Asa Energi dari Tahi Sapi


Semula hanya tiga orang yang datang di posko kami siang itu, mereka adalah siswa SMP satu atap (Satap), disebut demikian karena gedung sekolah yang dipakai juga digunakan siswa sekolah dasar. Ketiga anak SMP itu memenuhi janji dari ajakan kami sebagai mahasiswa yang sedang menjalankan program Kuliah Kerja Lapangan Profesi (KKLP).

Guna melanjutkan proses pembelajaran keterampilan membuat majalah dinding yang menjadi salah satu program kerja kami, siswa SMP, atau pengurus OSIS itu kami ajak ke posko untuk menyelesaikan edisi perdana majalah dinding (mading) mereka. Meski hanya tiga orang, tetapi menurut Harianti, Ketua OSIS, teman mereka yang lain sebenarnya berminat, namun tidak bisa selalu datang karena harus ke kebun sepulang sekolah.

Seiring hari berlalu, Harianti tidak keliru, pengurus OSIS yang datang ke posko bertambah. Puncaknya terjadi di hari Minggu. Kami tentu saja senang, kegembiraan mereka mau belajar bersama dan berbagi lebih jauh tentang informasi di desa mereka. Selama dua bulan KKLP, kami senang membantu merumuskan topik tiap edisi mading. Berdasarkan kesepakatan edisi mading diganti sekali seminggu.

Jika tidak salah ingat, persiapan edisi ketiga, kami memberi tantangan untuk membuat berita sendiri dengan menuliskan hal-hal unik atau yang perlu untuk dikabarkan. Ya, sebelumnya kami telah membekali mereka teknik penulisan sederhana. Jadi mereka akan mencari liputan layaknya kerja wartawan.

Nah, dari sinilah kami mendapat informasi yang sungguh baru. Meski kami dari desa yang berbeda, kami masihlah satu kabupaten: Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep). Kami sungguh tak mengetahui kalau di Desa Tompobulu tempat kami KKLP ada warga yang menggunakan dan memproduksi energi mandiri. Secara geografis, letak Tompobulu memang jauh dari pusat kota kabupaten, dibutuhkan perjalanan darat naik motor atau mobil dengan jarak tempuh sekitar satu jam lebih.

Tompobulu masuk dalam administratif Kecamatan Balocci. Jalan menanjak dan berkelok harus ditaklukkan. Di desa inilah tempat persinggahan para pendaki yang hendak menaklukkan puncak gunung Bulusaraung yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bulusaraung yang meliputi dua kabupatan di Sulawesi Selatan, yakni Pangkep dan Maros.

Peristiwa yang saya ceritakan di atas telah berlangsung lama, saya bersama lima teman kuliah menempuh KKLP di Tompobulu di tahun 2012 silam. Remah ingatan kembali menyeruak tiap kali mendengar tentang kemandirian energi.

Melalui anak SMP di masa itu saya melihat langsung instalasi biogas untuk perapian yang bisa dipakai empat rumah tangga. Di Lamporo, salah satu dusun di Tompobulu juga terdapat instalasi serupa untuk energi listrik. Belakang hari barulah saya ketahui kalau proses pembangunan instalasi biogas tersebut merupakan program dari SRP Payo Payo, lembaga yang kini berkedudukan di Maros yang sejak mula melakukan proses pendampingan di tahun 2011.

“Di Lamporo, Desa Tompobulu, Pangkep, empat keluarga nyaris di sepanjang tahun 2011 menikmati aliran listrik dari limbah kotoran sapi. Digester pembangkit listrik berukuran 18 meter kubik dibangun pada Januari 2011…” tulis Nurhady Sirimorok dan Hasriadi Ary dalam buku Desa Butuh Energi Alternatif, Sekarang! (Insist Press: 2013).

Dok. Pribadi

Keputusan Politik dan Tantangan di Lapangan


//Mengapa nyala lampu kita meninggalkan lubang-lubang tambang//

//Mengapa terang rumah kita mendatangkan duka dan derita//

Di balik kepraktisan menekan saklar lampu ada duka dan derita di seberang jauh yang tidak disadari. Kira-kira, seperti itulah gugatan yang hendak disuarakan dalam lirik lagu Sisir Tanah berjudul Lagu Alternatif yang dikutip di atas.

Bahan energi yang kita gunakan masihlah mengandalkan isi perut bumi dari pulau Kalimantan, wilayah yang menjadi basis tambang batu bara terbesar di negeri ini. Asumsi dasar yang sering dipakai tentang mengapa batu bara menjadi pilihan utama ialah, biaya yang murah dan kita belum siap membangun basis energi terbarukan. Benarkah demikian?

