100 Tahun Kemerdekaan dan Jalan Terjal Pendidikan
Di tahun 2045, negeri
ini akan berusia ke 100 tahun. Generasi yang lahir di medio 70 dan 80-an
tentulah sudah berkepala enam dan tujuh ke atas. Sangat dimungkinkan jika
generasi 90-an yang dominan memegang tampuk kepemimpinan di era itu bila melihat
tren pertumbuhan dewasa ini. Merekalah generasi yang tumbuh ketika babak baru
berdemokrasi dimulai pasca reformasi 1998.
Berhentinya rezim Orde
Baru memungkinkan anak-anak zaman ini memiliki cara pandang yang beragam dalam
membaca momentum sejarah di masa lalu. Paling tidak, di jenjang sekolah
menengah atas (SMA) sudah ada tameng menolak atau mampu menyeleksi kevalidan
informasi. Atau, ketika mereka mahasiswa, sudah ada proses penciptaan inovasi
yang membantu kehidupan umat manusia. Saya tidak berani mengatakan kalau
seluruh generasi ini akan bertindak sama, tetapi saya yakin ada beberapa.
Sebab, pertarungan hitam dan putih itu niscaya.
Saat ini, generasi
yang menahkodai negara masihlah anak zaman yang lahir di medio 50 dan 60-an,
atau dikenal generasi tradisional dan sejumlah generasi 70-an dan menjelang
angkatan 80-an (generasi Baby Boomers). Artinya, ada kelipatan tiga angkatan
sebelum tongkat estafet beralih ke tangan generasi 90-an. Karena pasti sudah
ada kelindan dari generasi 80-an ke 90-an sebagaimana selama ini berjalan.
Menjadi wajar dan
sudah semestinya apabila generasi yang akan meneruskan Indonesia ke depan
menuntut komitmen generasi sekarang untuk tak lagi menjadikan pendidikan
sebagai ajang uji coba semata. Lalu lintas kurikulum sebagai strategi
kebudayaan di dunia pendidikan selalu saja datang dan pergi tanpa tapak yang
jelas. Tak perlulah diulang untuk menunjukkan kekurangannya, sebab kurikulum
2013, sebagai contoh, sepertinya juga tak jelas arah.
Jelas ada diskrimanasi
dari penerapannya yang bertahap. Alasan apa yang akan dipidatokan kelak jika
kemudian kurikulum itu berhenti di tengah jalan sebelum menjangkau seluruh
ruangan kelas dan kemudian dicanangkan lagi penggantinya. Bukankah generasi
yang akan menyalakan lilin HUT ke 100 NKRI ini adalah mereka yang saat ini
tengah bergulat di rimba pendidikan. Bisalah kiranya diterka kado apa yang akan
mereka persembahkan.
Demokratisasi dan Pendidikan Multikultural
Selain perlu
demokratisasi, pendidikan multikultural juga tak kalah pentingnya. Konteks ini
menyangkut pemerataan infrastruktur di semua wilayah dan jenjang pendidikan.
Sungguh menyedihkan dan menegasikan komitmen yang telah dibangun bila program
hijrahnisasi peserta didik masih berlangsung. Meninggalkan tanah kelahiran
untuk belajar di wilayah yang lain dengan membawa alasan kalau di daerahnya
belum ada sekolah menengah atas atau sekolah tinggi.
Hal yang demikian
sungguhlah tidak demokratis karena masih merawat pusat pendidikan di daerah
tertentu dan tentu ada peminggiran wilayah. Mengejar momentum 100 tahun
kemerdekaan mestinya dilihat sebagai pemerataan kualitas dan ketersediaan sarana
pendidikan dari Sabang ke Merauke.
Bagaimana mungkin
bisa dibenarkan setelah setengah abad lebih kemerdekaan, di sejumlah wilayah
dan itu mayoritas masih menyepelekan anak zaman untuk akses pendidikan. Sungguh
menyedihkan.
Sampai di sini,
menarik mencermati enam prioritas yang pernah dicanangkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang kala itu dinahkodai oleh Mohammad
Nuh di tahun 2014 silam. Ia menyatakan enam program prioritas utama tersebut
diwujudkan untuk mengakselerasi pembangunan sumber daya manusia (SDM),
sekaligus memanfaatkan bonus demografi dan momentum 100 tahun Indonesia
merdeka.
Bila kita mencermati
enam prioritas program tersebut. Tentulah sebagai tambal sulam semata. Misalnya
saja, pengembangan SDM yang didekati dengan program 3T (terpencil, terluar, dan
tertinggal) yang mencakup guru dan siswa. Selain bias pemaknaan juga menanam
diskriminasi pembangunan infrastruktur pendidikan di wilayah tertentu. Kita
tentu tak bisa menerima hal ini sebagai bentuk kebijakan demokratis bilamana
Papua yang kaya dengan SDA harus tertinggal sarana dan prasarana. Bahkan, pelabelan
guru bersertifikasi bukanlah jaminan kualitas, sebab yang dikejar justru
tingkat nominal tunjangan dibanding menyiapkan media pembelajaran yang berkualitas.
Kemudian bantuan
siswa miskin (BSM), program ini jarang atau sama sekali tidak pernah disentuh
evaluasi. Bagaimana aplikasi yang sesungguhnya terjadi di lapangan, data di
tahun 2013 lalu banyak menunjukkan salah sasaran mengenai tujuan program ini.
Jika kita mencoba menyelusurinya di internet, dengan mudah didapatkan warta di
pelbagai portal yang mengabarkan dari sejumlah daerah. Hal yang sama terjadi
pada program Bidikmisi, sebagai upaya menjembatani kelanjutan generasi muda
memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi (universitas).
