Dika dan Selingkaran Situasi
Fota: Harfiani (Emak Dika) Template: canva.com |
“Dika, kalau tidak bangun, tidak
usah ke sekolah,” Kata emaknya kesekian kali.
“Iye, janganmi. Ngantukka.” Jawab Dika memelas memeluk guling
Percakapan di atas hampir berulang saban
pagi sejak Dika didaftarkan namanya di TK Pembina, dekat stadion Andi Mappe.
Kini, masa sekolah sudah dilewati setahun lebih. Di awal pagi, ketika emaknya
masih mengampuh sebagai guru honorer, Dika membonceng.
Setelah keputusan politik paling
heroik ditetapkan emaknya untuk berhenti menyandang status guru honorer,
sayalah yang mengantarnya. Sejak mula, saya tidak memedulikan Dika masuk taman
kanak, jika harus melewati sekolah formal, sebaiknya langsung sekolah dasar
saja.
Emaknya membantah kalau itu tidak
bisa dilakukan kalau anak tidak melewati masa TK. Tidak ada sekolah dasar yang
mau menerimanya. Dulu sekali, saya
menyimpan impian agar anak tidak perlu melewati masa sekolah formal milik
pemerintah atau swasta. Saya sendiri yang akan menyiapkan modul pendidikan
anak. Namun, rencana ini tidak terealisasi karena menguatnya reposisi kelas.
Melakoni hidup di posisi kelas
menengah perantara (subsumed class)
sungguhlah menjengkelkan. Ini salah satu bagian hidup paling berengsek dari
relasi kelas. Dika harus saya relakan dididik sekolah formal. Hal ini tentu
tidak disadari emaknya. Seingat saya, sejak sekolah, Dika tidak pernah datang
tepat waktu.
Ketika emaknya masih guru
honorer, ia pun tidak pernah datang di awal pagi di pagar sekolah. Kelakuan itu
saya pertahankan, meski berangkat lebih awal bisa saja ditempuh. Terlambat saya
anggap jalan pemberontakan senyap. Menolak keseragaman waktu dalam bingkai
delusi kedisplinan.
Di tempat kerja, melawan
penyeragaman kedisplinan sudah lama saya terapkan. Pertama, dimungkinkan karena atasan tempat tinggalnya jauh dan
harus berdesakan dengan kemacetan. Situasi itu saya manfaatkan menunda jam
kantor. Jika ditegur, saya punya tameng kalau cerminan kedisplinan harusnya
diperlihatkan atasan.
Nampaknya, situasi yang sudah
berlangsung dua tahun lebih ini dapat dipahami. Maka jadilah kesepakatan
imajiner antara saya dan atasan. Terlambat tidak masalah asal pekerjaan
selesai. Begitu kira-kira intinya.
_
Dika bermain apa saja jika tidak ada teman sejawat yang mengajaknya bermain di luar rumah atau adiknya sedang tidur. Termasuk memainkan boneka warisan tantenya, Nurfadilah (dari pihak ibunya) |
Usia enam tahun dan generasi Y,
Dika tumbuh dengan perangkat teknologi di sekitarnya. Jika mendapati saya dan
emaknya nanar di layar hape masing-masing, ia mendesak dilibatkan dan di puncak
keinginan tahu mendekap hape, kami tentu memarahinya dengan cara anak-anak
kehilangan permainan. Tak sudi rasanya mainan kami berupa aplikasi WhatsApp
hilang tergantikan aplikasi permainan yang diunduh oleh Dika.
Jika itu terjadi, kami serasa
bukan orangtua baginya, melainkan teman sejawat. Waktu luang menjadi jarak
pemisah. Kini, setelah adiknya berusia dua tahun dan mendengar perintahnya,
Dika akan menyuruh adiknya membongkar buku di rak jika keinginannya dibatasi. Hal
demikian bagian dari sikap pertumbuhannya ditunjang lapisan peristiwa yang
disaksikan dalam mencukupi hidupnya.
