Meragukan Anarkisme Joker

Salah satu adegan Joker (2019). Sumber gambar di sini



“Letupkan sedikit anarkisme. Goyang kekuasaan,” Kata Joker di hadapan Harvey Dent, jaksa agung kota Ghotam yang tengah terbaring di rumah sakit akibat luka bakar di wajahnya. Kelak, Dent ini menjadi musuh Batman yang dikenal sebagai Two Face.

“Aku adalah agen kekacauan,” juga, ucap Joker. Lalu, apa kaitan dua pernyataan Joker itu. Di satu sisi ia hendak meletupkan anarkisme dan sisi lain menghendaki kekacauan. Jika demikian, benarkah anarkisme dan kekacauan itu sinonim. Jika mengikuti logika Joker harusnya seperti itu.

Sudah sejak lama memang, setidaknya sejak aksi mahasiswa yang berakhir bentrok dengan aparat kemudian koran menuliskan kalau itu merupakan anarkisme dalam headline. Saya menduga kalau itu epistemologi jamak digunakan mengenal anarkisme. Sebuah peristiwa yang penuh dengan anasir kekerasan jika bentrok mahasiswa dengan polisi, misalnya, dimaknai demikian dan bukan sebagai aksi saling mempertahankan diri.

Sebenarnya kita mempunyai perbendaharaan kata yang tepat, yakni bentrok dan disebut brutal jika aparat memukuli demonstran. Namun, entah mengapa kata anarkisme yang dipakai guna menggambarkan kekacauan.

Di Facebook, saya membaca tulisan seorang warganet yang menuliskan kesannya usai menonton film Joker (2019). Intinya, ia bersimpati pada Joker yang terdesak dari himpitan hidup sehingga menempuh jalan terjal menjadi pembunuh. Di film solo Joker itu, kita disuguhi lebih dekat asal usul Arthur Fleck hingga menginginkan dirinya ingin dikenal sebagai Joker.

Meresapi makna himpitan hidup tentu memiliki relasi kuat dengan hal-hal di luar jalan hidup yang dijalani seseorang. Dan, itu tidak bisa dilepaskan dari sistem yang ada. Kita akan sampai pada pertanyaan tentang bagaimana negara melindungi warganya dan bagaimana manusia melindungi keluarga dari negara.

Joker (2019) baru saja melewati satu tahapan mengukuhkan diri sebagai respons yang perlu ditempuh atas situasi yang dihadapi. Ketika kasus penembakan di subway, itu bentuk perlawanan diri sekaligus tak bisa dipisahkan dari kepemilikan revolver. Bukankah Joker menganggap kalau hidup cuma komedi. Lantas, dasar apa ia menerima anjuran temannya kalau diri harus dilindungi dengan senjata.

Dua pembunuhan selanjutnya sudah menjadi pemenuhan sebab untuk menabalkan diri dan menegasikan kalau hidup bukan komedi melainkan tragedi. Joker sesungguhnya tak bisa memaknai unsur komedi. Selaku pelawak tunggal, mestinya ia memahami kalau kritik dari pelaku profesi yang sama adalah komedi juga. Kita mengenal istilah roasting untuk hal itu. Andai Joker memakluminya, tentu tak perlu menembak Murray Franklin. Bukankah komedi itu subyektif sebagaimana Joker memahaminya.

Benang kusut desas desus juga tak mampu diurai. Joker menolak pengakuan Thomas Wyne kalau dirinya bukan ayahnya. Kemudian baru meyakini dari arsip kalau ia memang anak angkat Penny Fleck. Pahit. Dan, itu tak bisa diterima.

Kita melompat ke belakang karena untuk menemukan Joker di masa depan dalam The Dark Knight yang tayang di tahun 2008 dan menjumpai Joker di masa lalu dari film Joker tahun 2019. Kita meminjam konsep ruang dan waktu dalam suku Bugis untuk membaca relasinya. Orang Bugis menyebut di belakang (ri munri) untuk menyebut sesuatu yang kemungkinannya atau telah terjadi di masa depan dan memahami di depan (ri olo) untuk yang telah terjadi di masa lalu.

