Melihat Sekolah di Balik Kerja Militer

Sumber gambar di sini


Tidak ada yang bisa lepas dari drama, militer pun demikian. Namun, tentu saja, semua harus dalam koridor keteraturan. Militer menjadi kunci kebaikan. Semuanya dapat dilalui tanpa halangan. Dalam sekejap bangunan sekolah disulap. Siswa nakal dan guru malas segera mengikuti aturan.

Militer bekerja dalam senyap, teliti, terukur dan dingin. Gambaran ini berjalan ke depan, sekali lagi, tanpa halangan berarti. Di selahnya, melankoli melengkapi kalau militer juga punya pendekatan persuasif. Ada dialog melengkapi drama.

_

Seorang perempuan datang tanpa pemberitahuan. Raut wajahnya keras dan dingin. Kedua matanya sudah menangkap adanya ketidakbecusan yang sudah berlangsung lama. Pagar sekolah ambruk dan siswa bebas berkeliaran, merokok, berkelahi, dan bisnis illegal yang dijalankan guru. Adegan yang sudah sangat klise yang masih sering ditunjukkan guna menunjang penguatan tokoh yang hendak melakukan perubahan.

Sepuluh menit prolog sebenarnya sudah memberikan pemahaman. Ini mengulang kerja-kerja seorang pahlawan. Ia yang datang tak diketahui latar belakangnya kemudian dijelaskan oleh peristiwa. Teknik masa lalu (flashback) tak terhindarkan. Tetapi, sebaiknya kita lupakan saja itu.

Raatchasi, judul film ini, saya tidak menemukan terjemahan maksud dari kata Raatchasi, di Wikipedia mengarahkan kalau Raatchasi merujuk pada sosok raksasa dalam cerita Mahabrata. Dikenal dengan Hidimbi yang memiliki saudara lelaki bernama Hadimba. Hidimbi ini seorang perempuan yang kemudian menikah dengan Bima, seorang pandawa dalam pertemuannya di hutan.

Film ini memusatkan narasi pada perempuan bernama Gettha Rani (Jyothika) menjabat kepala sekolah baru milik pemerintah, kira kira sekolah menengah tingkat pertama yang juga terdapat sekolah dasar. Serangkaian perubahan dilakukan begitu cepat dan segera menjadi perbincangan sekaligus melahirkan musuh di sekelilingnya yang melibatkan anggota senat dan pemilik sekolah swasta, termasuk guru-guru di sekolah itu sendiri.

Peristiwa dalam film terjadi di Tamil Nadu, negara bagian India di wilayah selatan yang berbahasa Tamil sebagai bahasa resmi. Jadi, fim ini bukanlah produksi Hollywood yang menggunakan bahasa Hindi yang berpusat di Bombay. Produksi film berbahasa Tamil berada di kota Chennai dan disebut Kollywood untuk membedakan dengan produksi Tollywood yang berbahasa Telugu.

Pendekatan perubahan yang dilakukan di dunia pendidikan berbeda dengan film bertema serupa. Misalnya, saja, di film Hichki (2018) garapan Siddharth Malhotra yang dibintangi Rani Mukerji, Taare Zameen Par (2008) menampilkan sosok guru diperankan Aamir Khan sekaligus sutradara. Kritik metode pendidikan juga dapat dijumpai di film Theree Idiots (2009) besutan Rajkumar Hirani. Ketiga film ini produksi Bollywood di bagian utara India.

Geopolitik India menegaskan perbedaan sosiokultural dan infrastruktur. Di utara, pembangunan infrastruktur pendidikan sudah selesai. Mengacu di film Hichki, Taare Zameen Par, dan Threee Idiots. Ketiga film ini membongkar kebobrokan sistem yang tidak memanusiakan peserta didik.

Hal berbeda dijumpai di Raatchasi, infrastruktur menjadi persoalan utama selain kualitas guru. Di awal film terjadi mobilisasi siswa diangkut ke truk. Adegan ini menunjukkan bebasnya pihak dari luar sekolah seenak jidat menjadikan siswa objek yang bebas digunakan untuk kepenitingan tertentu. Raibnya pintu pagar menjadi simbol hilir mudik tanpa permisi itu.

“Bangsa ini mundur karena kualitas guru.” ucap supir bajai yang selalu ditumpangi Gheeta Rani. Peristiwa mobilisasi siswa tersebut melibatkan guru dan tidak seorang guru yang lain melakukan protes. Nampak salah satu orangtua siswa mencoba mengingatkan namun, sekali damprat ia tersungkur dan tidak memiliki kuasa lagi.

Kepala sekolah baru mengenalkan dirinya dengan kemarahan. Ia protes karena tidak digubris ketika di hari pertamanya ke sekolah ikut seorang ibu dengan anaknya untuk didaftar. Proses itu ditiolak karena kelas sudah berjalan. Dalam kemarahan membunyikan lonceng besi, ia menarik sepucuk surat dari tasnya. Dari sanalah ia baru dikenali kepala sekolah.

Ghetta Rani mengubah tampilan fisik sekolah dan menambahkan fasilitas yang dibutuhkan. Siswa terlibat aktif di dalamnya. Pendekatan selanjutnya, ia membiarkan guru rikuh di depan kelas dan disaksikan siswa. Guru yang mengampuh mata pelajaran diberi waktu sebulan guna belajar kembali. Ia duduk di bangku dan mendengarkan guru menjelaskan dan menangkap kualitas guru yang tidak memenuhi standar.

