempuan: Simbol Adanya Kekerasan Terhadap Perempuan. Membongkar mitos hantu perempuan dalam film horor. Baginya, kisah Sundel Bolong dan Kuntilanak adalah gambaran kekerasan yang dialami perempuan karena tidak adanya akses pelayanan penanganan kekerasan dan persalinan. Lalu bagaimana memaknai konteks film tersebut menjadi asumsi minimnya akses pelayanan bagi perempuan. Jika melihat tapak waktu produksi awal film dekade 60 dan 80-an, maka situasinya memang runyam mengingat masih pembangunan sistem politik di awal 60 an dan perubahan sistem politik yang terjadi setelahnya. Runtuhnya era Soekarno dan tumbuhnya Orde Baru hingga paruh akhir 90-an menemukan relasinya. Kita ketahui sistem Orde Baru yang anti kritik dengan trilogi visinya: pembangunan, stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi telah menjadi asas tunggal sehingga menafikan banyak aspek pembangun yang lain seperti pembangun sumber daya manusia, misalnya. Jadi, isu kekerasan yang dialami lapisan masyarakat bawah praktis bukan situasi nasional. Jika ini menguak maka visi stabilitas politik tidak berjalan baik. Ini baru garis umumnya saja, belum masuk pada isu spesifik kekerasan yang seringkali dialami perempuan baik di ranah privat maupun publik. Lantas, setelah Orde Baru menjadi masa lalu apakah kini ruang pelayanan publik bagi perempuan sudah berubah. Sepertinya tidak, data yang ditampilkan Gita merujuk pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS) justru mencengangkan. Satu dari tiga perempuan berusia 15 sampai 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual. Laporan terbaru pada Oktober lalu yang mengguncang institusi kepolisian tentang pengungkapan kekerasan seksual yang dialami anak di bawah umur di Luwu Timur, reportase Eko Rusdianto yang tayang di Project Multatuli itu berujung pada kontra informasi (dianggap hoax) hingga terjadinya hacker pada website. Hal ini menujukkan masih sempitnya ruang pengaduan kekerasan. Perempuan yang mengadukan kekerasan yang dialami dianggap tabu dan mempermalukan nama baik keluarga. Negara tentu keliru jika hal ini terus dibiarkan. Pelayanan publik bagi perempuan mendesak ditangani serius. Jika negara merasa kewalahan ada peluang kerja kolaboratif yang bisa ditempuh dengan melibatkan banyak pihak. Persoalan ini perlu didekati multi aspek dan multi stakeholder. Pelayanan publik bagi perempuan cakupannya bisa begitu luas, tetapi melanjutkan narasi sebelumnya tentang horor yang melahirkan tindakan kekerasan balas dendam yang ditempuh Sundel Bolong dan tragisme melatari lahirnya Kuntilanak, bukankah disebabkan karena abainya pelayanan publik bagi perempuan. Hal ini juga menyisakan pertanyaan besar tentang mengapa Sundel Bolong dan Kuntilanak justru membangun perlawanan ke person dan bukan ke instutusi negara. Apakah itu merupakan simbolisisasi jika negara tak bisa disentuh. Kita bisa mengandaikan jika Alisa dalam film Sundel Bolong melapor ke polisi dan mendapat penanganan penyelesaian kasus dan perempuan yang hendak melahirkan mendapat pelayanan standar reproduksi maka horor semacam ini tak perlu menjadi konsumsi publik. Data tahun 2015 tentang kematian ibu dari Kementerian Kesehatan mencatat angka 305 jiwa dari 100 ribu kelahiran. Mengulik data berdasarkan lokus wilayah di Indonesia tentu tidak ada habisnya. Pergerakan data yang mengalami probabilistik tidak ada gunananya jika aksi bersama membangun komitmen penanganan pangkal tidak dilakukan. _ *Dimuat di Tribun Timur edisi 17 Novemver 2021

Komentar

Postingan Populer