Sesudah 2004 dan Sikap Kita Atas Kelola Bencana

Dok. Pribadi


Siang itu, Pak Syamsuddin, tuan rumah tempat kami tinggal selama dua bulan menjalani Kuliah Kerja Lapangan (KKLP), datang tergesa yang disambut heran oleh istrinya. Kami mendengar perbincangan keduanya kalau Pak Syam, demikian kami menyapanya, telah mendapat kabar kalau di Senggerang telah terjadi banjir dan longsor.

 

Mendengar itu, kami tentu saja melibatkan diri dalam perbincangan. Hujan yang mengguyur dari kemarin membuat aktivitas KKLP terhenti dan lebih banyak berdiam di rumah. Pak Syam sudah menghubungi sejumlah warga untuk mengunjungi Senggerang. Ia mengajak kami untuk ikut. Nampak mobil truk tiga perempat milik kelompok tani sudah siap. Namun, siang itu urung kami berangkat setelah terjadi rembukan pendapat. Hujan yang terus mengguyur yang tentu memengaruhi medan yang akan dilalui. Akhirnya rencananya ditunda esok pagi.

 

Sepanjang malam, kami berusaha mendapat informasi tambahan dengan mengirim pesan pendek ke sejumlah kerabat. Tetapi, sayang, buruknya signal di Desa Tompobulu, Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan tempat kami menjalani KKLP tak memenuhi keinginantahuan kami.

 

Kami tentu tidak mengira dan sulit membayangkan bagaimana banjir bandang terjadi di wilayah pegunungan. Senggerang, lokasi bencana, masuk dalam wilayah Kelurahan Balleangin, Balocci. Wilayah ini merupakan pelintasan akhir sebelum menuju Desa Tompobulu yang berada di ketinggian di kaki gunung Bulusaraung.

 

Di sepanjang bencana alam yang pernah terjadi di Pangkep, banjir bandang di Senggerang itulah yang paling membekas di ingatan warga. Salah satu korban merupakan senior di kampus STAI DDI Pangkep. Rumahnya hanyut tersapu air bah. Jumain, nama senior kami itu sendiri meregang nyawa bersama istrinya yang sedang hamil. Sungguh miris.

 

Di pagi hari ketika saya bersama rombongan warga dari Desa Tompobulu tiba di lokasi, suasana sudah ramai sekali. Rombongan langsung berinisiatif melakukan tindakan membersihkan area. Sejumlah batang pohon disingkirkan dan segala macam pekerjaan yang bisa dilakukan bersama relawan yang lain.

 

Peristiwa tersebut terjadi di tahun 2012. Sembilan tahun pasca tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada Minggu, 26 Desember 2004 yang telah menjadi penanda baru tentang gempa besar yang melanda negeri ini. Bagi saya yang lahir di dekade 80-an, tentu saja tsunami di Aceh merupakan peristiwa dahsyat. Bahwa ada bencana yang disebut tsunami yang menggerakkan air laut menyapu isi daratan.

 

Namun, rupanya, dalam sejarahnya, peristiwa gempa dahsyat sudah pernah terjadi dan itu bukan hanya sekali. Misalnya saja, letusan gunung Krakatau di tahun 1883 yang terdengar hingga ke Australia Tetapi, jika ingin memetakan sejarah gempa modern di Indonesia, maka boleh jadi tsunami di Aceh itulah yang paling dahsyat yang membuka mata untuk mempelajari kembali siklus gempa di Indonesia. Dalam liputan khusus Kompas, Ekspedisi Cincin Api tahun 2012, disebutkan wilayah Aceh masuk dalam kategori Patahan Sumatera yang mulai bergerak sejak zaman Peleozoikum-Mesozoikum-Tersier hingga hari ini. “Pulau Sumatra merupakan bagian dari Lempeng Eurasia yang bergerak sangat lambat dan berinteraksi dengan Lempeng Hindia-Australia…” (Kompas, Edisi Sabtu, 21 April 2012).

 

Upaya yang dilakukan Kompas dalam liputan khususnya itu merupakan satu upaya merespons sejarah dan bentuk pengingatan kalau wilayah Indonesia masuk dalam zona cincin api sehingga peluang terjadi gempa dengan segala variannya sangat dimungkinkan. Lantas, jika demikian, apakah wilayah Indonesia tidak layak huni bagi 200 jutaan warga Indonesia. Persisnya tidak seperti itu, kita perlu melihat gempa sebagai bentuk pergerakan lempeng sesuai siklunya di mana dampaknya bisa dikurangi.

 

Dalam konsepsi demikian, gempa tidak dilihat sebagai “hukuman” dari Tuhan yang banyak dikonsepsikan tiap kali gempa terjadi. Mengapa korban berjatuhan begitu banyak (jiwa dan harta benda). Hal ini disebabkan karena bertemunya ancaman dan kerentanan karena tidak adanya siasat yang diupayakan dalam menghindari dampak dari gempa.