Idealisasi mendidik anak serupa
anjuran ahli parenting tidak pernah saya terapkan karena memang jarang membaca
nasihat semacam itu. Saya dan emaknya pun tidak pernah menyepakati satu traktat
dalam mendidik anak. Satu hal yang saya pahami, anak harus bahagia menjalani
hari-harinya. Walau, tentu saja, konsep bahagia sangatlah kompleks.
Saya tetap merokok di dalam rumah
ketika Dika bersama adiknya bermain di ruang tamu yang jaraknya hanya dua
langkah kaki. Ambe[1]
saya perokok berat, dan itu biasa ia lakukan sembari memangku saya.
Jika ada kesedihan, Dika dan anak
sebaya di lingkungannya mengalami krisis permainan komunal yang dapat diakses
gratis. Ia akan menagih sekali sebulan atau di akhir pekan agar dibawah ke
tempat permainan. Berbayar, tentu saja.
Di taman kota media permainan
anak perlahan hilang tergantikan transaksi ekonomi. Taman Musafir, RTH di
Pangkep malih rupa menjual ruangnya. Taman segi tiga di belakang tugu bambu runcing
juga sama. Lingkaran putaran modal menjadikan kerumunan kelas perantara
menyerahkan diri di balik kekuatan modal. Begitulah selingkaran formasi sosial
kapitalis bekerja. Atas nama kebahagiaan anak semua tunduk.
Relasi formasi sosial kapitalis
itu bisa dibaca sederhana seperti ini: orangtua menjalani khayali hidup yang
harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga dengan segala tetek bengeknya. Waktu
luang sudah digadaikan di balik jam kerja yang sudah cukup melelahkan sendi hidup. Ungkapan
seperti family time sengaja diterima
menggunakan bahasa Inggris sebagai lapisan hegemoni. Padahal, itu merupakan
pseudo kebahagiaan. Praktis yang dibutuhkan dari semua itu adalah waktu yang
luang sesungguhnya.
Paul Lafargue[2]
menyebut itu sebagai dogma membawa petaka. Di buku tipis berjudul Hak untuk Malas (Jalasutra: 2008). Lafargue
membongkar mitos tentang kebaikan membangun disiplin kerja.
Saya tentu saja memiliki
perbedaan sikap dengan emaknya dalam menyikapi Dika tumbuh. Ketika salat,
misalnya, saya membiarkan Dika menjahili emaknya. Giliran saya salat, saya
membebaskannya bermain hingga menaiki punggung ketika sujud.
Termasuk soal sekolah, saya
sengaja tidak membangunkannya jika masih pulas. Karena di waktu yang lain, ia
bisa bangun lebih awal dan mengutarakan semangatnya ke sekolah.
Bagaimana dengan bermain hape. Saya tidak pelit tetapi ini memang pelik, emaknya tentu tidak mau anaknya mengalami rabun di usia muda. Informasi
tersebut didapat dari seliweran pendapat di media sosial. Menurut saya, anak
hidup dengan situasi zamannya. Jika mau radikal, mengembalikan anak ke era
orangtuanya ketika kecil, pengorbanannya harus total. Orang tua tidak boleh
menggunakan gawai dan meluangkan waktu mengenalkan jenis permainan di zaman
dulu.
Saya membiarkan Dika bermian hape
dan mengunduh permainan yang digemari. Waktu bermain diberikan dan juga
memberikan batasan. Di selah waktu yang lain, Dika juga bermain dengan anak
sebayanya. Jenis permainan kolektif yang dimainkan tentu saja mengandung
potensi bahaya bagi anak. Ia pernah berkelahi dan menangis karena yang dilawan
lebih tua dari usianya.
_
Catatan:
Ulasan hari lahir Dika biasanya saya buat lebih awal supaya bisa
memostingnya tepat di tanggal 1 Februari. Tetapi, waktu luang tergadai dengan
beragama pekerjaan.
[1]
Panggilan bapak di suku Bugis. Sebutan ini generik karena di daerah Bugis lain
sebutannya bisa lain.
[2]
Paul Lafargue 1842-1911. Selain dikenal aktivis politik Perancis di zamannya,
ia juga menantu Karl Marx yang menikah dengan Laura, putri kedua Marx.
Komentar