Rukun Islam Keempat dan Sikap Kaum Milenial


Ilustrasi: Suasana penyaluran zakat di kampung. Sumber foto di sini


Setiap menjelang lebaran Idul Fitri, emak, panggilan kepada ibu di suku Bugis, tak henti mengingatkan untuk membayar zakat. Saya masih ingat, sejak kami, sembilan bersaudara belum berkeluarga dan selalu menunaikan lebaran bersama di kampung.

Emak akan menghitung berapa liter beras yang perlu dikeluarkan untuk menampung sembilan orang anaknya. Perhitungan itu tentu saja berubah seiring naik turunnya harga beras. Setelah selesai, emak kemudian menyalurkan zakat berupa beras itu ke adiknya, seorang imam kampung di salah satu desa di Maros.

Meski kami tinggal di Pangkep, emak selalu saja menyalurkan zakat ke kampung halamannya di Maros. Pangkep dan Maros adalah dua kabupaten bertetangga di Sulawesi Selatan.  Situasi seperti  itu berlangsung lama dan seiring waktu, ketika kami sudah berkeluarga dan membangun rumah masing-masing jauh dari kampung. Ada yang di Makassar dan ada yang pergi merantau di luar Sulawesi Selatan. Perlahan metode zakat yang dikumpulkan emak berubah.

Meski begitu, ketika menjelang lebaran dan ada saudara yang tidak sempat balik ke kampung. Emak tetap mengonfirmasinya lewat telepon dan mengonfirmasi apakah mau dialokasikan zakat atau tidak. Saudara sudah mengerti dan akan mengirim uang.

Sampai lebaran Idul Fitri tahun kemarin, adik emak, masih datang mengambil kumpulan zakat keponakannya untuk disalurkan. Haji Udding, nama adik emak itu bertugas selaku amil zakat. Ia dipercaya turun temurun oleh masyarakat di kampungnya. Dulu, tugas itu diemban oleh bapaknya atau kakek kami. Emak selalu bercerita kalau cuma bapaknya yang berani mengumpulkan zakat. Tidak ada orang berani sebab saat itu masih zaman gerombolan, merujuk pada orang-orang yang mengangkat senjata melawan pemerintah. Mungkin maksud emak adalah, pasukan Kahar Muzakkar yang memberontak dan menguasai sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.

Kira-kira seperti itulah situasi penyaluran zakat yang masih dilakukan masyarakat di kampung pada umumnya. Tentu, tindakan dan metode itu tidak keliru. Sebab, Amil merupakan salah satu penerima zakat.

Saya sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, ketika emak mengonfirmasi penyaluran zakat ke saya. Pada emak kusampaikan kalau saya ingin menyalurkan zakat di tempat lain. Dan, emak tidak keberatan, ia hanya mengingatkan kalau zakat itu wajib. Saya menarik nafas lega karena emak memahami yang semula kuragukan. Saya khawatir emak menolak ide saya menyalurkan zakat di tempat lain.


Melihat Kaum Milenial Berzakat

Kaum milenial merujuk pada generasi yang lahir di atas dekade 1980 hingga medio 1990 an. Di banyak referensi, generasi ini dicirikan dengan perkembangan teknologi informasi dan sikap praktis dalam menjalani hidup.

Meminjam pendapat sosiolog, Karl Mannheim tentang teori generasi, mengatakan kalau manusia di dunia akan saling memengaruhi dalam membentuk dan membangun relasi sosial karena melewati sosio sejarah yang sama.

Zakat sebagai rukun Islam keempat seyogianya memang memerlukan media penyaluran seiring perkembangan zaman. Kehadiran Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) atau semacam Dompet Dhuafa sangat membantu generasi milenial dalam menyalurkan zakat.

Website kedua lembaga itu tidak hanya memberikan layanan zakat tetapi juga beragam referensi dan info terkini terkait penyaluran zakat di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, dan pemberdayaan sosial. Artinya, itu menjadi literasi zakat. Dengan demikian ada interaksi penyegaran pemahaman tentang zakat.

Kehadiran website semacam itu sangat membantu generasi milenial karena langsung mendapat timbal balik. Patut diingat kalau sifat generasi milenial selalu ingin mengetahui lebih detail dari apa yang telah dilakukan. Saya pernah membaca surat pembaca di koran yang mempertanyakan penyaluran donasi yang menjadi program supermarket berjejaring.

“Kembaliannya mau didonasikan, Pak.” Begitu sapaan berulang dari kasir bila melakukan transaksi pembayaran. Uang kembalian senilai dua ratus atau lima ratus rupiah tentu naiflah jika menolak ajakan berdonasi. Namun, seiring waktu, kita selaku kostumer tidak pernah mengetahui atau menerima laporan terkait saluran donasi. Padahal, pertanggungjawaban penyaluran donasi bisa ditempuh dengan memasang advertorial di koran atau di akun medsos supermarket tersebut.

