Hikayat Pucuk Daun Jambu Mete dari Hutan Desa
Di jamuan makan siang waktu itu,
emak menyiapkan nasi, sayur, dan ikan teri tumis. Tak banyak varian menu setiap
kali kami bersantap. Pilihannya hanya berputar pada menu yang sudah sangat
diakrabi.
Ikan, misalnya, hanya dimasak.
Tidak ada pilihan varian olahan. Jika harus digoreng atau dibakar, maka tidak ada
ikan dimasak. Sayur juga demikian, emak lebih sering memasak sayur daun yang
hanya dimasak atau dikenal sayur bening.
Persediaan menu ikan biasanya bertahan
dua hari saja. di hari ketiga, ikan sudah tidak ada dan digantikan telur asin
atau telur dadar. Walau setiap hari penjual ikan lewat di depan rumah, emak
tidak setiap hari membelinya.
Dan, di jamuan siang makan saat
itu, ikan teri yang dimasak, orang Bugis menamainya nasu kacci, atau dimasak kecut, karena bahan dasar kuah ikan
memakai asam dan kunyit. Sebenarnya, padanan frasa “dimasak kecut” tidak terlalu tepat. Saya tidak menemukan
penjelasan memadai dalam istilah kuliner untuk masakan itu, jadi saya
terjemahkan literer saja. (nasu: masak, kacci: kecut). Tidak bisa juga disebut pallumara sebab memasak ikan dengan metode ini rasanya berbeda,
bumbu garamnya sengaja dilebihkan supaya terasa lebih asin (mara) dan pallu itu bahasa Makassar yang artinya memasak, sepadan dengan nasu dalam bahasa Bugis.
Karena ikan teri nasu kacci itu dimasak kemarin, maka di
hari kedua cocoknya dimasak ulang dengan cara ditumis dan akan semakin nikmat
jika disantap dengan irisan mentimun atau lawi-lawi( istilah Bugis), jenis rumput laut.
Namun, siang itu, bukan mentimun atau lawi-lawi
yang menjadi pelengkap, emak menyajikan daun kemerah-merahan kombinasi
kehijauan. Kata emak, itu pucuk daun
jambu mete.
Santap siang hari itu baru
pertama memakan pucuk daun jambu mete yang rasanya pekat namun nikmat disantap
bersama ikan teri yang sudah ditumis. Emak bilang kalau itu makanan orang dulu.
Sepulang dari sawah bapak melihat banyak pucuk daun jambu mete di sikku saloe, begitu warga menamakan
lokasi hutan di desa kami.
_
Secuil kisah di atas merupakan
peristiwa lama. Mengolah ingatan tentang sumber makanan dari hutan memaksa
jelajah ingatan berlari ke belakang. Seiring perubahan zaman, pola interaksi
manusia turut berubah. Olahan makanan banyak diperoleh dari proses membeli di
pasar.
Jika mencoba mengingat kembali
pengalaman mengasup makanan yang bersumber dari hutan, itu terjadi di masa
kecil saja ketika bapak masih hidup dan kerap membawa pelbagai jenis makanan
olahan dari hutan desa. Ada sejumlah
jenis sayuran seperti pappa, jumpai, atau kembang temu lawak.
Di masa itu, emak rutin
menyajikan bahan olahan dari hutan. Dan, yang berkesan di lidah saya hingga
sekarang, ya daun pucuk jambu mete itu. Rasa pekatnya berpadu dengan aroma
bawang goreng yang menjadi bahan dasar menumis ikan teri.
Seiring waktu, bersama kawan
sejawat, jika bermain di hutan desa untuk berenang di sungai yang ada di sana,
saya mencari pucuk daun jambu mete. Pohon ini memiliki banyak manfaat, yang
banyak dicari tentu saja biji buahnya yang bisa diolah menjadi makanan ringan
atau campuran bahan membuat kue. Daging buahnya juga bisa langsung dimakan atau
dijadikan acar.
Pohon jambu
mete ini tumbuh di depan rumah salah satu tetangga.Di kampung sudah tidak
banyak memelihara pohon jambu mete. Perayaan atas buah, biji, dan pucuknya
sudah tidak seperti dulu. Di mana anak-anak berebut mencari biji, memanjat
pohonnya guna memetik buahnya yang sudah ranum. Dan, orang tua memetik pucuknya
sebagai pelengkap menu makan.
_
Di waktu kecil, biji jambu mete
yang juga disebut jambu monyet ini dijadikan alat permaian. Metodenya serupa
bermain kelereng. Di kampung saya, di Desa Kabba Kecamatan Minasatene Kabupaten
Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan disebut mattaru-taru dalam bahasa setempat. Jika
sedang musim berbuah, semalam suntuk anak-anak begadang di lokus tertentu guna
mencari biji buah yang dibuang kelelawar. Pasalnya, mamalia penguasa malam itu hanya memakan
daging buahnya saja.
Sebelum bapak membawa pulang
pucuk daun jambu mete yang dijadikan pelengkap menu makan siang saat itu, saya
pikir hanya buah dan bijinya saja yang dapat dimakan. Begitu mencobanya sekali,
rasanya ingin selalu mencobanya lagi. Hanya saja, pucuk jambu mete itu hanya terasa
nikmat jika dimakan bersama tumisan ikan teri. Setidaknya, sejauh pengalaman
saya menikmatinya. Pengalaman salah satu saudara saya tetap nikmat walau tidak ditumis. "Intinya dimakan dengan ikan yang sudah dimasak. Selain ikan teri, ikan mujair juga cocok" Tuturnya ketika saya mengulik pengalamannya menyantap pucuk daun jambu mete di masa lalu.