_

Dalam buku Hidup di Atas Patahan, Pengalaman Kelola Bencana di Tiga Kabupaten (Bengkulu Utara, Sinjai, Maluku Tenggara). Anwar Jimpe Rachman menceritakan kembali pengalaman dan siasat yang coba dijalankan dalam menjawab kerentanan di masyarakat di mana tempat tinggalnya akrab dengan gempa.

 

Buku ini dimulai dengan kata pengantar yang meledak dan marah-marah dari Saleh Abdullah. Di paragrap pembuka, ia menuliskan kalimat magis dengan mengisahkan ulang legenda asal usul sumber mata air yang diyakini masyarakat di Desa Evu, Maluku Tenggara. “Si pemburu terperangah menyaksikan bagaimana dari kedua ketiak nenek tua itu memancurkan air yang kemudian diminum oleh kedua anjing si pemburu,…”. Masyarakat meyakini kalau air itu merupakan jelmaan sang nenek yang kemudian dikenal sebagai Nen Mas Il. Legenda ini sebentuk legitimasi sosial yang menempatkan perempuan di masyarakat Maluku Tenggara di posisi terhormat. Sebagai sumber kehidupan.

 

Kelak, di Maluku lahir organisasi masyarakat sipil (OMS) yang dinamai Yayasan Nen Mas Il (YNMI). OMS inilah yang mengupayakan program pengurangan risiko bencana (PRB) agar masuk menjadi kurikulum pendidikan di Maluku Tenggara. “Rencananya, program dalam bentuk pelajaran muatan lokal ini akan diujicobakan pada lima sekolah, yakni SD Kristen Ohoira, SD Negeri Wab Ngufar, SD Negeri Ohoi Badar, SMP Negeri 7 Kei Kecil, dan SMP Kristen Ohoira…” (Hal. 66).

 

Buku ini terbit di tahun 2012, delapan tahun pasca tsunami di Aceh. Menilik isinya, juga merupakan bagian program mengambil peran dalam menyajikan kembali dan mendesak diperlukannya literasi bencana sejak mula di lingkungan masyarakat.

 

Ulasan tata kelola bencana di tiga kabupaten di provinsi berbeda ini meneroka lebih jauh tentang upaya yang coba dilakukan OMS penggerak dan kita akan melihat kiprah sejumlah orang dari lembaga dan orang-orang di wilayah bersangkutan relasinya dengan situasi yang dihadapi di lapangan. Meski situasi di tiga kabupaten berbeda, tetapi risiko rentan dari dampak bencana tetap sama. Seperti kelangkaan air bersih, kehilangan tempat mukim, dan akses sosial yang lain.

 

Direktur YNMI, Juliana Jamlean yang akrab disapa Uly, semula tidak menyadari potensi ancaman yang menyelimuti Maluku Tenggara. Ketika Saleh Abdullah datang membawa program PRB di tahun 2007 dan mengajak YNMI terlibat, YNMI masih bingung dengan isu kebencanaan karena menganggap gelombang pasang yang kerap terjadi sudah biasa dari tahun ke tahun. Setelah terlibat dalam program barulah muncul kesadaran dari hasil proses belajar. Krisis air bersih yang dialami Desa Warbal akibat gelombang pasang menjadi titik balik kesadaran.

 

Di Bengkulu Utara pasca gempa 7,9 SR pada 12 September 2007. Gempa ini yang kedua dalam kurung waktu sepuluh tahun terakhir karena di tahun 2000 juga terjadi gempa yang melanda banyak korban. Kesaksian Sastro, gempa tahun 2000 terjadi di malam hari dan tidak ada antisipasi sebelumnya. Sastro merupakan aktivis Warsi, lembaga pemerhati lingkungan. Bersama Wawan, keduanya aktif melakukan pendampingan di Desa Pondok Kelapa terkait penanggulangan kebencanaan.

 

Bentang alam Bengkulu dengan garis pantai sepanjang 525 kilometer di tepi barat Sumatra yang merupakan zona jalur zona subdiksi yang disebut Palung Jawa. “Zona ini menjulur seperti naga, dari sekitar deretan pulau-pulau kecil bagian selatan Indonesia hingga ke Chittagong, kota pelabuhan utama Bangladesh, Asia Selatan. (Hal. 16).

 

Latar pengelolaan pendidikan kebencanaan di tiga kabupaten menekankan pada pentingngya tumbuhnya kesadaran kolektif warga dengan strategi memasukkan ke dalam kurikulum di sekolah formal. Di balik strategi itu dipaparkan siklus bencana dari sudut pandang penanggulangan kebencanaan.

 

Bengkulu yang masuk dalam Patahan Sumatra, Sulawesi Selatan dalam garis Patahan Walennae, dan Maluku terintegarsi dalam lintasan tiga lempeng bumi, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Di luar potensi gempa yang ditimbulkan dari pergeseran patahan dan lempeng tersebut, di Maluku Tenggara yang menjadi fokus analisis buku ini diintai bencana lain berupa krisis air bersih.