Menjawab asumsi tersebut tentu membutuhkan uraian panjang dan komparasi referensi yang banyak dari pakar energi. Namun, jika kita melihat trend sejumlah negara di Eropa yang berkomitmen mengakhiri penggunaan energi yang tidak terbarukan, maka bukan hal mustahil kemudian jika hidup manusia di bumi akan tetap berlanjut dengan sumber energi yang lain (alternatif).

Dikutip dari postingan Instagram Green Peace (@greepeaceid). Di tahun 2020 ini Austria dan Swedia menjadi negara pertama mengakhiri era energi kotor. Dua negara bertetangga Spanyol dan Portugal juga berkomitmen menghentikan PLTU Batubara di tahun 2021. Langkah ini melanjutkan komitmen politik pemimpin negara yang dimulai oleh Belgia di tahun 2016 lalu.

//Nyalakan lampu dari putaran angin//

//Terangi rumah dari aliran air//

//Sinari kota dengan panas matahari//

Lirik di atas masih sambungan dalam Lagu Alternatif, sejauh ini, upaya menghadirkan sumber energi terbarukan terus diupayakan. Di kampung saya, pemerintah desa membangun lampu jalan panel surya di sejumlah titik. Mulanya saya pikir kebijakan tersebut hanya ada di desa saya, tetapi informasi sejumlah teman juga memberikan kesaksian kalau pemasangan instalasi serupa juga dilakukan di desa mereka, utamanya desa di wilayah kepulauan.

Kebijakan tersebut bagian dari inisiatif pemerintah desa mengelola dana desa untuk pembangunan infrastruktur berdasarkan basis kebutuhan. Lalu mengapa memilih panel surya? Hal ini tentulah berkaitan erat dengan sosialisasi penggunaan energi alternatif yang sebenarnya sudah lama dilakukan dan informasi tersebut bukan lagi barang langka. Namun, kendala panel surya ini untuk kebutuhan listrik rumah tangga di desa masihlah berat. Hasil perbincangan dengan tetangga di desa menyimpulkan kalau panel surya masih mahal dibanding pasokan listrik dari PLN yang dibayar perbulan sekitar 50 ribu saja.

Kembali ke Tompobulu, usai pembangunan energi biogas dan diharapkan masyarakat mandiri dalam melanjutkan, tetap saja ada kendala dan kendornya semangat. Mengingat bahan dasar biogas yang dibangun adalah tahi sapi, maka pasokan itu harus selalu memenuhi standar agar keluaran energi yang dihasilkan bisa maksimal. Masalahnya, mengkandangkan sapi seharian penuh adalah pekerjaan tambahan karena harus memastikan makanan, sedangkan kebiasan warga membiarkan saja sapi mereka berkeliaran mencari makan.

“Kebiasaan meliarkan sapi, misalnya, menjadi tantangan besar dalam pemanfaatan limbah kotoran sapi. Mengubah kebiasaan itu menjadi pengandangan sapi akan sangat.” Tulis Imran Gadabu dalam Buletin Payo-Payo Edisi II, Februari 2012.

Tantangan di lapangan dalam pembangunan energi alternatif memang perlu kebijakan politik yang memberi jaminan keberlanjutan secara bertahap hingga bisa melepaskan ketergantungan pada sumber energi konvensional.

Di Tompobulu ada dua pembangunan digester biogas, pertama di dusun Lamporo yang diperuntukkan untuk penerangan sejumlah rumah tangga kedua berada di pusat desa, ukuran digester lebih kecil dan diperuntukkan untuk perapian empat rumah tangga. Digester itu dibangun di belakang rumah Misbah.

Bersama anak SMP kala itu, kami imbau kalau edisi mading mereka perlu menampilkan penggunaan energi berbahan tahi sapi yang dikelola mandiri oleh warga. Istri Misbah menujukkan cara kerjanya dan kami dibuat takjub karena memang baru melihat instalasi perapian tersebut.

Sewaktu menuliskan catatan ini, saya merencanakan agenda ke Tompobulu untuk melihat kembali instalasi biogas, tetapi situasi pandemi Covid 19 menjadi pertimbangan melakukan kunjungan, upaya mengontak jaringan di sana juga terkendala karena jaringan telepon. Di Tompobulu, desa yang didindingi pegunungan sulit mengandalan jaringan dan hanya ada di titik tertentu.

Warga tidak bebas menggunakan telepon selular, hape mereka digantung di sudut tertentu di rumah masing-masing untuk menerima pesan pendek atau telepon yang sewaktu-waktu mendapat jaringan. Hal tersebut juga kami lakukan sewaktu KKLP. Namun, saya menyimpan keyakinan kalau digester biogas itu masihlah terawat dan menjadi energi alternatif meski tidak semua warga di Tompobulu dapat mengaksesnya.

_

Komentar

Postingan Populer