Kopi


Persisnya lupa kapan mulai minum kopi dan menggemarinya hingga sekarang. Jika mencoba membuka lapisan masa lalu, maka sangat dimungkinkan pengalaman itu dimulai dari Nenek saya. Saban pagi, Nenek saya selalu minum kopi hitam dengan nasi dingin atau irisan mangga masak.

Nasi dingin yang dimaksud adalah nasi yang memang dingin, bukan yang baru dimasak atau dipanasi. Pernah Nenek saya dihidangkan nasi panas karena nasi santap semalam habis, ia menolaknya dengan dalih tidak pas. Nah, di tapak itulah kira-kira, sesekali saya mencoba mencecap kopi sisa Nenek. Konon, dalam alam pikiran masyarakat Bugis, anak-anak yang dikasih minum kopi membuat daya tahan tubuh kuat.

Seiring waktu, saya dan saudara lelaki tumbuh dengan minum kopi. Begitupun dengan anak-anak Bugis di kampung. Dalam fase selanjutnya, ketika model produksi kopi semakin beragam, saya pun terlibat dalam proses mencoba produksi kopi yang beragam itu.

Maksudnya, tentu saja, mencoba pelbagai kopi kemasan yang banyak dijual yang sudah dicampur dengan gula dan campuran lainnya dalam satu kemasan. Intinya, kopi tersebut sekali seduh saja dengan air panas dan dinikmati.

Perilaku mengonsumsi kopi kemasan berlangsung lama sampai kemudian kembali ke produksi kopi murni, atau kopi tanpa campuran. Mungkin itulah yang dimaksud kopi asli. Dan, kemelimpahan itu ada di depan rumah, seorang tetangga yang memang sejak dulu dikenal penjual kopi bubuk yang diolahnya sendiri.

Sewaktu kecil, saya dan teman sejawat sering melihat proses bagaiman biji kopi yang dibelinya itu diproses melalui mesin penggiling dan melihat serbuk kopi keluar menguarkan aroma yang tajam.

Dalam sejumlah riwayat, kita dapat ketahui kalau literasi kopi berakar jauh ke peradaban manusia di masa lalu. Tumbuhan kopi, biji kopi, serbuk kopi, hingga sampai bentuk pengolahan dan cara menghidangkan mencerminkan satu bentuk kebudayaan di kelompok masyarakat di belahan dunia.

Kopi sudah melampui bentuk dan kegunaannya sebagai minuman khas. Bahkan, perilaku minum kopi menjadi kultur yang dikultuskan di kelompok keagamaan. Dalam salah satu esai Goenawan Mohamad menghamparkan sikap kelompok sufi yang menjadikan meminum kopi sebagai salah satu syarat ritual atau bagian dari proses ritual. Sungguh betapa dahsyat dan urgennya kopi.

“Pada suatu hari, kopi dan sufi. Di kota pelabuhan al-Mukha, Yemen, guru tarikat Shadiliyah menuangkan minuman warna hitam itu untuk murid-muridnya, agar mereka tak tertidur sepanjang malam berzikir.” Tulis Goenawan Mohamad yang diposting di Fanpage-nya pada 2 Desember 2017.

Semakin ke sini, yang lebih dekat dengan zaman kita, ada produksi film yang menjadikan kopi sebagai peta konflik jalan cerita. Simaklah sekuel film Filosofi Kopi garapan Angga Dwimas Sasongko. Sebelum divisualkan, cerita itu sudah hadir dalam semesta teks berupa novel gubahan Dee.

Kembali ke soal kopi, menu sarapan yang kulakoni wajib ada yakni kopi. Tentu saja tanpa campuran yang lain, apalagi berupa essen. Soal ini tentu perlu dipahami saksama. Ini tugas bersama untuk saling mengingatkan dan bagian dari perluasan wawasan literasi kopi.

Jadi, kopi yang kita minum saat ini jangan bayangkan sesuatu yang tidak mengalami perlakuan di setiap fase produksinya. Sejak di petik dari pohonnya, sudah ada proses sampai kopi itu tersaji di depan kita. Essen itu secara sederhana berarti penguat aroma. Jadi, kalau misalnya Anda pernah menghirup parfum beraroma kopi, maka itulah yang dimaksud dengan essen. Proses pembuatannya sendiri membutuhkan alat khusus untuk mengumpulkan uap kopi.

Maka, tidak menutup kemungkinan kopi kemasan yang banyak dijual bebas itu menggunakan essen kopi. Itulah mengapa ada sensasi rasa berbeda setiap merk. Dan, kita terperanjat ketika meminum kopi original. Pengalaman ini pernah ditunjukkan seorang petani kopi, ia memetik sendiri kopi dan menyangrainya lalu mengolahnya dengan alat sederhana hingga menjadi bubuk kopi. Setelah diseduh dengan air panas, rasanya beda sekali.   

Mengenai rasa itu sendiri amatlah pelik dan kompleks untuk dijabarkan. Kita akan sampai pada realitas tentang adanya varian mazhab dalam memandang apa itu kopi dari proses penyemaian bibit hingga proses produksi.

Kisah yang dituliskan Goenawam Moehamad itu berlangsung di Ethiopia delapan abad yang lampau. Menjadi literasi dasar yang tersepakati hingga kini kalau kata mocca lahir di kota pelabuhan al-Mukha, Yemen. Bermula dari sanalah, kopi mengalami migrasi dan perubahan tata cara memperlakukannya. Orang Arab meminumnya di Masjidil Haram sebelum diharamkan oleh ulama setempat. Tetapi, kopi terus hadir dan menolak mati. Diharamkan di tempat satu, dipuja di tempat yang lain. Begitulah biji kopi menyebar dan tumbuh. Menjadi teman sekaum manusia merancang revolusi di Amerika dan Perancis.

Kopi yang beredar saat itu tentulah kopi sebenar-benarnya kopi. Tidak hanya diseduh, tetapi juga biji kopi dikunyah layaknya permen. Kopi belum mengalami cangkokan kreasi untuk kepentingan kapital. “Maka kopi pun jadi bagian kehidupan religius, jauh sebelum pemilik Starbuck menjadikannya sebagai adat memuja laba.” Kembali gelitik dalam esai Goenawam Moehamad.

Mengukur diri sendiri, saya hanya berada di tingkatan paling awam. Kopi bagi saya tak lebih minuman khas yang sudah menjadi candu dan menu sarapan. Ketika berada di warkop, saya hanya memesan kopi hitam dan sesekali saja meminta kopi susu atau varian kopi yang lain.

_

Komentar

Postingan Populer