Mengalihkan Wajah ke Daerah dalam Mengembangkan Industri Pariwisata

Petugas Satpol PP memasang spanduk penyegelan permandian Mattampa. Sumber foto makassar.tribunnews.com



Paradigma

Ada ungkapan yang mengatakan kalau di luar negeri orang lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Saya kira, hal demikan, menemukan kebenarannya jika membaca Bali sebagai tujuan utama para pelancong dari luar. Namun, di sisi lain, bagi saya, ungkapan itu adalah joke yang menyindir para pengembang kepariwisataan baik dari pemerintah maupun swasta.

Mengapa ungkapan itu tidak menjadi tamparan dan, justru, berakhir sebagai kebanggaan. Euforia melihat Bali sebagai tujuan utama wisata di Indonesia kelak menjadikan Indonesia berjalan mundur. Hal ini bisa dilihat pasca reformasi ketika tatanan pemerintahan berubah dan arah kebijakan di segala sektor pembangunan turut berubah.

Indonesia terseok megembangkan pariwisata sebagai industri. Inilah jalan mundur yang saya maksudkan. Pariwisata baru dilihat sebagai aset yang penting dimiliki di setiap daerah setelah akses terbuka lebar. Bisa dikatakan kalau perancangan dasar baru dimulai setelah republik sudah melewati usia emas.

Menilik ke belakang, konsentrasi pembangunan memang mengarah ke fisik (infrastruktur). Hanya saja, titik fokus itu hanya di Jawa dan pengembangan industri tertentu. Misalnya, saja, tambang yang menjadi prioritas. Lewat tambang pula, suara reformis nyinyir dengan penanaman modal asing akibat pembukaan lahan tambang di Timika yang ditengarai dan menjadi narasi berulang melihat bobroknya investasi asing. Hal ini tentu saja tidak bisa disangkal mengingat sudah terjadi. Hal yang bisa diupayakan melawan logika investasi yang melulu dianggap destruktif ialah, melakukan reparadigma terhadap investasi itu sendiri.

Padahal, pergaulan asing itu alamiah dan sudah berlangsung sejak lama. Di jaman kerajaan menunjukkan bagaimana kedatangan pedagang dari luar seperti Arab, Tiongkok atau bangsa Eropa yang kemudian membangun kongsi dagang dan membangun basis di nusantara, bisa dibaca selaku upaya investasi asing yang terjadi di masa lalu.


Membaca Realitas

Sebenarnya apa yang ditawarkan Bali sebagai pulau dewata, juga bisa didapatkan di daerah lain. Tentu di luar lokalitas kebudayaan karena yang demikian bukanlah global. Setiap daerah mengandung keunikan budaya dan panorama alamnya sendiri.

Kita bisa bercermin pada Ignasius Leta Odja, sosok di balik ekowisata di Desa Waturaka Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur. Di tahun 2017 mendapat penghargaan desa wisata alam terbaik dari Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal.

Menengok ke belakang, kiprah Ignasius bergerak sunyi. Jangankan negara, warga di sekitar malah menganggapnya sudah gila ketika mulai mengimajinasikan desanya menjadi basis industri ekowisata. Ia bergerak sendiri dan barulah dalam perjalanannya mendapat sokongan LSM luar, Swiss Contact. Setelah hari-hari sepi dilewati, kini Desa Waturaka memetik hasil. Kerja senyap Ignasius tidaklah dipetik sendiri. Warga desa yang semula sangsi mulai terlibat aktif menangkap peluang itu dengan giat menamam sayur dan mendirikan Home Stay.

Saya teringat seorang kawan di Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan), berjarak sekitar 50 km di sisi utara Kota Makassar. Supriadi, nama kawan saya itu pernah mencoba mengembangkan destinasi wisata alam di kampungnya di Belae, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasatene. Kampungnya itu didindingi kawasan karst dengan puluhan gua peninggalan prasejarah.

Upayanya berjalan lambat tetapi ia tidak patah semangat. Program televisi swasta seperti Jejak Si Gundul dan Bocah Petualang (Bolang) pernah syuting di Kampung Belae. Tentu hal tersebut merupakan kerja jaringan yang telah dikembangkan dalam mengenalkan potensi wisata.

