Mengenang Perjalanan dalam Gerbong Kereta dan Imaji Masyarakat di Sulawesi Selatan


“Menuju ke Bandung, saya memilih terbang ke Jakarta dulu dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Dari ibu kota, ada pilihan moda transportasi yang dapat digunakan. Mulai dari ular besi, istilah saya untuk kereta api, bus, atau taksi. Tergantung kebutuhan dan biaya Anda.”
_

Kalimat di atas saya nukil dari buku Catatan Nhany: Kuliner, Peristiwa, Perjalanan (Rumah Saraung: 2017). Sebagai orang dari Sulawesi Selatan yang melakukan perjalanan ke pulau Jawa. Kesannya dengan kereta ia namai ular besi. Mungki karena serupa ular yang meliuk mengikuti alur rel. Tetapi, bukan di situ poin pentingnya, dari penjabaran Nhany, kita ketahui bahwa moda angkutan darat di Jawa dari Jakarta menuju Bandung bisa ditempuh dengan memilih naik bus, taksi, atau kereta. Ada pilihan sesuai kesiapan biaya.

Kover buku Catatan Nhany: Rumah Saraung; 2017 (Dok. Rumah Saraung)


Jarak Jakarta ke Bandung kira-kira sama dengan jarak dari kota Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan ke Parepare, salah satu Kotamadya di Sulawesi Selatan yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar dua jam menggunakan kendaraan roda empat. Jarak tempuh itu bisa berubah lebih lama jika ada kendala dalam perjalanan seperti macet atau faktor yang lain.

Sudah sejak lama masyarakat di Sulawesi Selatan bergantung pada angkutan antar daerah berupa bus atau Panther jika ingin lebih cepat. Phanter merujuk pada mobil MVP produksi Isuzu yang merajai angkutan umum antar daerah di Sulawesi Selatan karena pergerakannya cepat dan hemat bahan bakar mengingat di dekade 90-an harga bahan bakar solar yang digunakan Isuzu Phanter terbilang hemat sehingga biaya ongkos juga terjangkau bagi warga.

Tampak mobil Panther di pangkalan menunggu penumpang. Sumber foto di sini


Dalam rekam ingatan masyarakat, tertanam kuat angkutan legendaris seperi Pipos, Liman, Haji Beddu Solo. Nama-nama itu merupakan armada angkutan darat, sebuah perusahaan angkutan swasta yang melayani mobilitas masyarakat antar daerah. Naiknya harga BBN bensin pasca reformasi menjadi ceruk bagi Phanter menyalip kedigdayaan armada bus itu. Namun, seiring waktu, semua moda angkutan itu memiliki perannya masing-masing.

Di fase itu, sering terdengar obrolan yang membayangkan andai di Sulawesi Selatan sudah ada kereta api. Hanya saja, itu semata bayangan yang tak jelas juntrungannya. Masyarakat di Sulawesi Selatan pada khusunya dan pulau Sulawesi pada umumnya hanya mengingat kereta melalui imaji yang didapat dari tontonan di layar kaca melalui film. Mengapa demikian, karena di usia republik yang sudah 74 tahun ini, moda transportasi darat bernama kereta memang belum ada.

Armada bus Liman, salah satu moda angkutan darat andalan masyarakat di Sulawesi Selatan. Sumber gambar di sini


Barulah lima tahun terakhir ini, bayangan itu perlahan mulai nampak dengan proyek pengembangan rel kereta api di tahun 2015. Desain besarnya menjadi penghubung daerah penting di pulau Sulawesi. Mulai dari Makassar (Sulawesi Selatan) hingga Manado (Sulawesi Utara).

Pada Senin, 18 Agustus 2014 bertempat di Desa Siawung, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru dimulai proses pembangunan groundbreaking untuk lintas Trans Sulawesi Makassar-Parepare. Lalu, sudah sejauh mana pembangunan rel kereta api itu. Sebagaimana diketahui, saat ini belum ada operasi kereta api dan masyarakat masih mengandalkan bus atau Phanter.

