Buldan yang Mem-Bentang



Di medio 2002 hingga 2004, melalui jalur persekutuan buku di Makassar yang membangun pemukiman di Kampus I UMI Makassar di jalan Kakatua, tapak tahun itu, buku yang beredar didominasi terbitan Pustaka Pelajar, Mizan, dan sebagian kecil Bentang. Ini asumsi disandarkan pada pengalaman saja dalam membeli dan mengakses buku di beberapa toko buku. 

Ketiga penerbit itu menjadi simbol yang bisa menjadi pintu masuk membayangkan jenis buku apa saja yang dibaca dalam persekutuan. Sastra, khususnya puisi menempati level paling buntut. Dari penerbit Pustaka Pelajar dan Mizan tak pernah dijumpai ada buku puisi. Mungkin ada, koreksi jika keliru, tetapi tidak menjadi daftar bacaan.

Pada 11 Januari 2004, di salah satu buku yang sudah tutup di Jalan Sunu, saya menemukan buku puisi Darmanto Djatman, Golf untuk Rakyat terbitan Bentang (belum ditambahkan Budaya, logonya masih satu simbol B). Buku setebal 180 halaman yang harganya hanya 7.500.

Satu hal yang yang membedakan, di halaman kredit titel terbitan Bentang dituliskan siapa yang mendesain sampul dan siapa yang membuat ilustrasi. Di buku puisi Darmanto, gambar cover merupakan lukisan kaca Sulasno dan Buldanul Khuri yang mengerjakan sampulnya. 

“…Buldan, melalui Bentang, menempatkan desain sampul tak ubahnya sebuah karya rupa, dari objek visual, tipografi, huruf, tata ruang, maupun tampilan buku sebagai keseluruhan…,” tulis Dorothea Rosa Herliany dalam buku Buldan dengan Tiga Bukan. Buku ini turut dikirimkan Buldan ketika saya memesan dua buku yang diposting di akun Facebooknya.

Buku itu merupakan biografi kegilaannya mencintai buku melalui manifestasi penerbitan dan, ditulis penuh kebebasan oleh Rosa layaknya sedang menulis novel. Buku itu diterbitkan Mata Angin, lini penerbitan lama yang kini dihidupkan dan menjadi ruang baru bagi Buldan yang tidak kapok menerbitkan buku. Diceritakan dalam buku itu, Bentang Budaya dilepas (baca: kesepakatan) dengan Mizan dan menjadi Bentang Pustaka.

Sama dengan kekhasan terbitan Bentang, paduan rupa juga tersaji. Gambar sampul dikerjakan EddiE haRa, Fotografer oleh Bambang Tri Atmojo, dan desain sampul tetap Buldanul Khuri. Buldan dengan Tiga Bukan merujuk pada Buldan yang bukan intelek, Buldan yang bukan orang kaya, dan Buldan yang bukan seniman. “…tetapi dengan “tiga bukan” itu, ia mendirikan penerbit Bentang Budaya dan lainnya dan hingga kini, setelah 25 tahun, masih tetap menerbitkan buku,” masih tulis Rosa.

Menurut Rosa, Buldan merupakan tipe orang yang menjalani pekerjaan dengan senang hati, riang, dan gembira. Mungkin karena sejak SMP ia sudah mengakrabi buku. Sebenarnya, pada diri Buldan “tiga bukan” itu justru perwujudan sebagai intelek. Sewaktu SMP sudah menjuarai lomba penulisan dan menerbitkan buku puisi. Bersama kawannya menerbitkan antologi puisi bertajuk Di Bawah Lampu Mercuri.

Di puncak kejayaan Bentang, ia memiliki tiga rumah, tiga mobil, membiayai dirinya menghadiri Frankfurt Book Fair hingga menunaikan ibadah haji. Sebagai seniman, bukankah perwajahan sampul buku terbitan Bentang layaknya menghadirkan pameran di ruang publik. Ia juga, atas usulan Harry Ong Wahyu, mengambil mata kuliah desain komunikasi visual di ISI. Tetapi, memang, ungkapan “tiga bukan” itu berasal dari seseorang yang tidak disebutkan namanya. Mungkin juga, Buldan senang dengan labelisasi itu sehingga dibunyikan sebagai judul buku.

Lewat buku ini, saya kira, Rosa, yang buku puisinya, Kill The Radio diterbitkan ulang oleh Buldan melalui Mata Angin pada 2017, hendak menyampaikan kalau ada pekerja buku yang menolak hanyut dan larut dalam rimba industri. Bagi Buldan, menerbitkan buku bukan kerja industri melainkan kerja ibadah. “Buku harus memberi perubahan sosial,” kata Buldan.

Ada memorial yang mengenai buku penting terbitan Bentang, Rosa hanya memasukkan lima sesuai kategori buku alternatif, yang dimaksudkan Rosa di sini ialah buku bertemakan sastra, kebudayaan, sosial, dan humaniora di mana Bentang hadir di zamannya dan menonjol di era 90-an. Dari lima itu, saya memiliki dua di antaranya. Kumcer Saksi Mata Seno Gumira Adji Darma dan kumpulan esai Garin Nugroho, Kekuasan dan Hiburan. 


Kini, selain Mata Angin, ada juga Mata Bangsa, kedua penerbit ini kembali menegaskan Buldan selaku pekerja buku yang menolak selesai di usia tua. Ia terobsesi menerbitkan banyak ensiklopedia. Setelah usai “mem-Bentang” ia memata-matai melalui Angin dan Bangsa.

*

Komentar

Postingan Populer