Hikayat Pucuk Daun Jambu Mete dari Hutan Desa

Lokasi hutan desa Sikku Saloe. Desa Kabba. Minasatene. Pangkep. Sulawesi Selatan yang sudah berubah, sudah banyak pohon ditebang. Termasuk beberapa jambu mete. Perlakukan warga atas hutan desa ini berubah seiring laju zaman. Alih fungsi sawah menjadi tambak juga terjadi akibat area persawahan selalu mengalami banjir di musim penghujan.  (Foto. Dok. Pribadi.2020)


Di jamuan makan siang waktu itu, emak menyiapkan nasi, sayur, dan ikan teri tumis. Tak banyak varian menu setiap kali kami bersantap. Pilihannya hanya berputar pada menu yang sudah sangat diakrabi.

Ikan, misalnya, hanya dimasak. Tidak ada pilihan varian olahan. Jika harus digoreng atau dibakar, maka tidak ada ikan dimasak. Sayur juga demikian, emak lebih sering memasak sayur daun yang hanya dimasak atau dikenal sayur bening.

Persediaan menu ikan biasanya bertahan dua hari saja. di hari ketiga, ikan sudah tidak ada dan digantikan telur asin atau telur dadar. Walau setiap hari penjual ikan lewat di depan rumah, emak tidak setiap hari membelinya.

Dan, di jamuan siang makan saat itu, ikan teri yang dimasak, orang Bugis menamainya nasu kacci, atau dimasak kecut, karena bahan dasar kuah ikan memakai asam dan kunyit. Sebenarnya, padanan frasa “dimasak kecut” tidak terlalu tepat. Saya tidak menemukan penjelasan memadai dalam istilah kuliner untuk masakan itu, jadi saya terjemahkan literer saja. (nasu: masak, kacci: kecut). Tidak bisa juga disebut pallumara sebab memasak ikan dengan metode ini rasanya berbeda, bumbu garamnya sengaja dilebihkan supaya terasa lebih asin (mara) dan pallu itu bahasa Makassar yang artinya memasak, sepadan dengan nasu dalam bahasa Bugis.

Karena ikan teri nasu kacci itu dimasak kemarin, maka di hari kedua cocoknya dimasak ulang dengan cara ditumis dan akan semakin nikmat jika disantap dengan irisan mentimun atau lawi-lawi( istilah Bugis), jenis rumput laut. Namun, siang itu, bukan mentimun atau lawi-lawi yang menjadi pelengkap, emak menyajikan daun kemerah-merahan kombinasi kehijauan. Kata emak,  itu pucuk daun jambu mete.

Santap siang hari itu baru pertama memakan pucuk daun jambu mete yang rasanya pekat namun nikmat disantap bersama ikan teri yang sudah ditumis. Emak bilang kalau itu makanan orang dulu. Sepulang dari sawah bapak melihat banyak pucuk daun jambu mete di sikku saloe, begitu warga menamakan lokasi hutan di desa kami.

_

Secuil kisah di atas merupakan peristiwa lama. Mengolah ingatan tentang sumber makanan dari hutan memaksa jelajah ingatan berlari ke belakang. Seiring perubahan zaman, pola interaksi manusia turut berubah. Olahan makanan banyak diperoleh dari proses membeli di pasar.

Jika mencoba mengingat kembali pengalaman mengasup makanan yang bersumber dari hutan, itu terjadi di masa kecil saja ketika bapak masih hidup dan kerap membawa pelbagai jenis makanan olahan dari hutan desa.  Ada sejumlah jenis sayuran seperti pappa, jumpai, atau kembang temu lawak.

Di masa itu, emak rutin menyajikan bahan olahan dari hutan. Dan, yang berkesan di lidah saya hingga sekarang, ya daun pucuk jambu mete itu. Rasa pekatnya berpadu dengan aroma bawang goreng yang menjadi bahan dasar menumis ikan teri.