Ada banyak kendala yang dihadapi, salah satunya penolakan warga melakukan pembebasan lahan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) karena rendahnya biaya ganti rugi. Hal ini membuat warga bersatu dan membawa persoalan ini di DPRD Pangkep sebagai ruang mengajukan aspirasi. Dikutip dari makassar.tribunnews.com (5/8/2019). Ketua DPRD Pangkep, Andi Ilham Zainuddin mengatakan akan menengahi persoalan ini antara warga dengan tim apresial.

Jadi, progres pembangunan trek (sepur) kereta di Pangkep saat ini belum nampak di depan mata. Hanya di Barru saja yang sudah mulai terbangun. Nampaknya masyarakat di Sulawesi Selatan harus kembali bersabar sampai perampungan pembangunan jalur kereta tuntas. Di wilayah ini tentu ada sentuhan politis sebelum terjadi eksekusi di lapangan.

Infografik jalur kereta Trans Sulawesi. Sumber gambar di sini


Tetapi, di luar dari itu semua. Perlu diapresiasi mengenai pembangunan rel kereta sebagai bentuk solusi dan pemerataan pembangunan jalur transportasi. Ketersediaan infrastruktur di bidang transportasi tentu akan menjadi penunjang sektor di industri lain. Ambil contoh, soal pariwisata, misalnya.

Sulawesi Selatan adalah pintu utama menjelajahi kepulauan Sulawesi. Selain itu Sulawesi Selatan juga menjadi surga para pelancong. Hal ini memiliki konektivitas dengan komitmen Budi Karya Sumadi yang kembali ditunjuk selaku Menteri Perhubungan di kabinet yang baru di era kepemimpian Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin. Untuk satu tahun ke depan akan fokus membangun konektivitas transportasi untuk mengembangkan 5 (lima) destinasi wisata super prioritas untuk mewujudkan “Bali Baru” di Indonesia yaitu Mandalika, Danau Toba, Labuan Bajo, Borobudur dan Manado (Likupang).” Kata Menhub Budi Karya. Dikutip dari laman dephub.go.id (23/10/2019). Info soal sosialisasi dan konten menarik bagi masyarakat menyangkut transportasi dapat mengakses Instagram @kemenhub151.

Sesuai grand designe pembangunan rel kereta api dari Makassar ke Manado, jika ini terwujud maka akan menunjang industri pariwisata “Bali Baru” yang dicanangkan pemerintah. Jalur kereta menjadi alternatif untuk memangkas ongkos menuju Manado. Jadi, pelancong dari luar Sulawesi akan menuju ke Makassar kemudian menikmati perjalanan menuju Manado sebagai salah satu proyeksi destinasi wisata yang masuk super prioritas tersebut.

Sejak tahun lalu, penyiapan langkah kelanjutan pembangunan terus digalakkan. Pembangunan tahapan ketiga yang menelan biaya 2,9 Triliun untuk menuntaskan jarak 64 km dari Kabupaten Pangkep ke Kabupaten Maros. Hal itu merupakan bagian rencana supaya target di tahun 2020 uji coba dari Maros ke Barru dan di tahun 2021 uji coba Makassar ke Parepare juga sudah berjalan.

Nur Setiawan, Kepala Balai Teknik Perkeretapian Jawa Bagian Timur, mengharapkan program ini dapat bersinergi dengan konsep pembangunan di Sulawesi Selatan. Dikutip dari chanel YouTube BeritaSatu (19/10/2019) yang diakses pada 28 Oktober 2019.



_

Dengan kereta malam kupulang sendiri
Mengikuti rasa rindu
Pada kampung halamanku
Pada ayah yang menunggu
Pada ibu yang mengasihiku

Tembang berjudul Perjalanan gubahan Franky Sahilatua di atas begitu melegenda di benak masyarakat Sulawesi Selatan. Sekali waktu ketika ke Palopo, berjarak sekitar 377 km dan memakan jarak tempuh sampai delapan jam, di dalam bus Liman saya mendengar lagu ini yang mengiringi perjalanan para penumpang. Interlude lagu dengan sirine khas kereta kemudian bertali rancak suara roda yang bergerak perlahan terdengar begitu puitis.