Joker (2008) bukan hanya licik tetapi dianugerahi kecerdasan meski kita tidak tahu dari mana ia mempelajari semua kepandaian itu. Bagaimana ia mendapatkan anak buah dan bom, termasuk cara mengelabui aparat sehingga bom sudah terpasang di dua feri yang mengangkut warga kota Ghotam yang hendak diungsikan. Tetapi, kita tidak sedang mengulas itu. Saya memakai dua film ini untuk menemukan relasi anarkisme yang ditawarkan Joker.

Semangat anarkisme mengimpikan masyarakat mandiri yang ditunjang individu sadar yang menganggap pemerintahan tidak perlu karena destruktif. Akar anarkisme memang berasal dari paham kebebasan individu dalam masyarakat dan negara. Namun, spektrum anarkisme mengalami perkembangan seiring zaman.

Efek yang ditumbulkan Joker sedikit menemukan relasi jika menyelami pemikiran Bakunin dan Kropotkin yang memandang segala sesuatu milik bersama dan digunakan sesuai kebutuhan. Masalahnya, Joker hampir tidak menginginkan harta. Ia membakar tumpukan uang yang berhasil ia dapatkan dari kelompok bandit atau membobol bank. Sikap ini jelas bukan watak anarki individualistik yang ingin memperkaya diri.

Jika merancang kekacauan sebagai upaya membatasi kekuasaan pemerintah dan kekayaan pribadi, bisakah disebut sebagai laku anarki sosialistik atau akrab dinamai sosialisme libertarian. Saya sangsi Joker berpaham seperti itu. Upaya Joker hanya memancing Batman mengulang gerutuannya: “dia lagi, dia lagi.” Kelakuan Joker yang pongah meletupkan anarkisme juga susah didekatkan pada sempalan baru perkembangan anarkisme yang disebut Anarcho Syandicalisme yang merevisi perjuangan buruh dari tuntutan upah menuju kepemilikan pabrik.

Kekacauan yang terjadi hanya menyajikan rusuh sosial dan berefek pada korban dua pihak tanpa ada perubahan struktur dominasi yang membelenggu. Ini beda sekali dengan bangkitnya semangat anarkisme dalam menentang neoliberal. Tidak becusnya aparat kota Ghotam mengurus Joker menjadi legalitas bagi Batman turun tangan. Logiknya hanya melahirkan penjahat dan pahlawan. Bukan perubahan sistem yang membelenggu.

Padahal, jika melihat gerakan sosial (New Movement) di sejumlah wilayah justru, menyelami semangat anarkisme untuk menolak mega proyek yang berafiliasi ke perusahaan Trans National Corporation (TNCs) dan didanai Bank Dunia (Mansour Fakih: 2002). Malah, gerakan kultural Mahatma Ghandi di India mengadopsi semangat anarkisme dalam menggelorakan perubahan nir kekerasan.

Joker sebagai musuh Batman sungguhlah unik. Ia tidak pandai bela diri dan, Batman teramat kasihan padanya–jika tidak dikatakan lemah untuk menghabisi Joker. Ia rela terjatuh dari motornya untuk menghindari Joker yang berdiri di depannya atau membiarkan saja Joker terjatuh dan tak perlu memberikan peluang pada otoritas hukum untuk membungkamnya di sel.

Di The Dark Kningt, Joker mengejek demokrasi dengan memberikan peluang kepada para penumpang di feri. Kapal yang satu menampung masyarakat biasa dan di feri satunya lagi diisi para tahanan. Kedua kelompok penumpang ini bermain dadu dengan remote pemicu bom di masing-masing feri. Joker hendak melakukan survei kelompok sosial mana paling bejat. Apakah feri berisi tahanan yang duluan menekan remote agar feri yang ditumpangi masyarakat biasa meledak atau sebaliknya. Akhirnya, seperti kita tahu, Joker kalah dalam teka teki itu. Tidak ada feri yang meledak.

Joker dalam permainan kartu remi menjadi liyan. Tidak ada pasangan struktural sehingga bebas bergabung di mana saja. Itu sebuah ironi kekuasaan. “Kita perlu kartu AS untuk menang, dan Harvey Dent  adalah kartu AS.” Kata Joker. Joker itu sendiri dan amatlah naïf dilabelkan pemikir anarkisme karena ia sendiri menghabisi pengikutnya. Ia sulit dipahami dan bergerak sendiri. Sesuatu yang bertentangan dengan semangat anarkisme yang mampu menggelorakan keberpihakan menentang dominasi.

_

Komentar

Postingan Populer