Mengenal Gus Dur Lewat Pengantar
“Kalau saya, Si Buta yang kupilih. Takkala hancurmi.” Itu ucapan seorang di kampung
yang terus terngiang. Lontaran itu keluar merespons pembicaraan politik yang
sedang dilakukan warga di kampung menjelang pemilu tahun 1999.
Si Buta yang dimaksud adalah
sosok tua yang iklan politiknya menghiasi layar kaca di tahun itu. “Maju tak gentar. Membela yang benar.”
Begitu ucap sosok tua itu. Tayangan akhir iklan itu berisi ajakan memilih
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Terkadang, sebagai anak bau
kencur yang sering mendengar perbincangan warga membahas politik, saya
merasakan ngeri. Seperti diketahui, di tahun 2000, melalui proses politik di MPR,
lekat di ingatan, gerakan poros tengah yang diarsiteki Amien Rais berandil
menjegal Megawati menjadi presiden dan Gus Dur melenggang ke kursi presiden.
Saya kembali merasakan ngeri.
Ucapan warga di kampung menjumpai wujudnya. Negeri ini akan hancur. Si Buta
benar-benar menjabat presiden. Ya, Tuhan.
_
Jika mengingat kembali narasi
masa lalu di atas, saya senyum-senyum sendiri. Ketakutan itu muncul akibat dari
ketidaktahuan. Begitulah poltik prasangka bekerja. Hari ini, mengkhidmati
kembali proses perubahan dari Orba menuju reformasi, betapa banyak sekali
pekerjaan yang belum selesai. Betapa banyak suara-suara yang terbungkam di
bawah naungan Orba. Betapa hegemoni masih membelenggu.
Saya tidak ingin mendedah lebih
jauh Gus Dur sebagai manusia politik. Hal itu sudah banyak diulas dengan
pendekatan pragmatis membaca Gus Dur, mentok sebagai presiden dan berkiprah di
PKB. Gus Dur sebagai manusia politik tentulah lebih luas.
Melawan ketidaktahuan, tidak ada
cara lain selain belajar. Jika mandek, maka berkubang di lubang sesat. Filsuf
Murtadha Muthahhari membedakan sesat dengan munafik. Sesat itu menjadi cara
pandang manusia yang tidak mengenal atau, informasi kebenaran tidak sampai
padanya. Sedangkan munafik adalah suar yang menerangi jalan untuk berpaling
dari kebenaran.
Memahami Gus Dur, menurut saya. Pertama, “melepaskan” dulu kisah usang
sebagai cucu pendiri NU yang juga pahlawan nasional. Perlu melampaui narasi
itu. Gus Dur perlu dibaca lepas dari relasi biologis semacam itu dulu untuk
menyelami cara berpikirnya dalam tahapan yang dilalui.
Kedua, menyelami
periode Gus Dur sebagai anak muda yang memegang peta di tangannya. Peta itu
menjadi penunjuk arah menjumpai beragam alam pemikiran. Selanjutnya, setelah
fase kuliah yang tidak tuntas, Gus Dur membentangkan peta meniti rimba raya
pemikiran alternatif selaku intelektual publik. Di fase ini, kekuatan pena Gus
Dur tak bisa disepelekan. Kolomnya di Tempo dan di beberapa media cetak,
termasuk di jurnal paradigmatik, Prisma menjadi medan Gus Dur membumikan
idenya.
Kelak, remah pikiran yang
terserak melalui tulisan itu menjadi fondasi pemikiran Gus Dur tentang
pentingnya keberagaman dan humanisme. Sebagian besar terangkum di buku Tuhan Tidak Perlu Dibela.
Ketiga, pemikir neo
modernisme, ketika publik intelektual di dunia ketiga dihebohkan proyek Kiri
Islam yang diusung Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, Gus Dur dengan enteng memandang
pemikiran Hanafi sebagai eksperimen saja. Di kata pengantarnya di buku Kazuo
Shimogaki yang mengulas pemikiran Hassan Hanafi tentang Kiri Islam itu,
pemaparan Gus Dur menuliskan ulang garis besar pergolakan pemikiran Islam di
Mesir.
Jadi, menurut Gus Dur, proyek
Hanafi bukanlah hal baru di Mesir dan di dunia Islam pada umumnya. Meski itu
berupa catatan pengantar, saya, justru, mereguk habis pemikiran Gus Dur dan
memudahkan menelaah joke yang melekat
padanya.
Gus Dur sudah kenyang.
Barangkali, sebab itulah, humor menjadi pelapang baginya agar bisa diterima
oleh banyak kalangan. Sewaktu presiden, ketika masyarakat meniupkan terompet
kebencian ke Israel, Gus Dur malah berkunjung ke negara tersebut dan kita menerima
kabar kalau Shimon Perez, Presiden Israel kala itu dibuat tertawa.
Saya kira, sejauh ini, tidak ada sosok
macam Gus Dur yang pemikirannya dirayakan banyak kalangan. Dalam tradisi sastra
Amerika Selatan di kenal realisme magis, orang-orang yang sudah mati dalam
narasi kesusastraan tetap bisa diajak bercakap. Sedangkan di Indonesia, Gus Dur
dihidupkan kembali melalui jaringan Gusdurian guna mengajaknya kembali
berdialog.
Banyak orang mau mati demi Gus
Dur. Banyak pula yang mau hidup karena Gus Dur.
_
*Sebagai pemantik diskusi di acara Mengenang Satu Dekade
Berpulangnya KH Abdurahman Wahid yang digelar Gusdurian Pangkep pada 28 Januari
2020.
Komentar