Di Belae mengandung potensi menggabungkan wisata alam, kuliner, keunikan sosial, dan sejarah. Dari segi alam, jelas kawasan karst Pangkep bersama kabupaten tetangga, Maros menjadi bentangan karst terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Keunikan sosial bisa dilihat pembangunan rumah warga yang tidak menghadap ke jalan. Ini tentu mengandug filosofinya sendiri mengapa masyarakat di Belae membangun rumahnya seperti itu. Ancha, warga Belae merekam itu di chanel Youtubenya.

Soal sejarah, di masa lalu ketika belum ada hukum negara, konflik yang terjadi dan tidak menemukan solusi. Maka, dua manusia yang bertikai itu diadu ke dalam pertarungan hidup mati. Kira-kira mirip dengan cerita legenda yang lain di Sulawesi Selatan tentang bertarung dalam sarung. Tetapi, ini lain lagi. Dua manusia itu diadu, dalam bahasa setempat disebut passaungan tau yang artinya mengadu manusia.

Riandra Ria Hamria dalam buku Kenali Pangkepmu, Beberapa Hal yang Perlu Diketahui (Rumah Saraung: 2017) menuliskan ulang hikayat itu: “…Pertarungan hidup mati itu tidaklah seporadis menumpahkan amarah. Ada aturan yang harus dipatuhi sebelum kedua belah pihak telah yakin kalau itulah jalan terakhir yang harus ditapaki.” Lokasi bekas passaugan tau itu masih bisa dijumpai, berupa gundukan tanah berbentuk lingkaran. Lokasi itu dikeramatkan oleh warga setempat.

Kampung Belae bukan satu-satunya lokasi wisata alam yang bisa diproyeksikan. Pangkep memiliki topogarfi wilayah daratan, kepulauan, dan pegunungan. Ketiga wilayah ini memiliki potensi wisata.

Di wilayah kepulauan, misalnya, Pemda Pangkep telah membuka pengelolaan wisata bahari Pulau Cambang Cambang dan Kapoposang kepada pengembang. Hanya saja, sejauh ini, pengembangan potensi wisata bahari tersebut tersendat dan minim pengunjung. Padahal, Pulau Kapoposang adalah alternatif wisata bahari yang bisa memanjakan penyelam. Luas pulau 50.000 hektare ini memiliki 14 titik penyelaman.

Potensi wisata di Pangkep menghampar luas di tiga topografi wilayah. Ini tantangan sekaligus peluang yang bisa dikembangkan dengan mensinergikan antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat. Walau di tahun 2019 ini, salah satu lokasi wisata terbilang legendaris di Pangkep harus tutup. Wakil Bupati Pangkep, Syahban Sammana menjelaskan kalau sektor pariwisata Kabupaten Pangkep yang ada saat ini, tidak berjalan maksimal. “Permandian Mattampa kami tutup langsung,” tegasnya. Demikian pernyataan Wakil Bupati dikutip dari media lokal. (fajar.co.id: 3/6/2019).

Permandian Mattampa berada di tepi jalan poros Trans Sulawesi. Artinya akses ke lokasi wisata ini mudah dijangkau. Hal inilah yang mengherankan publik di Pangkep dengan berita penutupan permandian Mattampa.

Badauni AP, jurnalis lepas di Pangkep menyampaikan ke saya kalau Foundation World Tourism Park telah mengeluarkan rilis berupa 45 daftar lokasi wisata alam unggulan dari 34 Provinsi di Indonesia. Hasilnya, di Sulawesi Selatan, hanya diwakili permandian alam air terjun Bantimurung di Maros dan wisata bahari diwakili Kepulauan Takabonerate di Selayar. “Pangkep tidak terpilih karena pengelolaan tidak jelas dan tidak ada investor.” Ungkapnya.

Tentu saja miris mendengarnya. Banyak yang bilang kalau Pangkep bisa disebut sebagai miniatur Indonesia karena topografi yang melingkupinya. Haniah, aktivis perempuan di Pangkep yang banyak meluangkan waktu mengunjungi pulau-pulau di Pangkep pernah memotret realitas destinasi wisata di Kapoposang. Ia merekam kalau fasilitas di sana tidak terawat dan kurangnya partisipasi warga.