Selain lagu di atas, ada juga tembang lawas Iwan Falls berjudul Kereta Tiba Pukul Berapa. Kedua lagu memberikan tema berbeda, tetapi intinya bukan di situ. Kedua lagu ini bagi masyarakat di Sulawesi Selatan yang pernah mendengarnya di medio 90-an tentu menjadi refleksi imaji tentang kereta itu sendiri.

Di dalam bus ketika ke Palopo, saya membayangkan duduk di gerbong kereta. Peduli setan jika kereta terlambat dari kritik dalam lagu Iwan Falls, intinya merasakan dulu bagaimana menikmati perjalanan menggunakan ular besi, sebagaimana istilah Nhany dalam bukunya yang telah disebutkan sebelumnya.

Proyek pembangunan rel kereta api yang kini tengah berjalan memang menyisakan perdebatan tentang perlu tidaknya transportasi kereta di Sulawesi Selatan. Riak penolakan warga soal ganti rugi lahan adalah satu sandungan yang mesti dilihat sebagai efek kejut dari pembangunan yang memerlukan lahan.

Saya kira, penolakan warga di Pangkep menyangkut ganti rugi bukan karena menolak kereta, tetapi ada pada nilai yang ditawarkan yang dianggap rendah oleh warga. Situasinya memang pelik, karena lokasi lahan pembangunan masih ada merupakan lahan produktif. Namun, situasi tersebut persolan teknis yang dapat diselesaikan dengan bijak oleh pemangku kebijakan di Pangkep dan di Sulawesi Selatan pada umumnya.

Pro kontra pembangunan jalur kereta Trans Sulawesi bukan hanya dari bawah, dari atas pun muncul kritik. Misalnya, saja, Jusuf Kalla menilai kalau moda angkutan kereta dianggap tidak ekonomis. "Sama kereta api Sulawesi-Manado, siapa yang mau naik ke Makassar? Barang apa yang mau diangkut dari selatan ke utara, utara ke selatan? Hanya perpendek saja di Sulawesi untuk kebutuhan memperbaiki industri. Kalau barang tidak akan efisien," ucapnya sebagaimana dikutip dari liputan6.com (25/01/2019).

Presiden Jokowi melihat miniatur jalur kereta Trans Sulawesi (25/11/2015) didampingi Syahrul Yasin Limpo yang saat itu masih menjabat Gubernur Sulawesi Selatan. Sumber gambar di sini


Masih dikutip dari media yang sama, pendapat berbeda dari Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Arier Tina Pulubuhu, mengatakan pihaknya siap mendukung pembangunan rel kereta melalui hasil kajian pihaknya. "Sudah lama kereta api kami impikan. Kereta api jangan hanya ada di Jawa. Unhas siap mendukung, ini sudah ada kajian demografinya, kulturnya juga. Unhas siap dikasi perintah," tandasnya.

Upaya menghadirkan jalur kereta di Sulawesi Selatan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak tantangan yang dihadapi. Meski begitu, upaya perencanaan dan sudah berjalan ini merupakan komitmen Kemenhub dalam membangun konektivitas pemerataan pembangunan moda transportasi darat.

Jika ini kemudian terwujud, maka imaji masyarakat di Sulawesi Selatan akan kereta bukan lagi tertanam di benak, melainkan sudah menjadi pengalaman faktual duduk di gerbong kereta dalam melakukan perjalanan mengunjungi sanak keluarga di Kabupaten lain. Atau, menjadi pengalaman  perantau yang mudik menjelang lebaran. Bisa juga menjadi wahana untuk piknik ke lokasi wisata.
_

Komentar

Postingan Populer