Seiring waktu, bersama kawan sejawat, jika bermain di hutan desa untuk berenang di sungai yang ada di sana, saya mencari pucuk daun jambu mete. Pohon ini memiliki banyak manfaat, yang banyak dicari tentu saja biji buahnya yang bisa diolah menjadi makanan ringan atau campuran bahan membuat kue. Daging buahnya juga bisa langsung dimakan atau dijadikan acar.




Pohon jambu mete ini tumbuh di depan rumah salah satu tetangga.Di kampung sudah tidak banyak memelihara pohon jambu mete. Perayaan atas buah, biji, dan pucuknya sudah tidak seperti dulu. Di mana anak-anak berebut mencari biji, memanjat pohonnya guna memetik buahnya yang sudah ranum. Dan, orang tua memetik pucuknya sebagai pelengkap menu makan.
_

Di waktu kecil, biji jambu mete yang juga disebut jambu monyet ini dijadikan alat permaian. Metodenya serupa bermain kelereng. Di kampung saya, di Desa Kabba Kecamatan Minasatene Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan disebut mattaru-taru dalam bahasa setempat. Jika sedang musim berbuah, semalam suntuk anak-anak begadang di lokus tertentu guna mencari biji buah yang dibuang kelelawar. Pasalnya, mamalia penguasa malam itu hanya memakan daging buahnya saja.

Sebelum bapak membawa pulang pucuk daun jambu mete yang dijadikan pelengkap menu makan siang saat itu, saya pikir hanya buah dan bijinya saja yang dapat dimakan. Begitu mencobanya sekali, rasanya ingin selalu mencobanya lagi. Hanya saja, pucuk jambu mete itu hanya terasa nikmat jika dimakan bersama tumisan ikan teri. Setidaknya, sejauh pengalaman saya menikmatinya. Pengalaman salah satu saudara saya tetap nikmat walau tidak ditumis. "Intinya dimakan dengan ikan yang sudah dimasak. Selain ikan teri, ikan mujair juga cocok" Tuturnya ketika saya mengulik pengalamannya menyantap pucuk daun jambu mete di masa lalu.

Pucuk daun jambu mete siap disantap dengan tumis ikan teri. Pucuk daun ini saya petik di pohom jambu mete di depan rumah tetangga. Sependek yang saya ketahui, itu satu-satunya pohon yang masih ada di kampung. Meski tidak rutin, jika berkunjung ke rumah emak dan menyempatkan makan siang di sana, lalu ada ikan teri sudah ditumis, saya akan memetik pucuk daun jambu mete di depan rumah tetangga itu. (Foto. Dok. Pribadi. 2020)


Namun, jika kita perhatikan menu sari laut yang menjadikan kol, kacang panjang, atau daun kemangi sebagai lalapannya. Tentu, pucuk daun jambu mete ini bisa juga menjadi pilihan. Tetapi  mendapatkan pucuknya yang terbilang sulit sehingga belum banyak penjaja makanan menyajikanya.

Jika mengingat kembali, saya menyenangi pucuk daun jambu mete. Pertama, mulanya adalah kejutan. Kedua, rasa sepatnya tidak membuat kita merasakan begah walau sudah makan banyak. Mulanya saya pikir, emak menyajikan itu untuk menyiasati menu makan keluarga. Tetapi, jika kita menelusuri sejumlah literasi kesehatan, maka semua tumbuhan tentu memiliki manfaat. Tak terkecuali pucuk daun jambu mete.

Sejumlah artikel yang saya baca mengungkapkan kalau daun jambu mete berkhasiat menangkal gejala flu, ampuh mengurangi atau menghilangkan pegal linu, mengatasi sembelit juga diare. Dan, rupanya, rasa sepatnya mampu menghilangkan bau mulut.

Hutan kecil di desa saya telah menjadi sumber pangan. Selain jambu mete, ada banyak tumbuhan yang dapat dijadikan sumber pangan alternatif. Makanan dari hutan melengkapi dan mencukupi kebutuhan manusia di desa. Saya yakin, lalapan pucuk daun jambu mete ini bukan hanya dikonsumsi di desa saya. Di tempat lain, barangkali saja, ada komunitas warga yang juga menjadikannya pelengkap menu makan.