Gheeta Rani menyelesaikan semua persoalan dengan mudah. Tidak ada cacat padanya. Bisakah ini diterima. Metode yang diterapkan Gheeta Rani seakan menolak dialektika konflik yang ada. Analisis masalah ia pelajari sendiri dan, ajaibnya berjalan sesuai yang diharapkan. Pelibatan orangtua siswa dan cara-cara memberikan ruang pelibatan guru yang menolak metodenya. Tetapi, sekali lagi, ini ajaib, karena guru yang semula menolak itu perlahan membuktikan kemampuannya sendiri seolah sudah menjalin kesepakatan dengan Gheeta yang bertangan besi.

Kepala sekolah menjelma menjadi Durga, kepercayaan Hindu menggambarkan perempuan cantik yang menunggangi harimau dan memiliki banyak tangan. Dalam hierarki kuasa, tentu sulit membayangkan bagaimana proses pemulihan sekolah yang membutuhkan banyak anggaran bisa selesai sedemikian cepat. Jika mandeknya anggaran akibat tidak ada pihak sekolah yang menuntut realisasinya, ini juga menyepelekan realitas kinerja birokrasi yang dikenal kusut.

Durga dalam sosok Gheeta Rani bertindak menepikan realitas yang dialami manusia. Begitulah biasanya para dewa bertindak. Hanya saja, jika sangkaan ini merujuk pada situasi yang dialami dan film menjalankan fungsinya sebagai advokasi kebijakan. Bisakah, dan cukupkah dengan mendatangkan sosok pahlawan menyelesaikan masalah seorang diri.

Konsep manusia setengah dewa menjadi paradoks di iklim pembangunan demokrasi. Pelibatan manusia sebagai subyek aktif hilang dan tinggal menerima hasil. Kerapuhan Gheeta Rani hanya muncul ketika ayahnya wafat. Sebab, seorang diri ia menghajar preman paling disegani di daerah itu. Tidak ada gentar ketika guru melakukan boikot, juga kala ia dipenjara karena tuduhan melanggar aturan akibat membiarkan siswa kelas sembilan mengikuti proses ulangan. Fase itu menjadi satu-satunya senjata terakhir musuhnya, atau pihak dari sekolah swasta, MSC School milik Rajalingam (Hareesh Peradi) yang merasa terancam kalau sekolah pemerintah terus berprestasi.

Pada dasarnya, persaingan sekolah pemerintah dengan swasta adalah isu yang hendak diperlihatkan. Dua kubu yang memandang sekolah berlainan arah. Pemerintah, diwakili oleh Gheeta melihat sekolah sebagai wahana untuk berprestasi dan Rajalingam dari pihak swasta menempatkan sekolah selaku basis kapital untuk mempertahankan status quo.

Kerja licik Rajalingam dan kelompoknya yang berusaha memboikot distribusi kertas ujian ke sekolah pemerintah menjadi sandungan yang, sekali lagi, bagi Gheeta dapat diselesaikan hanya dengan menelepon senator (Aruldoss) yang semula menentangnya agar ia mengonfirmasi ke menteri soal keterlambatan soal ujian. Semudah itu. Dan, upaya Rajalingam gagal.

Gheeta Rani berpangkat Letnan Kolonel di dinas militer India kemudian mundur dan memilih mengabdikan diri sebagai guru (kepala sekolah) itu niatan terpendam bersama calon suaminya yang keburu meninggal. Mereka berdua sudah merencanakan itu jauh hari. Sayang, kilasan itu hanya diceritakan tanpa adegan masa lalu. Gheeta menyampaikan itu di hadapan Susheela (Poormina Bhagyaraj) ibu calon suaminya dan sosok guru yang lebih memilih menghabiskan masa pensiunnya di sekolah itu ketimbang mengejar karier di tinggkat lebih tinggi. Ironisnya, ketika di hari pensiunnya, sekolah libur dan tidak ada perayaan (meski hal demikian tak diharap).

Kerja tegas dan cepat Gheeta Rani menimbulkan efek menjungkirbalikkan keadaan sekolah sebelumnya. Siswa dapat melalui proses ujian dengan baik. Yakni mencapai angka nominal ketetapan. Ini bisa menjadi kebalikan dari sebelumnya kalau sekolah adalah ruang bermain yang membahagiakan. Gheeta Rani mengatakan kalau setiap orang memiliki bakat aneh. Sama dengan sidik jari. Itu diucapkan di hadapan siswa menjelang ujian.

Muasal ucapannya itu telah diterapkan di awal ketika membuka sekolah di hari Minggu dan mengundang anak-anak yang tidak bersekolah unjuk kemampuan dengan bakat yang dimilikinya. Inisiatif itu mengantar untuk berpikir ulang tentang pola militer. Ataukah Gheeta menjadi militer hanya ketika mengenakan seragam. Asumsi kemiliteran dibutuhkan untuk memutus mata rantai kebobrokan. Kira-kira sikap itu yang diperagakan Gheeta Rani.

Hanya saja, bisakah itu menjadi fondasi dan tampil seorang diri mengubah sistem seolah kerja cepat dan tegas melulu dari militer. Ciri khusus kerja kolektif ketika persoalan yang hendak diselesaikan menggerakkan banyak elemen dan menjadikan itu proses bersama. Memang, ada pelibatan demikian, tetapi tidak lahir dari ruang dialog intens. Gerak aktor (sejumlah guru) mencari posisi aman agar tidak disingkirkan atau tersingkirkan. 

_

Komentar

Postingan Populer