 

Konsep PRB menekakankan pada bentuk penyadaran dan sikap aktif masyarakat merespons bencana. Pendidikan kebencanaan ini penting mengingat Indonesia merupakan zona cincin api. Maka tidak mengherankan jika siklus gempa seperti berputar dari satu wilayah ke wilayah yang lain.

 

Kini, sepuluh tahun pasca banjir bandang di Senggerang, di sepanjang tahun yang telah lalu itu saya tidak pernah mendengar ada sebentuk upaya melakukan pemetaan kebencaan di Pangkep. Tidak oleh pemerintah atau lembaga non pemerintah di Pangkep. Upaya taktis yang dilakukan hanya berupa renovasi rumah korban dan proses pendampingan sejumlah lembaga mahasiswa bersama komunitas dalam melakukan terapi trauma dengan menyajikan hiburan. Setelahnya selesai.

 

Tentu hal yang dilakukan itu tidak keliru. Metode serupa sudah jamak dilakukan di lokasi bencana. Sejumlah desus-desus menyeruak kalau mengapa banjir bandang terjadi di wilayah yang justru, tak pernah dibayangkan bakal terjadi musibah. Hanya saja, asumsi itu menekankan pada mistik terkait perilaku warga. Saya mafhum saja mengingat kesadaran yang bekerja masih pada kesadaran magis (meminjam pendapat Paulo Freire).

 

Hal yang justru tidak dilakukan oleh pemangku kebijakan di Pangkep, luput pada analisis sebab akibat terjadinya banjir bandang. Beberapa pendapat juga mengajukan asumsi kalau telah terjadi penebangan di bagian atas pemukiman warga yang kemudian tidak mendapat porsi pemberitaan yang luas. Kerja media pada umumnya lebih mendalami trauma warga yang menjadi korban tentang remeh temeh yang sesungguhnya malah mengaburkan bencana yang telah terjadi.

 

Asumsi dasar yang bisa diajukan tentu saja pada rusaknya ekologi di sekitaran pemukiman warga. Ada peran manusia mengapa banjir bandang bisa terjadi. Jadi, bencana terjadi bukan pada bekerjanya asumsi mistik. Selain itu Patahan Walennae tidak melintas di Pangkep. Mengutip pendapat Ir Kaharuddin MS, Dosen Geoologi Universitas Hasanuddin di buku ini (Hal. 68). Patahan Walennae membentuk garis dari barat Australia ke utara melewati Flores kemudian bagian timur pantai Selayar hingga Tanjung Bira di Bulukumba dan naik ke Sinjai yang memetong wilayah Bone, Soppeng menuju Sidrap. Juga memecah tiga wilayah lain setelahnya, yakni Parepare, Pinrang dan Polewali di Sulawesi Barat.

 

Foto: Muh Basir

Mengacu peta potensi bencana berdasarakan garis Patahan Walennae, maka potensi bencana di Pangkep yang diakibatkan pergeseran atau pergerakan garis tidak signifikan. Beberapa waktu lalu saya pernah melakukan survei pendapat ke sejumlah kerabat untuk mengisahkan ingatan berdasarkan cerita orang tua tentang bencana yang pernah terjadi di Pangkep. Hasilnya tidak ada yang menyebutkan gempa. Sebagai besar pendapat lebih didasarkan pada bencana kelaparan karena hasil panen gagal atau bencana kekeringan.

 

Perbincangan lepas dengan penulis buku ini menyimpan kekhawatiran kalau warga Pangkep begitu berani hidup dengan potensi bencana dari pesisir. Pangkep memang memiliki bentang alam kepulauan yang luas dan bencana puting beliung. Saban tahun kejadian yang menimpa rumah warga di pesisir terus terjadi. Peristiwa terbaru pada 2 April lalu di Kelurahan Bonto Perak yang mengakibatkan sejumlah rumah rusak bahkan ada yang rata dengan tanah.

 

Pengalaman tata kelola bencana yang diulas dalam buku ini tak semuanya menemukan keberhasilan. Di Sinjai, Sulawesi Selatan, tim PRB Payo-Payo-Ininnawa yang bekerja di sana merespons bencana longsor yang terjadi pada 2006 harus berhadapan dengan tebalnya tembok birokrasi. Namun, di titik itulah tantangan lain yang harus dihadapi dalam mengupayakan pendidikan kebencanaan sebagai bekal mengurangi risiko dan sikap kita hidup di zona cincin api serta peran dalam kelola bencana setelah tsunami Aceh 2004.

_


Publikasi pertama di laman: https://pustakabergerak.id/artikel/sesudah-2004-dan-sikap-kita-atas-bencana

Komentar

Postingan Populer