Paradigma Kaum Difabel

Sebenarnya siapa yang cacat dan normal di antara kita. Sejauh mana pelabelan cacat dan normal itu memperburuk relasi sosial. Jika terjadi tindakan perundungan di antara mereka, siapakah yang paling berhak disalahkan?

Sekelumit petanyaan di atas menyeruak hadir jika terjadi lagi perundungan oleh mereka yang dianggap normal terhadap mereka yang dicap cacat. Bagaimana dan dengan cara apa memilah situasi ini agar kita bisa menempatkan nilai kemanusiaan di antara keduanya.

Apakah adil jika si normal merisak si cacat kemudian atas nama solidaritas membalas perbuatan itu dengan mengulang tindakan serupa kepada si normal? Tidakkah itu, justru, kembali melecehkan nilai kemanusiaan di atas norma solidaritas?

Saya menyadari, dengan rentetan pertanyaan kausalitas seperti itu akan menimbulkan perdebatan tanpa akhir karena akan tetap berdiri di atas kedudukan moralitas. Walau, tentu saja, wajah moralitas yang dibelah itu penuh pseudo. Sebab, bagaimana mungkin moralitas didudukkan di posisi kekerasan.

Lantas, bagaimana memulai dialog ini agar kita tetap menjunjung tinggi kemanusiaan yang didasari asumsi teologikal. Bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Jika demikian, maka sejak awal kita sudah sesat pikir dengan pelabelan normal dan cacat. Sebab, implikasi cara pandang semacam itu seolah ingin mengatakan kalau Tuhan telah berbuat keliru atas ciptaannya dengan adanya normal dan cacat. 

Lalu, apa pula itu perbedaan? Di patok inilah pijakan memulai dialog. Manusia adalah sejarah itu sendiri. Manusia dibekali potensi mencipta dan melakukan konstruksi untuk menapaki jalannya hidup. Di tapak ini pula manusia saling berebut ruang melapangan cara pandang.

Artinya, pelabelan normal dan cacat tak lepas dari pertarungan cara pandang. Jika demikian, maka dalam proses sejarahnya, telah terjadi konstruksi sosial tentang bagaimana memandang sesuatu. Paradigma ini memungkinkan kita sudah melampaui determenisme sejarah kalau cara pandang normal dan cacat itu bukanlah takdir.

Bayangkan, pertarungan cara pandang ini sudah berlangsung lama dan bisa disebut seusia sejarah umat manusia sendiri. Di indonesia, pergeseran pelabelan baru terjadi di tahun 2011 setelah konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas diratifikasi melalui Undang-Undang No 19 tahun 2011 menggantikan regulasi sebelumnya: UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Perlahan pelabelan penyandang cacat diganti dengan istilah baru: penyandang disabilitas. Lalu, apakah esensinya berubah, sepertinya tidak, sesat pikit tetap bekerja. Mohammad Joni Yulianto, Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), tetap melihat mereka yang dicap disabilitas didefinisikan secara medis karena adanya kerusakan pada tubuh/mental. Implikasi sosialnya, mereka dipandang berbeda dan tidak dapat terlibat dalam segala hal yang bisa dilakukan oleh mereka memiliki anggota tubuh/mental yang berfungsi normal.  

Definisi berikutnya dari perspektif HAM, ini memberi angin segar dengan tidak menempatkan disabilitas kepada person di posisi pesakitan. Nilai dasarnya karena tidak ada yang mau mengalami disfungsi fisik/mental. Negara dan struktur masyarakat  gagal memberikan akomodasi yang dibutuhkan penyandang disabilitas.

Meski begitu, gerakan aktivis difabel mulai menggagas penamaan yang lebih memihak dengan keberadaan mereka. Bagaimanapun, penamaan disabilitas lahir bukan dari inisiatif mereka yang secara eksistensi mengalaminya. Disabilitas adalah pemberian dan itu tetap mengandung bias.

Puncaknya di dekade 90-an melalui rangkaian yang panjang perjuangan higga kemudian Mansour Faqih dan Setya Adi Purwanta (difabel netra) mencetuskan istilah difabel (differently abled people), Mansour Faqih mengartikan adanya kemampuan yang lain. Gagasan penamaan ini melampaui bukan sekadar pergantian pelabelan tetapi fondasi gagasan perubahan konstruksi sosial.

Hal mendasar yang perlu diubah terletak pada konsepsi pelabelan cacat ataupun disabilitas yang tidak mampu menjawab kausalitas . Pandangan medis juga HAM pada dasarnya tetap memelihara konsepsi kecacatan individu terpisah dari lingkungan sosial. Jika disimpulkan, kedua pandangan ini masihlah memiliki rumpun yang sama yang berakar dari pemikiran liberal.

Perangkat sosial dalam masayarakat yang diperjuangkan dari perspektif HAM ialah adanya akses, dalam pendidikan, umpamanya, perlu ada lembaga khusus yang terpisah dari lembaga pendidikan yang ditempati oleh yang mereka normal. Maka dibentuklah sekolah luar biasa (SLB).

Ini sama saja dengan penerapan penjarakan sosial (social distancing) karena mereka berbeda dan kesannya harus dihindari atau dijauhkan dari pergaulan sosial. Lalu, apakah dengan bersekolah di tempat khusus, nantinya ketika kembali dalam lingkungan lebih luas maka konstruksi sosial serta merta berubah. Tentu saja tidak, malah sosial exclusion kembali terjadi. Mengapa, karena perubahan cara pandang tidak bergeser.

Difabel membawa misi untuk menghancurkan konsepsi kenormalan yang berwajah ganda. Mengapa difabel tidak dilihat sedang menjalani hidup sesuai kemampuan kenormalan. Bukankah dalam kenormalan itu sendiri senantiasa mengandung pebedaan yang tidak terhindarkan. Ada manusia bertubuh tingi dan pendek, besar dan kecil atau, berkulit sawo matang, hitam, dan putih, misalnya. Keadilan baru terasa jika perbedaan itu dilihat wajar dan bagian harmoni hidup.

Nilai dasar difabel menempatkan setiap individu, baik mereka yang difabel atau bukan dalam posisi yang setara. Dengan demikian standar normalisme dengan ketentuan faktual dengan sendirinya telah gugur.

Karena itulah tidak ada yang disebut normal dan cacat. Sejarah panjang konstruksi sosial telah mengawetkan sesat pikir ini yang merusak relasi sosial dan mewajarkan tindakan merisak oleh si normal kepada si cacat.

Manusia baru bisa dikatakan tidak berfungsi jika sudah mati. Fungsi keduniawiannya telah selesai. Dan, tidak berfungsi dalam hidup bila mengingkari hakikat penciptaan sebagai makhluk hidup dengan keberagamannya masing-masing.

_


Dimuat di Tribun Timur edisi 3 Juni 2020 dengan judul: Mempertimbangkkan Misi Kaum Difabel

Komentar

Postingan Populer