Namun, jika kita perhatikan menu
sari laut yang menjadikan kol, kacang panjang, atau daun kemangi sebagai
lalapannya. Tentu, pucuk daun jambu mete ini bisa juga menjadi pilihan. Tetapi mendapatkan pucuknya yang terbilang sulit
sehingga belum banyak penjaja makanan menyajikanya.
Jika mengingat kembali, saya
menyenangi pucuk daun jambu mete. Pertama,
mulanya adalah kejutan. Kedua, rasa
sepatnya tidak membuat kita merasakan begah walau sudah makan banyak. Mulanya
saya pikir, emak menyajikan itu untuk menyiasati menu makan keluarga. Tetapi,
jika kita menelusuri sejumlah literasi kesehatan, maka semua tumbuhan tentu
memiliki manfaat. Tak terkecuali pucuk daun jambu mete.
Sejumlah artikel yang saya baca mengungkapkan
kalau daun jambu mete berkhasiat menangkal gejala flu, ampuh mengurangi atau
menghilangkan pegal linu, mengatasi sembelit juga diare. Dan, rupanya, rasa sepatnya mampu menghilangkan bau mulut.
Hutan kecil di desa saya telah
menjadi sumber pangan. Selain jambu mete, ada banyak tumbuhan yang dapat
dijadikan sumber pangan alternatif. Makanan
dari hutan melengkapi dan mencukupi kebutuhan manusia di desa. Saya yakin,
lalapan pucuk daun jambu mete ini bukan hanya dikonsumsi di desa saya. Di
tempat lain, barangkali saja, ada komunitas warga yang juga menjadikannya
pelengkap menu makan.
Foto. Dokumen Pribadi (2020). Template: canva.com |
Jika demikian, ini akan menjadi
memori kolektif jika lalapan daun jambu mete ini dituliskan dan dibaca khalayak
lebih luas. Bahwa, rupanya, bukan hanya di wilayah tertentu saja ada warga
menjadikan pucuk daun jambu mete sebagai bahan makanan.
Mengangkat kembali sumber makanan
dari hutan ini bisa menjadi tabungan literasi tentang alternatif makanan dari
melimpahnya makanan siap saji yang kini menjadi menu makanan di perkotaan dan
juga mulai menjangkiti desa. Paul Mc
Mahon dalam bukunya, Berebut Makan,
Politik Baru Pangan (Insist Press: 2017). Menjelaskan runut mata rantai
menu makanan di meja makan kita. Di balik kepraktisan membeli bahan makanan di
supermarket, ada dampak lain yang semula tak pernah dibayangkan kalau sumber
makanan itu melahirkan dampak lingkungan (food miles).
Di sisi lain, dominasi
pengelolaan sumber pangan di wilayah tertentu berakibat pada kelangkaan pangan
di tempat lain. Hal ini berkaitan erat kontrol distribusi sumber pangan yang
dikendalikan para produsen yang membangun persekongkolan politik dengan pemangku
kebijakan di suatu negara.
Mahon meneliti dampak dari gempa
yang menimpa Haiti di tahun 2010. Namun, di luar efek gempa. Berselang dua
tahun sebelumnya, warga Haiti telah mengalami gempa lain berupa naiknya bahan
pokok yang menimbulkan kekurangan gizi dan kelaparan. Menyiasati hal tersebut,
banyak warga beralih mengonsumsi makanan khas setempat berupa campuran lumpur
dengan garam dan sesayuran yang disebut kue kotor.
Data dari penelitian Mahon
tersebut hanyalah bagian kecil dari kelangkaan pangan yang bisa menimpa
masyarakat di dunia. Merujuk pada kampanye Walhi
mengenai Kedaulatan Pangan dan Wilayah
Kelola Rakyat menjabarkan tiga kesimpulan mengenai kerawanan pangan yang
bisa melanda Indonesia. Pertama, industri
ekstraktif, perkebunan monokultur, dan pembangunan infrastruktur yang
mengabaikan lingkungan.
Kedua, Indonesia
yang berada dalam lingkaran cincin api menjadi salah satu negara di dunia yang
paling sering mengalami bencana alam. Ketiga,
dampak perubahan iklim yang mempengaruhi produksi pangan.
Menilik lebih jauh, apa yang
diungkapkan Mahon sesungguhnya ada pergeseran tata kelola pangan yang semula
bisa menghidupi warga dalam sebuah koloni kemudian berubah seiring laju zaman
yang turut pula melahirkan reproduksi hasil pangan.
Mengingat bahan makanan yang
dihasilkan dari olahan pertanian saling berkaitan dengan beragam aspek yang
melatari. Belum lagi dengan ancaman yang mengintai lahan dari maraknya
pembangunan perumahan yang melahap area persawahan. Pacak yang didedahkan dalam kajian
Walhi yang telah dikutip di atas, justru, menambah kerawanan pangan yang
bersumber dari hutan.
Di sisi lain, penyeragaman bahan
pangan menempatkan beras sebagai bahan utama melahirkan kompleksitas tersendiri
antar komunitas warga. Politik beras ini akan mengubah pola makan kelompok
masyarakat tertentu dan berefek pada kontrol distribusi bahan pangan.
Saya teringat pada pace di Sorong, Papua Barat di tahun
2006 silam. Saya melihatnya membersihkan kasbi
(ubi jalar) yang didapat dari kebunnya untuk dimasak. “Anak, ini ada kasbi, kalo dorang mau sebentar sa bagi. Sa tra kenyang
kalo makan nasi saja.” Tuturnya. Selain kasbi,
sagu adalah makanan pokok di Papua yang sumbernya dari huta. Mengingat itu,
kita sampai pada kesimpulan betapa beragamnya bahan pangan yang bisa menjadi
jaminan kelanjutan hidup masyarakat. Hutan dan kebun mencukupinya.
_
Komentar