Foto. Dokumen Pribadi (2020). Template: canva.com


Jika demikian, ini akan menjadi memori kolektif jika lalapan daun jambu mete ini dituliskan dan dibaca khalayak lebih luas. Bahwa, rupanya, bukan hanya di wilayah tertentu saja ada warga menjadikan pucuk daun jambu mete sebagai bahan makanan.

Mengangkat kembali sumber makanan dari hutan ini bisa menjadi tabungan literasi tentang alternatif makanan dari melimpahnya makanan siap saji yang kini menjadi menu makanan di perkotaan dan juga mulai menjangkiti desa.  Paul Mc Mahon dalam bukunya, Berebut Makan, Politik Baru Pangan (Insist Press: 2017). Menjelaskan runut mata rantai menu makanan di meja makan kita. Di balik kepraktisan membeli bahan makanan di supermarket, ada dampak lain yang semula tak pernah dibayangkan kalau sumber makanan itu melahirkan dampak lingkungan (food miles).

Di sisi lain, dominasi pengelolaan sumber pangan di wilayah tertentu berakibat pada kelangkaan pangan di tempat lain. Hal ini berkaitan erat kontrol distribusi sumber pangan yang dikendalikan para produsen yang membangun persekongkolan politik dengan pemangku kebijakan di suatu negara.

Mahon meneliti dampak dari gempa yang menimpa Haiti di tahun 2010. Namun, di luar efek gempa. Berselang dua tahun sebelumnya, warga Haiti telah mengalami gempa lain berupa naiknya bahan pokok yang menimbulkan kekurangan gizi dan kelaparan. Menyiasati hal tersebut, banyak warga beralih mengonsumsi makanan khas setempat berupa campuran lumpur dengan garam dan sesayuran yang disebut kue kotor.

Data dari penelitian Mahon tersebut hanyalah bagian kecil dari kelangkaan pangan yang bisa menimpa masyarakat di dunia. Merujuk pada kampanye Walhi mengenai Kedaulatan Pangan dan Wilayah Kelola Rakyat menjabarkan tiga kesimpulan mengenai kerawanan pangan yang bisa melanda Indonesia. Pertama, industri ekstraktif, perkebunan monokultur, dan pembangunan infrastruktur yang mengabaikan lingkungan.

Kedua, Indonesia yang berada dalam lingkaran cincin api menjadi salah satu negara di dunia yang paling sering mengalami bencana alam. Ketiga, dampak perubahan iklim yang mempengaruhi produksi pangan.

Menilik lebih jauh, apa yang diungkapkan Mahon sesungguhnya ada pergeseran tata kelola pangan yang semula bisa menghidupi warga dalam sebuah koloni kemudian berubah seiring laju zaman yang turut pula melahirkan reproduksi hasil pangan.

Mengingat bahan makanan yang dihasilkan dari olahan pertanian saling berkaitan dengan beragam aspek yang melatari. Belum lagi dengan ancaman yang mengintai lahan dari maraknya pembangunan perumahan yang melahap area persawahan. Pacak yang didedahkan dalam kajian Walhi yang telah dikutip di atas, justru, menambah kerawanan pangan yang bersumber dari hutan.

Di sisi lain, penyeragaman bahan pangan menempatkan beras sebagai bahan utama melahirkan kompleksitas tersendiri antar komunitas warga. Politik beras ini akan mengubah pola makan kelompok masyarakat tertentu dan berefek pada kontrol distribusi bahan pangan.

Saya teringat pada pace di Sorong, Papua Barat di tahun 2006 silam. Saya melihatnya membersihkan kasbi (ubi jalar) yang didapat dari kebunnya untuk dimasak. “Anak, ini ada kasbi, kalo dorang mau sebentar sa bagi. Sa tra kenyang kalo makan nasi saja.” Tuturnya. Selain kasbi, sagu adalah makanan pokok di Papua yang sumbernya dari huta. Mengingat itu, kita sampai pada kesimpulan betapa beragamnya bahan pangan yang bisa menjadi jaminan kelanjutan hidup masyarakat. Hutan dan kebun mencukupinya.
_

Komentar

Postingan Populer