Suara-suara semacam ini penting untuk didengar oleh Pemda dan pengembang. Jika kita melihat kembali apa yang telah dilakukan oleh Ignasius di desanya, pengembangan ekowisata yang dirancang memang sedari awal berbasis masyarakat.

Haniah melihat kalau pengembang tidak serius mengelola wisata bahari di Kapoposang. Selain fasilitas tidak terawat, tidak ada nomor kontak pengelola yang bisa dihubungi. Ia juga mengeluhkan jalur transportasi laut yang tidak disediakan sehingga pegunjung harus menyewa sendiri dengan kisaran biaya sekitar tiga jutaan pulang pergi. “Harusnya pengembang meyiapkan paket wisata sehingga terjadi komunikasi.” Ia menyarankan.

Dalam pantauan Haniah, kondisi seperti itu sudah berlangsung lama. Ia mengusulkan agar Pemda bersikap tegas dan lebih baik menempuh pengembangan wisata berbasis masyarakat.”

Sebagai aktivis LSM dan terlibat di banyak pendampingan masyarakat, Haniah tidak menolak adanya investor. Hal demikian tentu saja baik sebagai bentuk awal dalam membantu memberikan proses pengembangan. Hanya saja, prosesnya tidak sampai di situ, perlu adanya pelibatan masyarakat dalam aspek tertentu. Bagaimana pun, masyarakat tidak ingin menjadi penonton di wilayahnya.

Tidak dimungkiri kalau tujuan utama wisata di Sulawesi Selatan masihlah Kabupaten Tana Toraja (Tator), Malino di Kabupaten Gowa, atau kawasan karst Rammang Rammang dan air terjun Bantimurung di Kabupaten Maros. Headline Kompas edisi 30 September 2019 bertajuk Ekpedisi Wallacea menegaskan bagaimana kekuatan ekowisata menjadi benteng yang menyelamatkan karst.

“Kalau saja warga tidak pernah menentang rencana pemerintah untuk memberikan izin pertambangan di kawasan bukit karst Rammang Rammang, mungkin kita tidak bisa lagi menikmati keindahan karst dan sumber airnya yang menghidupi.” Tulis Reny Sri Ayu Arman di prolog liputannya.

Wallace, lengkapnya Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris yang berkunjung ke Bantimurung di tahun 1857. Tentu, Wallace bukanlah naturalis pertama dari Eropa yag menyambangi Bantimurung, sebelumnya sudah ada Thomas Penant dan Ida Pfeiffer dari Austria. Namun, buku The Malay Archipelago karya Wallace yang kemudian lebih sering dijadikan rujukan mengenai kerajaan kupu-kupu di kawasan Bantimurung.

Bantimurung yang kini menjadi salah satu primadona wisata di Sulawesi Selatan tentulah tak bisa dipisahkan dari jejak panjang yang melingkarinya seiring zaman berganti. Jarak Bantimurung ke Pangkep tidaklah jauh, bentangan karts dan hutan yang khas itu membentang ke Pangkep.

Selain Bantimurung, kawasan Rammang Rammang adalah spot lain yang bisa memanjakan mata memandangan kokohnya pegunungan karst. Di sini, kita bisa lihat bagaimana proses pengembangan ekowisata berbasis masyarakat mampu menghidupi masyarakat setempat.

Hal yang tidak mustahil bisa dilakukan di Pangkep. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Topografi wilayah tiga dimensi mengandung dan menjadi peluang penciptaan destinasi wisata yang dapat dikembangkan. Di tahun 2012 lalu, saya dan sejumlah kawan pernah merancang paket wisata susur Sungai Pangkajene.

Sungai Pangkajene adalah sungai yang membelah kota Pangkajene, ibu kota Kabupaten Pangkep. Sungai ini adalah saksi sejarah ketika dulu bangsa Portugis menginjakkan kakinya di zaman kerajaan. Lewat sungai inilah, yang dulu bernama sungai Marana, merujuk pada nama kawasan saat itu. Pernah juga dikenal sungai Koraja bila merujuk pada Wikipedia . Seiring rezim pemerintahan berganti, di bawah pemerintahan Bupati Andi Baso Amirullah (1994-1999) sungai ini dinamai Citra Mas. Kini, di era pemerintahan Bupati Syamsuddin A Hamid Batara, sungai ini disebut Kali Bersih. Meski begitu, masyarakat pada umumnya lebih akrab menyebutnya Sungai Pangkajene.