Setelah membaca surat pembaca itu, sekali waktu, saya iseng menanyakan perihal ke mana uang kembalian pelanggan itu didonasikan kepada kasir supermarket. Jawaban yang saya peroleh sungguh di luar dugaan. Si kasir rupanya tidak tahu. Sejak saat itu saya selalu meminta uang kembalian sekecil apa pun nilainya dan mengklik tanda tidak puas di layar monitor. Jelas saja, kasir kewalahan mencari uang receh dan memasang muka masang.

Menurut saya itu merupakan sikap kritis yang ditunjukkan generasi milenial. Menjadi pertanyaan, bukankah rerata karyawan di supermarket berjejaring itu juga adalah mereka dalam kategori generasi milenial. Posisinya tentu lain, karena mereka hanya menjalankan program kebijakan dari tempatnya bekerja. Lalu, apakah mereka tidak punya sikap kritis dan menawarkan ide kepada atasannya. Saya yakin, suara itu ada.

Baik, kembali ke soal zakat dan bagaimana kaum milenial menyikapinya. Bagaimana pun zakat itu wajib bagi yang telah memenuhi syarat dan disalurkan kepada yang telah ditentukan pula. Penjelasan ini merujuk dalam Alquran Surah At Taubah Ayat 60.

Tentu, ada ragam pendapat para ulama mengenai tafsir di dalam ayat tersebut. Mengenai ragam pendapat ini bisa diakses di beberapa referensi. Saya tidak ingin menuliskan ulang untuk menghindari pengulangan. Saya meyakini kalau sidang pembaca mampu mengakses soal itu.


Namun, intinya yang dapat dipetik bahwa, harta benda mengandung fungsi sosial dan dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Metode berzakat manual yang selama ini berlangsung di kampung saya berupa orang-orang membawa beras ke Imam Kampung atau ke masjid dan selanjutnya beras itu ditakar sesuai ketentuan kemudian disalurkan kepada yang berhak di dalam kampung itu sendiri. Metode ini, sekali lagi, berfungsi dengan baik dan sudah sesuai koridor syariah. Menurut saya, tetap penting dipertahankan.

Hanya saja, saya melihat fungsi harta berupa beras itu hanya memenuhi syarat kebutuhan fisik. Mengapa tidak dilakukan, misalnya, pendataan tentang keluarga yang tidak mampu dalam membantu akses pendidikan anaknya. Jumlah penyaluran beras itu sangat banyak. Hal yang bisa dilakukan adalah, mengalihkan beras itu berupa uang atau beras itu dijual sehingga uang yang terkumpul bisa dibagi sesuai ketentuan lalu disalurkan berupa dana pendidikan anak-anak yang tidak mampu.

Itu hanya satu bagian selain beragam pemberdayaan transformatif sosial lain yang bisa ditempuh. Mengaplikasikan ini memang perlu dialog intens antar pemangku kebijakan di kampung. Dan, perlu pembentukan semacam lembaga khusus atau, bisa juga memakai jasa lembaga yang sudah ada seperi remaja masjid dalam menjalankan program.


Saat ini layanan penyaluran zakat berbasis teknologi informasi dan terpercaya sudah banyak. Semua bisa diakses dengan mudah dan dapat mengetahui perkembangan proses penyaluran zakat. Layanan ini merupakan respons terhadap perilaku kaum milenial yang menggenggam informasi di tangan mereka melalui gawai.

Dr Irfan Syauqi Beik, Kepala Pusat Kajian Strategis Baznas RI melalui program Zed Talks di kanal Youtube Baznas TV memaparkan tiga dimensi dari zakat. Pertama, disebut dimensi keimanan yang bertujuan meningkatkan proses kesadaran spiritual. Kedua, dimenasi relasi struktur sosial atau istilah Dr Irfan disebut dimensi sakinah. Yakni, sebuah upaya menjadikan zakat sebagai jalan mempererat relasi sosial. Ketiga,  dimensi ekonomi bertujuan menjadi antitesa dari sistem riba.





Jika mencermati bentuk penyaluran zakat yang dikerjakan Baznas di kanal Yotube, rupanya korban krisis kemanusian yang melanda Wamena juga menjadi prioritas dalam penyaluran logistik yang dibutuhkan korban pasca rusuh sosial di sana.

Setali tiga uang yang dilakukan oleh layanan amil zakat yang lain, misalnya, saja, program Dompet Dhuafa di websitenya menampilkan sasaran program menjadi lima bentuk: kesehatan, pendidikan, ekonomi, pengembangan sosial, dan advokasi. Khusus program advokasi, Dompet Dhuafa fokus pada literasi pencegahan korupsi.

Interpretasi atas zakat ini jelas melampaui pemahaman kita yang sebatas memahami zakat sebagai bentuk pensucian harta. Lebih dari itu, pengelolaan zakat sudah menyasar jauh menjadi kekuatan ekonomi transformatif dari masyarakat untuk tujuan kemanusiaan. Dengan demikian, nilai dan tujuan zakat sejak mula tidak berubah, yang berubah hanyalah proses penyaluran dan pengembangan peruntukannya sehingga lebih terasa manfaat jangka panjangnya.

Jadi, zakat itu memanusiakan manusia. Sudahkah Anda berzakat?
_


Komentar

Postingan Populer