Selain keputusan
program di atas, juga ada pendidikan menengah universal (PMU), tindak lanjut
penerapan kurikulum 2013, dan rehabilitasi sarana. Tampaknya memang merupakan
usaha guna mengejar target angka partisipasi kasar (APK) sebagaimana yang
ditegaskan Mendikbud saat itu. Dengan APK diharapkan di tahun 2020 sudah
mencapai 97%.
Jika demikian,
pendidikan dalam ruang sekolah tak lebih sebagai upaya mengejar angka-angka.
Belum ada keinginan kuat berupa strategi menjadikan sekolah selaku sarana
pendidikan formal yang dikomandoi negara untuk menyiapkan manusia yang bergulat
di dalamnya sebagai entitas yang mampu berkembang dalam menjawab tantangan
zaman.
Padahal, pendidikan
barang tentu tak sesempit yang dimaknai dalam gedung sekolah. Yang alpa
kemudian justru esensi dari pendidikan itu sendiri. Memanusiakan manusia. Lihatlah
apa yang menguak, sekolah tak ubahnya mesin yang memproduksi manusia robot.
Nihil kemanusiaan dan penuh kelicikan. Tawuran dan prilaku koruptif adalah
indikasinya.
Pasca Mohammad Nuh,
ada Anies Baswedan dan Muahdjir Effendy dan sekarang Nadiem Makarim. Sosok terakhir
perwakilan generasi milenial, usianya baru 35 tahun. Dikenal luas dengan penciptaan
aplikasi transportasi berbasis daring bernama Gojek.
Apa yang mampu dan
diharapkan dari Nadiem? Tentu tak bisa mengukurnya sejauh ini mengingat baru
saja dilantik dan akan–masih berproses. Tetapi,
kita bisa melakukan terkaan. Hal yang tidak pernah selesai dalam dunia
pendidikan, ialah mengenai pembangunan manusia di dalamnya.
Umum diketahui kalau
tujuan pendidikan ada tiga bila mengacu pada taksonomi pendidikan Benjamin
Bloom. Yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Nadiem sebagai ahli pembuat
aplikasi dan, warta yang beredar akhir-akhir ini, Presiden Jokowi
menginstruksikan kepada Menteri Nadiem Makarim agar mengembangkan aplikasi guna
menjadi media penyebaran sehingga merata di seluruh wilayah Indonesia.
Apa yang hendak
disebarkan dari aplikasi, tentu bukan soal fisik, yang mana hal itu juga
menjadi tantangan dunia pendidikan menyangkut fasilitas. Dari aplikasi, tentulah
yang bisa disebar dan diakses melalui gawai adalah media pembelajaran dan
hal-hal yang terkait dengan itu.
Intinya, penyebaran
informasi melalui aplikasi itu nantinya tak lain mengenai transmisi pengetahun
untuk peserta didik. Bagaimana teknisnya untuk segala jenjang pendidikan, kita
masih menunggu bagaimana Kemendikbud menyiapkan hal itu.
Namun, yang pokok,
saya kira, pengunaan aplikasi bagaimanapun tetaplah media. Jika sebatas
transimisi pengetahuan, itu kaitannya dengan kognitif. Padahal, pendidikan
bukan hanya itu, manusia tak melulu membutuhkan kognitif agar mampu memahami
hakikat kemanusiaan. Dibutuhkan pranata lain, yaitu psikomotorik dan afektif. Di
sinilah tantangannya dan menjadi jalan terjal yang tak kunjung selesai.
Persolan yang
mengemuka di negeri ini tak lepas dari perilaku koruptif dan krisis
multikulturalisme. Kita bisa menyaksikan pelaku korupsi dari kalangan terdidik
(pejabat negara). Mereka yang ditetapkan tentu merupakan lulusan sekolah. Jika tujuan
pendidikan adalah pembentukan karakter–sikap (afektif), lantas bagaimana hal
itu disikapi dan dievaluasi dalam dunia pendidikan.
Hal kedua mengenai multikulturalisme.
Indonesia menjadi ruang perjumpaan segala bangsa. Diskusi ini sudah berlangsung
lama. Hanya saja, selalu saja kita tak pernah menyelesaikan dan mewujudkannya
dalam tata kelola demokratis. Demokrasi yang diperjuangkan berujung pada prosedural
dan menafikan hakikat yang hendak dicapai.
Ini menjadi pekerjaan
bersama. Dan, perlu menjadi cetak biru bagi Kemendikbud agar pendidikan multikultural
menjadi muatan kurikulum sejak dasar. Kita bisa melihat dalam serial kartun
Upin dan Upin yang digemari anak-anak. Media visual menjadi hal yang digemari
dalam mengenalkan keberagaman. Di sana kita menyaksikan interaksi Upin-Ipin
dengan temannya dari latar berbeda. Memey, misalnya, ia dari etnik Tionghoa,
Jarjit mewakili India. Upin sendiri dari Melayu. Nah, di Indonesia sendiri,
latar suku dan bangsa lebih banyak lagi.
Menurut saya, dua hal
inilah yang perlu segera dibenahi di dunia pendidikan kita. Tanpa menyepelekan
pengembangan kognitif dan psikomotorik. Andai pembangunan sikap (afektif) bisa
ditransmisi ke peserta didik melalui aplikasi. Tentu, perlu segera dilakukan. Hanya
saja, sikap ini membutuhkan teladan dan prakondisi yang memyehatkan agar
sekolah menjadi ruang yang membahagiakan.
_
Komentar