Susur Sungai Pangkajene merupakan proses penciptaan destinasi wisata baru yang coba dihadirkan di Pangkep. Sebentuk perjalanan mengunjungi jejak sejarah dan melihat kehidupan warga yang hidup di tepi sungai. Hanya saja, impian itu terkubur. Kami tidak cukup bekal menyiapkan proses kelahirannya. Tetapi, ide itu terus hidup di benak dan sempat ingin membuat Festival Sungai Pangkajene sebagai kegiatan rutin yang bisa digelar saban tahun.

Laporan yang dirilis BPS Pangkep mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Pangkep hanya mencapai 4,67 persen. Turun dari tahun sebelumnya 6,6 persen. Dikutip dari Upeks, Kepala BPS Pangkep, Naharuddin Supu menjelaskan kalau turunnya pertumbuhan akibat sektor industri pengolahan melambat. (upeks.fajar.co.id. 30/9/2019).

Di Pangkep, berdiri pabrik semen Tonasa yang menjadi tumpuan penggenjotan ekonomi. Sektor ini menjadi ketergantungan. Jadi, pasang surut pertumbuhan ekonomi di Pangkep sangat ditentukan dari tambang. Jika pola ini terus dipertahankan, maka ekonomi Pangkep akan terus mengalami probabilitas.

Sebenarnya ini adalah kode untuk mulai mengembangkan sektor ekonomi di bidang lain. Bagaimana pun, industri olahan tambang akan mencapai titik nadir jika sumber daya alam (SDA) yang ada sudah tidak produktif. Karst yang merupakan salah satu bahan pokok pengolahan semen akan habis karena SDA tersebut bukanlah sumber terbarukan.

PT. Semen Tonasa sendiri mulai mengembangkan Tonasa Park berupa proyeksi wisata sejarah dan museum di bekas pabrik pertama perusahan ini yang berada di Kelurahan Tonasa, Kecamatan Balocci. Tonasa Park memadukan dengan konsep milenial dengan menyajikan spot swafoto (selfie) untuk pengunjung.

Membuka akses bangunan tua bekas pabrik semen ini menjadi tujuan wisata bisa menjadi magnit mendatangkan pelancong. Di masa kejayaannya, ketika pabrik pertama Semen Tonasa ini berfungsi sejak dekade 60-an hingga awal 90-an mampu menyedot dan menghidupkan ekonomi warga. Setelah tutup, praktis geliat ekonomi warga ikut tumbang.

Setelah dibuka kembali dengan tujuan lain, perlahan yang mati ikut bertumbuh. Gerak ekonomi warga yang berinisiatif membuka warung mulai muncul. Hal tersebut tentu saja karena adanya peluang yang dapat ditadah dari kunjungan para pelancong.

Sependek yang saya ketahui, di Pangkep baru ada dua desa yang menjadikan wisata sebagai badan usaha desa (Bumdes). Pertama, Desa Panaikang Kecamatan Minasetene yang menjadikan permandian Leang Lonrong sebagai destinasi wisata. Kedua, Desa Tompobulu Kecamatan Balocci di mana menjadi tujuan para pendaki untuk menaklukkan puncak gunung Bulusaraung (1.353 mdpl). Kawasan ini masuk dalam Taman Nasional Batimurung Bulusaraung.

_

Menjadi pertanyaan, mengapa ada proses pengembangan destinasi wisata mampu berjalan, bertahan, dan berkesinambungan, tetapi ada juga yang mati suri. Apakah objek wisatanya tidak cukup menarik menggaet pengunjung. Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Setiap lokasi wisata memiliki kompleksitasnya masing-masing.

Salah satu variabel yang dibutuhkan untuk mengukur tingkat keberhasilan dari tempat wisata ialah, mengacu pada tingkat kunjungan. Nah, di fase mengundang pengunjung inilah yang membutuhkan sentuhan kreatifitas. Apa manfaat yang didapat, bagaimana akses fasilitas, apakah jaminan keamanan, juga kenyamanan dapat dipertanggungjawabkan, dan masih banyak lagi. Intinya, tempat wisata bisa membuat orang senang dan nyaman.

Pariwisata tentulah tak bisa dianggap enteng. Logika pengelolaannya perlu pendekatan industri. Maka jangan heran ketika pemerintah mengalokasikan dana sebesar 7,1 trilun di tahun 2020 guna mendukung pembangunan dan pembenahan infrastruktur lima kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN).

"Yang besar Borobudur, Lombok [Mandalika], dan Toba, karena areanya luas," ujar Kepala Badan Pengembangan Wilayah (BPIW) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Hadi Sucahyono sebagaimana dikutip dari laman ekonomi.bisnis.com. (29/9/2019).

Dua tempat wisata di Pangkep yang telah disebutkan di atas, yakni permandian Mattampa dan kawasan wisata bahari pulau Kapoposang. Keduanya memang dikelola pihak kedua (investor). Hanya saja, tidak mampu menghidupkan destinasi tersebut menjadi basis ekonomi yang dapat menunjang PAD dan melahirkan simbiosis ekonomi warga. Langkah Pemda Pangkep menutup Mattampa sudah tepat dan perlu mempertimbangkan konsep investor lain yang berminat mengelola lokasi tersebut. Bahwa gelontoran dana bukan jaminan utama, yang esensi tentu konsep seperti apa dan bagaimana itu bisa menjadi peningkatan ekonomi warga setempat dan pembukaan lapangan kerja.

Namun, jika mengacu pada luas wilayah, Pangkep yang dilingkupi wilayah kepulauan yang mencapai 80 persen, wisata bahari adalah kunci untuk dikembangkan tanpa menutup akses wisata yang lain di wilayah daratan dan pegunungan.

Imaji menumbuhkan destinasi wisata bahari di Pangkep bukanlah tanpa dasar, keberadaan pulau Kapoposang dan Cambang Cambang adalah langkah awal yang bisa terus dilebarkan ke kawasan kepulauan yang lain. Pulau Kapoposang masuk dalam kepulauan spermonde yang terletak di bagian selatan selat Makassar atau di pesisir barat daya pulau Sulawesi.

Dibutuhkan memang konsep matang dari investor agar mampu mengoptimalkan lokasi wisata. Pemda Pangkep selaku pintu pertama melalui dinas terkait tidak bisa menutup diri dan, sudah siap dengan pemetaan wilayah serta jaminan berinvestasi. Iklim otonomi daerah memungkinkan semua itu dapat dilakukan.

Dunia terus berubah dan perilaku anak zaman di dalamnya ikut berubah. Berkaca pada demografi, secara berangsur yang mengambil alih jalannya perubahan adalah generasi milenial yang tumbuh dengan pelbagai inovasi. Menyandarkan kekuatan ekonomi pada kreatifitas yang berbasis pada sumber energi terbarukan.

Jika memperhatikan tren mengenai backpaper yang menjelajahi sejumlah lokus wisata baik yang sudah jamak diketahui ataupun penemuan destinasi baru, adalah para generasi milenial yang menancapkan fondasinya. Di Pangkep sendiri, jejak pembukaan atau penemuan lokus wisata baru terus diungkap oleh para milenialis, misalnya saja, wisata Taman Batu di Balleangin di Balocci. Penyebaran informasi lokus Taman Batu begitu cepat menyebar melalui layanan teknologi informasi yang begitu mudah diakses melalui gawai.

Peran investasi di sini tentu saja sebagai langkah membuka akses lebih luas dan menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur sumber daya agar dapat dikelola menjadi basis ekonomi yang dapat saling menunjang baik pengelola maupun masyarakat di sekitar lokus wisata.

Jika hal ini disiapkan dengan konsep matang, maka tidak menutup kemungkinan terjadi imaji melampaui Bali yang lebih dikenal ketimbang Indonesia itu sendiri di luar negeri. Menurut saya, cara pandang itu sudah perlu direvisi. Semua tempat di Indonesia adalah Bali dengan segala keunikannya masing-masing atau, di Indonesia bukan cuma Bali.

Bali lebih terkenal daripada Indonesia harus dibaca sebagai joke. Karena itulah, jangan main-main dengan pengembangan pariwisata.

_

Komentar

Postingan Populer